Menghabiskan akhir pekan pulang ke rumah, menikmati detak hidup yang melambat. Yap, dan ternyata rasanya menyenangkan. Mungkin sedikit balas dendam karena beberapa minggu ini sibuk dengan urusan kerjaan hingga hidup dan detak waktu berlari sprint seakan mau memecahkan rekor. Rekor apa? Bukankah hidup bukan perlombaan?. Tapi terbukti kesibukan tetek bengek kerjaan begitu ampuh menyita waktu, hingga posting tulisanpun bulan ini menjadi rekor terburuk sepanjang masa ehehe. Sampai akhir bulan hanya 2 posting dan itupun postingan paksaan karena ikutan lomba kompetiblog. Doohh..memalukan.
Jadi untuk minggu ini memang jauh hari sudah kuselesaikan pekerjaan sebelum hari Sabtu, segala urusan perjalanan dinas ke Salatiga hari senin esok sudah beres. Inilah salah satu keuntungan jadi ”pegawai” yang kerjaannya nggak harus berada di tempat, asal kerjaan beres, tidak masalah bila sewaktu-waktu mengambil ”one day off” ehehe. Ini salah satu hal yang harus kusyukuri bahwa pekerjaanku memungkinkanku menikmati kehidupan lain selain kerjaan. Dari dulu memang tidak pernah bercita-cita untuk kerja Senin-Sabtu dengan jam kantor mengikat. Pernah merasa lelah melihat ritme hidup temen-temen yang pernah ku”tumpangi nginep” gara-gara urusan di Jakarta dulu. Ah betapa hidup mereka habis untuk bekerja. Berangkat pagi-pagi sekali mengejar transportasi menuju tempat kerja yang harus diselingi dengan macet, lalu pulang menjelang maghrib, bahkan kadang lebih telat dengan letih di badan karena pekerjaan plus perjalanan. Lalu kapan waktu untuk menikmati dunia yang lain?.
Tapi begitulah pilihan hidup yang harus dibuat, entah atas dasar keterpaksaan untuk survive hidup, alasan kebiasaan ataupun alasan lainnya. Jadi bersyukur menikmati kemewahan yang diberikan sang waktu dengan merebahkan badan di kamar yang sudah beralih rupa, bereformasi tatanan seiring perubahan yang terjadi pada diri penghuninya. Menikmati hari sambil melahap tulisan Seno Gumira Ajidarma dengan ”Affair”nya. Cocok sekali buku yang kubeli sebelum pulang ini untuk menemani hari yang santai. Ulasannya yang kritis tapi santai, ringan bahasanya tapi berbobot dalam isi. Uhmm..aku suka gaya bahasanya dalam mengulas kehidupan homo jakartensis (begitu istilahnya untuk menyebut orang-orang Jakarta). Bercerita tentang perubahan budaya yang terjadi di ibukota, disajikan dengan ringan dan lugas. Dari berhala Jakarta yang bernama ”sukses” sampai air seni supir taksi.Ah, tulisan yang cerdas.
” Cinta yang dihayati selama 25 tahun bisa saja hanya merupakan hubungan dari kontrak ke kontrak yang membawa kepentingan di dalamnya, seperti hubungan kita dengan kopi instant. Dalam hal ini Jakarta adalah sebuah kota yang dingin dan tak peduli”.
Begitu ulasnya dalam ”Antara Cinta dan Kopi Instan”, (karena menyinggung kopi jadi langsung tertarik ehehe). Ah, tapi hubunganku dengan kopi instan yang pasti lebih dalam daripada kontrak kepentingan, lebih bisa dipastikan kontrak hati hihi. Ah, hati ini mungkin kebanyakan kontrak, hingga mungkin lebih baik ditinjau ulang untuk kontrak-kontrak yang lain, tapi tidak dengan kontrakku dengan kopi yang selalu saja diperpanjang.
Oh ya, tulisan utama yang dijadikannya judul dalam buku itu yakni Affair mengulas fenomena sosial yang patut untuk disimak. ”Kalau anda terlibat affair, anda akan termasuk orang pinggiran. Affair berupa hubungan yang dalam sistem sosial yang tidak dilembagakan. Peradaban memberikan lokalisasi bagi pelacuran, tetapi tidak ada lokalisasi affair, dengan demikian affair menjadi marginal” .
Ehehe membaca tulisannya seperti melahap keripik kentang. Sudah lama tidak menikmati momen memperlambat hidup dengan sungguh-sungguh meluangkan waktu untuk membaca, bersantai dan menulis di sela-sela minum kopi. Tanpa hiruk pikuk jalanan, urusan kantor, ataupun line internet. Di tempat kelahiran yang masih juga dinilai jauh dari peradaban oleh banyak orang, termasuk olehku kadang. Tapi, kepala akan terasa longgar, dan jiwa akan full of charge bila kembali ke tempat yang kusebut ”rumah”. Yeih, dan minggu depan harus tancap gas lagi, karena waktu luang tidak akan berharga tanpa adanya rutinitas bukan?***
Jadi untuk minggu ini memang jauh hari sudah kuselesaikan pekerjaan sebelum hari Sabtu, segala urusan perjalanan dinas ke Salatiga hari senin esok sudah beres. Inilah salah satu keuntungan jadi ”pegawai” yang kerjaannya nggak harus berada di tempat, asal kerjaan beres, tidak masalah bila sewaktu-waktu mengambil ”one day off” ehehe. Ini salah satu hal yang harus kusyukuri bahwa pekerjaanku memungkinkanku menikmati kehidupan lain selain kerjaan. Dari dulu memang tidak pernah bercita-cita untuk kerja Senin-Sabtu dengan jam kantor mengikat. Pernah merasa lelah melihat ritme hidup temen-temen yang pernah ku”tumpangi nginep” gara-gara urusan di Jakarta dulu. Ah betapa hidup mereka habis untuk bekerja. Berangkat pagi-pagi sekali mengejar transportasi menuju tempat kerja yang harus diselingi dengan macet, lalu pulang menjelang maghrib, bahkan kadang lebih telat dengan letih di badan karena pekerjaan plus perjalanan. Lalu kapan waktu untuk menikmati dunia yang lain?.
Tapi begitulah pilihan hidup yang harus dibuat, entah atas dasar keterpaksaan untuk survive hidup, alasan kebiasaan ataupun alasan lainnya. Jadi bersyukur menikmati kemewahan yang diberikan sang waktu dengan merebahkan badan di kamar yang sudah beralih rupa, bereformasi tatanan seiring perubahan yang terjadi pada diri penghuninya. Menikmati hari sambil melahap tulisan Seno Gumira Ajidarma dengan ”Affair”nya. Cocok sekali buku yang kubeli sebelum pulang ini untuk menemani hari yang santai. Ulasannya yang kritis tapi santai, ringan bahasanya tapi berbobot dalam isi. Uhmm..aku suka gaya bahasanya dalam mengulas kehidupan homo jakartensis (begitu istilahnya untuk menyebut orang-orang Jakarta). Bercerita tentang perubahan budaya yang terjadi di ibukota, disajikan dengan ringan dan lugas. Dari berhala Jakarta yang bernama ”sukses” sampai air seni supir taksi.Ah, tulisan yang cerdas.
” Cinta yang dihayati selama 25 tahun bisa saja hanya merupakan hubungan dari kontrak ke kontrak yang membawa kepentingan di dalamnya, seperti hubungan kita dengan kopi instant. Dalam hal ini Jakarta adalah sebuah kota yang dingin dan tak peduli”.
Begitu ulasnya dalam ”Antara Cinta dan Kopi Instan”, (karena menyinggung kopi jadi langsung tertarik ehehe). Ah, tapi hubunganku dengan kopi instan yang pasti lebih dalam daripada kontrak kepentingan, lebih bisa dipastikan kontrak hati hihi. Ah, hati ini mungkin kebanyakan kontrak, hingga mungkin lebih baik ditinjau ulang untuk kontrak-kontrak yang lain, tapi tidak dengan kontrakku dengan kopi yang selalu saja diperpanjang.
Oh ya, tulisan utama yang dijadikannya judul dalam buku itu yakni Affair mengulas fenomena sosial yang patut untuk disimak. ”Kalau anda terlibat affair, anda akan termasuk orang pinggiran. Affair berupa hubungan yang dalam sistem sosial yang tidak dilembagakan. Peradaban memberikan lokalisasi bagi pelacuran, tetapi tidak ada lokalisasi affair, dengan demikian affair menjadi marginal” .
Ehehe membaca tulisannya seperti melahap keripik kentang. Sudah lama tidak menikmati momen memperlambat hidup dengan sungguh-sungguh meluangkan waktu untuk membaca, bersantai dan menulis di sela-sela minum kopi. Tanpa hiruk pikuk jalanan, urusan kantor, ataupun line internet. Di tempat kelahiran yang masih juga dinilai jauh dari peradaban oleh banyak orang, termasuk olehku kadang. Tapi, kepala akan terasa longgar, dan jiwa akan full of charge bila kembali ke tempat yang kusebut ”rumah”. Yeih, dan minggu depan harus tancap gas lagi, karena waktu luang tidak akan berharga tanpa adanya rutinitas bukan?***
25.04.09 11.22 am
0 Comments: