Saat ini menetap di Purwokerto, sambil menunggu persinggahan selanjutnya. Masih terus asyik menulis ditemani secangkir kopi panas dan serentet musik favoritnya. Menikmati bola sebagai bagian hidup, buku-buku sebagai penghibur sekaligus guru besar, dan petualangan sebagai bentuk kehausan jiwa manusianya. Bahagia dengan keluarga serta. Sahabat yang menjadi sumber energinya yang tak pernah lekang. Masih terus melakukan perjalanan jauh ke dalam diri, memaknai hidup sebagai berkah dalam setiap hembusan nafasnya.
Iseng saat membuka halaman blog, aku membaca lagi profilku: About me…tersenyum sejenak. “Aku banget” begitu pikirku saat pertama kali membacanya lagi.
“ sambil menunggu persinggahan selanjutnya” - - - uhm, kemana? Tapi pagi ini aku mendapat bisikan (seperti wangsit saja ahahaha) “ bunyi bisikan itu adalah..setelah kota ini akan segera datang kota berikutnya.
Semoga saja segera. Karena bukan aku tidak menikmati hidup di kota kecil di kaki Gunung Slamet ini, tapi karena kota ini belum juga membuat ruhku, jiwaku merasa melebur dengan tempat ini. Ah, bahasaku semakin absurb saja. Sederhananya, kota ini belum juga mampu membuatku jatuh cinta.
Purwokerto dengan udaranya yang masih bersih, dengan paginya yang tenang, indah dan damai. Sepotong senja yang sendu, yang hangat. Orang-orang di sekelilingku, anak-anakku (baca:mahasiswaku) yang selalu menghiasi hari dengan segala tingkahnya. Everything is fine…
FINE _Frustated-Insecure-Neurotic-Emotional?? Ehehe bukan seperti itu…trully fine…
Tapi kota ini tidak membuatku merasa bahwa tempat ini adalah “this is where I belong”. Rasa itu..rasa itu belum juga muncul. Berapa tahun aku menjejakkan kaki di tanah-tanahnya? Empat tahun menempuh gelar sarjana, dan saat bekerja…uhmm sudah lebih dari dua tahun. Semuanya lebih dari 6 tahun tepatnya. Tempat ini tidak sanggup membuatku merindukannya, tidak mampu membuat hatiku menemukan rumah.
Kau menyebutku aneh –Ampun deh, masalah tempat aja ribet bener—just say it, it’s okay..Walaupun aku tahu ‘ dimanapun kau tinggal, bukan masalah bagaimana lingkunganmu, tapi bagaimana dirimu sendiri” Maksudnya, damai atau tidak damai,tergantung diri kita sendiri---okay aku mengerti. It’s not the matter most…I definetely agree with that
Karena aku mempunyai kota yang hanya dengan melihatnya sebagai setting sebuah film atau sinetron bisa membuatku merasa berdetak-detak, mendengar kota itu disebut, mendengar lama-lamat sebuah lagu yang judulnya mengambil nama tempat itu, bisa dalam detik itu juga mencerabutku dari segala aktivitasku. Ada detik itu..detik itu yang secara spontan mengambilku dari dimanapun aku berada untuk (dalam detik itu juga) memikirkan kota itu, dan ingin kembali lagi ke sana. Uhmm..ternyata perasaan seperti itu juga hampir mirip dengan cinta.
Nyaman saja tidak cukup, baik saja tidak cukup. Atau bahkan tidak harus nyaman, tidak harus baik. Seperti juga cinta, tidak harus sempurna, tidak harus sesuai dengan standar apapun. Asal ada rasa itu. Rasa yang hanya dikenali hati.
“This is where I belong”
(Merindukan tempat itu, yang kini sudah terlalu riuh dengan orang-orang, terlalu padat dan berdebu dengan kendaraan yang berjejal, tapi tetap saja..saat mendengar aksen Jawa kental yang diucapkan sopir TransJogya, saat mendengar obrolan si mbak penjual Gudeg di emperan jalan Kaliurang, bahkan memandangi lanskapnya yang tidak lagi bersih seperti dulu, bisa membuatku merasa di “rumah”. Sebuah rasa yang hanya dikenali hati)
Tak perlu menjadi sempurna, untuk sebuah cinta
Purwokerto, 12 maggio 14:24. Di meja kerjaku, ditemani secangkir kopi yang tinggal separuh
sejenak rasanya terharu membaca posting ini,
BalasHapusjadi rindu surabaya ku, tempat dimana ku sebut sebagai 'rumah'