Layang-layang itu kulihat bebas melayang di udara, diciumi angin, merajai langit yang membiru itu. Di lapangan dekat rumahku itu, tiba-tiba aku melihat “aku kecil” berumur 5 tahunan dengan rona penuh keriangan menerbangkan layang-layang, dengan rambutku yang dipotong cepak dan pipi endutku, mengenakan baju dari kain sisa jahitan ibuku.
Jelas aku melihat lagi diriku saat kecil dulu, bermain layang-layang di lapangan, bersama adik-adik dan saudara sepupu yang kini telah tenang beristirahat di sisiNya. Bayangan itu terlintas lagi sore tadi, saat aku melihat anak-anak kecil itu menerbangkan layang-layang, dan memoriku berbalik melesat ke belakang.
Rasanya aku ingin bermain layang-layang lagi. Mungkin aku seperti layang-layang itu, akan terbang jauh..jauh..dari tempatku dilahirkan, jauh dari akar dimana aku ditumbuhkan. Tapi seperti juga layang-layang yang mempunyai tali tak terlihat, yang akan membawanya selalu kembali, seperti juga aku. Tali cinta tak terlihat itu, akan selalu membawaku kembali.
“Bu.kapan-kapan pengen jalan-jalan sama ibu..sebelum pergi ehehe..maaf bu, jika terlalu berlebihan permintaannya Ica bu “ (16.56. 30 July 2011).
Aih…sms dari mahasiswiku, terasa mellow di hati. Ia juga September ini akan menyelesaikan studinya, berpisah adalah kata yang sebenarnya enggan ia pikirkan. Sama sepertiku.
“Kalau mbah meninggal nanti, apa yayan bisa pulang?” kalimat itu diucapkan simbah putriku, memang tak langsung diucapkan padaku, tapi pada ibuku. Betapa tidak trenyuh menyergapku tiba-tiba mendengar pertanyaan semacam itu.
Aku dilanda sebuah rasa yang tak dikenali, dulu pernah kualami rasa seperti ini, sewaktu “tak sadar akan pulang ke Indonesia” tahun 2008 silam saat di Itali. Kali ini aku diracuni rasa “tak sadar akan segera pergi”. Rasa yang membuatku enggan untuk mengurus dokumen-dokumen keberangkatanku, menghindari pikiran bahwa aku akan segera pergi. Tiap kali ingin kuperangi rasa itu, semakin tak jelas rasa di hati. Kau tahu rasa macam apa itu?
“aku suka mendengar tawa renyahmu, jadi nanti bawa headset ya ke Glasgow..biar bisa tetap mendengar suaramu” kata seseorangku, yang sedetik kemudian membuatku membisu.
“Jangan bicarakan itu dulu” selalu itu kataku. Penyangkalan, penghindaran diri, terus dan terus meracuniku. Membuatku berperang dengan diriku sendiri. Lelah terkadang…
Tapi matahari dan bulan terus bergantian menjalani perannya, mengingatkanku akan waktu. Dan ternyata aku sudah sampai di penghujung Juli. Menjelang tanggal 1 Agustus, rasanya hatiku ingin bilang “andai September itu adalah dua atau tiga bulan berikutnya”, tapi andai, adalah kata yang penuh racun. Hingga jarang sekali kupilih, karena jika kata itu kupilih, tak pernah bisa merubah nyata. Satu-satunya pilihan, semuanya harus kuhadapi dengan berani, walau dengan rasa yang tak jelas ini..
Perlahan-lahan kubincangi diriku sendiri, apa mauku, apa inginku, mau apa langkahku, mau bagaimana langkah kutapaki selanjutnya. Kubagi rasaku dengan sahabat dan orang-orang terdekatku. Aku memang harus pergi, demi impian-impianku, demi suatu alasan yang baik, demi menuntaskan perjuangan dan memulai perjuangan berikutnya, demi sebuah pergerakan, demi sebuah perubahan yang tak pernah bisa ditawar.
Pergi, pergi kali ini memang terasa berbeda dengan kepergianku yang sebelumnya. Pergi ke tanah-tanah yang jauh, dengan rentang waktu yang tak sebentar. Keberangkatanku kini tak seperti kala itu, tiga bulan saat itu adalah tamasya, seperti mata yang terus terpesona, hati yang selalu terkejut bertanya. Petualangan yang menggembarakan keingintahuanku akan perabadan di negeri antah berantah sana. Tapi kini bukan lagi tiga bulan, tapi tiga tahun.
Sebenarnya/ada sebagian dari diriku..yang tak ingin pergi//
Bisa saja aku memilih, menjalani hari yang biasa yang rutinitas pagi yang sejuk di purwokerto, sarapan mendoan hangat dan berangkat ke kampus. Menjumpai anak-anak dengan segala macam polah tingkahnya, dan menerima gaji tiap bulan. Pulang ke rumah setiap minggu. Bisa menjumpai sahabat-sahabat bila ada waktu, mengatur jadwal liburan bersama. Bisa saja, bisa saja aku memilih untuk itu. Tapi aku memilih untuk pergi, walau harus melewati fase “rasa tak jelas” ini.
Aku telah rindu kini/bahkan jauh sebelum aku pergi//
Sebagai manusiaMu, aku akan terus melakukan rihlah (perjalanan untuk belajar) thalabul ilmi, seeking knowledge and wisdom, karena bukankah salah satunya manusia diciptakan untuk itu?jadi kini ingin lebih banyak lagi kubincangi diriku sendiri, agar perlahan-lahan aku akan bisa pergi dengan ketegaran, dengan ketangguhan.
Sebuah pesan dari Mba nuk (sahabat saat kursus pre-departure English Course di Malang) di milis, semakin menguatkan tekadku,
Ibn Taimiyyah Rahimahullah mengatakan: "Carilah Ilmu, karena mencari ilmu semata-mata dengan niat karena Allah swt adalah ibadah; memahaminya meningkatkan taqwa; berjuang memperolehnya adalah jihad; mengajarkannya kepada mereka yg belum tahu adalah kedermawanan; dan mengkajinya adalah seperti bertasbih. Melalui ilmu maka kebesaran Allah swt semakin kita pahami dan ibadah kita makin baik."
Jadi, aku pergi semoga untuk sebuah alasan yang baik…
*usai sahur pertama ramadhan tahun ini--
0 Comments: