Mari bicara kembali tentang ketiadaan.. yang semakin terasa tatkala ia tiada, walau sebenarnya ada. Tapi keadaan membuatnya menjadi tiada. Dan karena ketiadaannya itulah membuatku bersyukur bahwa ia pernah ada. Dengan adanya dirinya, ketiadaan menjadi rasa yang semakin menasbihkan betapa berartinya saat ia ada.
Ada dan tiada menjadi semakin tipis perbedaannya, dan yang menjadi pemenang untuk membedakannya hanyalah soal rasa. Ternyata rasa mampu mengalahkan realita, ia menjadi pemenang terhadap apapun, bahkan bila harus menghadapi ketiadaan. Tapi terkadang aku ingin bertanya, bahayakah bila membiarkan rasa menjadi raja?Karena ia bisa menyulap apapun sesuai maunya.
Lalu siapa yang bisa memberi pertimbangan pada rasa?sepertinya aku harus minta tolong pada kepala.***
17/May 2011 8.53 pm
tinggi bahasanya ha ha
BalasHapusehehe..tingginya cuman 7 meter doang kok :D
BalasHapusha ha * -- ok - ok
BalasHapus