Odessa, ia pasti tidak tahu kalau saat aku pulang ke rumah, dimana telah menunggu istri dan dua orang anakku, namun di sepanjang perjalanan wajahnya melintas. Senyumnya yang mengembang mempesonakanku. Binar kesegaran usia mudanya rasanya menarikku kembali ke beberapa tahun lebih awal. Ia seperti bunga liar di tepi jalan, melambai-lambai sendirian di terpa angin, semerbak penuh pesona, siap untuk dipetik kapan saja. Dan anehnya, ia memilihku untuk mengijinkan menikmati sari pesonanya. Hati siapa yang tak berbunga? Di saat usiaku tak muda lagi, tiga puluh tujuh tahun.
Apakah ia melihat pesona kematangan dalam diriku?apa yang membuat mata bulatnya yang indah itu tak luput melintaskan pandangannya pada mataku. Pipinya yang memerah saat aku merayunya. Ah merayu, seperti cinta umur belasan saja. Aku menemukan diriku menjadi seseorang yang aneh, kemana perginya kematangan seorang lelaki dewasa yang berpengalaman? Mungkin telah tercabik-cabik oleh renyah tawanya dan kerling bulat matanya. Diperdaya hasrat yang menggelora saat melihatnya dengan penuh semangat menjalani hidupnya. Aku bisa gila dibuatnya. Odessa, Odessa..Oh, namanya menggema. Membuyarkan saat-saat ritual bersama istriku, membangunkanku tiba-tiba kala dini hari, seakan suaranya yang lugas itu memanggilku. Uff..mataku terpejam, tapi bayangan wajahnya bukannya menghilang, namun tergambar jelas saat mataku terkatup. Ah, aku menyerah, menyerah pada pesonanya.
”Kang, tehnya kang.” Suara Marni mengagetkanku. Segera mengembalikanku dari tarikan dunia lain yang ditawarkan gadis manis bermata bulat itu. Aku terhenyak sesaat, memandang Marni yang tengah menggendong Bima, anakku yang kedua. Ia meletakkan secangkir teh hangat, seperti biasa setiap sore. Aku menghela nafas panjang, pandanganku berkabut.
Tanpa menjawabnya, segera kuseruput teh hangat dalam cangkir itu, seperti itulah ratusan kali suasana sore hari dalam kehidupanku. Uff, aku tersedak, sepertinya air teh mengalir pada tempat yang tidak seharusnya. Aku terbatuk batuk.
”Kenapa kang?” Tanya Marni dengan tetap sibuk menepuk-nepuk Bima dalam pelukannya.
” Nggak apa-apa, cuman kesedak.” Pendek saja jawabku. Kupandang lagi Marni, istriku. Yang telah menghabiskan waktu hidupnya bersamaku lebih dari tujuh tahun belakangan ini. Kenapa tiba-tiba ia seperti orang lain, ada yang salah dengan hatiku. Aku tiba-tiba saja merasa bersalah. Pada apa?apa karena hatiku yang kadang kala berdesir saat melihat gadis bermata bulat itu?
”Mikirin apa to kang? Kok beberapa hari ini sering melamun. Ada masalah di sekolah?” Pertanyaannya semakin membuatku merasa bersalah. Aku hanya menggelengkan kepala. Memandangnya sekali lagi, memastikan kalau ia benar-benar istriku, ah..aku keterlaluan sekali. Aku mengambil sebatang rokok, dan menyalakannya. Asap mengebul, pandanganku memutih, dan sekilas kerling mata bulat gadis manis itu muncul di antara kabut putih itu. Aku sudah gila.
Aku tergelak membaca penggalan cerpen yang tidak pernah usai itu, Dooh..memang tidak tahu bagaimana melanjutkan cerpen itu, ada yang punya ide?
Kadang-kadang sulit menulis sesuatu yang mengusik nurani.
Lihat pada diri lebih dalam lagi. "Cinta" yang lain akankah lebih berharga dari kearifan berterima kasih pada kawan hati yang telah mendampingi sekian lama.
BalasHapusiyaah..cerita ini hanya mencuplik banyak "rasa" yang ada pada diri manusia.
BalasHapustermasuk rasa-rasa yang mengusik nurani