Atas nama perubahan yang terjadi setiap detiknya, hai ”aku” yang mengisi ragaku. Aku ingin menyapamu menjelang penghujung tahun ini. Yah, penghujung tahun senantiasa membawa pada refleksi, kilas balik, dan mengaudit langkah. Dan wahai ”aku”, apakah kau telah berubah kini?
Apakah ”aku” adalah aku yang berbeda kini?
Kita telah melewati hidup lebih dari seperempat abad. Banyak orang yang menilaimu berbeda, wahai jiwaku. Tapi beberapa orang di lingkaran dalam kita menganggapmu masih seperti dulu. Mungkin ada yang berubah, tapi perubahan itu bergerak bersama kehidupan mereka juga, jadi perubahan itu seakan berada segaris mengikuti jalur-jalur perubahan mereka. Aku bersyukur untuk itu.
Semua kejadian hidup membuat kita berubah, tapi apapun perubahan itu... aku tetap si pemilik jiwaku yang dulu.
Jiwa penghuni ragaku yang selalu kusebut ”aku”
”Aku”, apakah engkau bahagia kini?. Bahagia menurut versimu sendiri, bukan versi atau standar orang lain, bahkan engkau tidak harus memenuhi standar ”kebahagiaan nasional” masyarakat Indonesia. Ah aku lupa, bukankah soal kebahagiaan kita telah setuju untuk tidak lagi dipertanyakan lagi. Bukankah kita sudah punya rumus mati yang telah lama kita setujui, jiwaku. Bukan tentang definisi, artian yang berbelit atau apapun.
Yah aku dengar kau berbisik sambil tersenyum
”Aku bahagia..dan selalu memilih untuk bahagia.titik” Aku senang engkau menjawab begitu. Berarti engkau masih ”aku” yang dulu.
Baiklah, aku ingin bertanya hal lainnya. Apakah engkau lelah, jiwaku? Kali ini engkau tersenyum lagi, kali ini agak masam kulihat.
” Terkadang aku lelah, tapi aku senang menghunimu. Mungkin dalam hal ini kau harus lebih memperhatikan ragamu. Tanyakan padanya apakah ia lelah, apakah ia menginginkan liburan panjang, atau sedikit menyenangkan dirinya. Dia lebih lelah daripada aku. karena dalam menghadapi apapun dia yang bergerak, berusaha seperti apa maumu. Sedangkan aku, engkau terkadang tidak membiarkanku terganggu oleh apapun, aku semerdeka udara.”
Aku tersenyum, senang mendengarkan jawabanmu, jiwaku. Sembari berjanji akan menanyakan pada ”ragaku’ apa yang menjadi maunya agar ia bisa lebih senang. Mungkin ia mau aku menceraikan kopi yang setiap hari meracuninya secangkir demi secangkir demi menopang energi saat-saat aku mengajaknya lembur. Ehehehe..aku akan menegosiasikannya nanti, jangan khawatir.
” Kau juga harus menanyakan kabar hatimu di penghujung tahun ini, apa ia mengatakan sesuatu padamu akhir-akhir ini?” Ah, jiwaku..untung engkau mengingatkanku.
” Ahaha..entahlah. Dia hanya bicara sedikit padaku. Mungkin sedikit bingung dengan mauku, aku menyuruhnya menjaga penghuni baru yang tidak dikenalnya dengan pasti. Aku tidak mengkhawatirkannya, dia sudah terbiasa dengan segala macam mauku. Paling-paling ia hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala melihatku begitu keras kepala, bahkan merajuk Tuhan untuk menuruti mauku, atau menyerah akhirnya sejenak bertopeng keikhlasan ehehe..aku malah memberi si penghuni itu kunci agar ia bisa dengan leluasa keluar masuk tanpa mau disebut gila”
Hatiku, aku tidak mengkhawatirkannya. Aku hanya khawatir pada suatu titik aku menempatkannya pada posisi yang sulit. Karena selama ini aku menempatkannya pada posisi pemenang. Aku takut suatu saat ia berbicara terlalu lirih, hingga aku tak lagi bisa mendengarnya. Aku menjadi tuli.
maka kubiarkan kini ia bicara sesukanya, aku menurutinya. Ia lah panglima perangku, semoga tidak sering berselisih paham dengan penasihatku, pikiranku.
Bicaralah, aku mendengar dan mengikuti kemanapun engkau mau..
Va dove ti porta il cuore...Pergilah kemana hati membawamu...seperti kata Susana Tamaro.
Yap, hatiku di penghujung tahun ini sudah membisikkan sesuatu. Mungkin aku akan mengikuti apa maunya
Dia bilang, belok kanan ********** !
0 Comments: