Melangkah tersuruk suruk kembali ke flat, sambil kembali merapatkan jaket tebalku, bergidik menahan dingin dan angin. Fiuuuh, cuaca Glasgow semakin mantap saja, november hampir sampai di pertengahan, artinya musim dingin sebentar lagi menjelang. Langit sudah gelap sempurna, lampu-lampu dari jendela-jendela flat terlihat berderang. Aku baru saja pulang dari Speaking Class sore ini, humm..pukul 7 pm baru pulang, untunglah sudah shalat magrib di kampus. Hingga sampai flat tinggal memikirkan urusan perut.
Entah karena dingin, atau karena doyan, kuputuskan untuk membuat mi rebus, karena padanya kutemukan kepraktisan dan kenikmatan berpadu. Kuah panas, gurih dan dingin sepertinya saling berharmoni. Maka dengan segera kusiapkan bahan-bahan untuk memasak mi rebus. Jamur dicincang, cabai diiris tipis (bagaimana cintaku pada cabai tak usah kau ragukan lagi), telur, irisan tomat dan irisan seledri. Dalam beberapa menit perpaduan indomie rasa ayam, telur, jamur, dan seledri itupun siap disantap, tinggal ditaburi bawang goreng, ditambahi kecap dan sedikit saus botolan. Entah mengapa jadi ingat, ibuku..yang kadang bilang :
“ Mba, makan malamnya bikin mie rebus saja ...biasanya kalau mie rebus buatan mba yayan enak” kata ibuku. Ah, pasti itu karena ibu sedang males memasak ehehe..ibuku memang tidak terlalu suka memasak. Beliau bisa memasak, tapi tak terlalu suka memasak. Orang bisa memasak sesuatu yang sama, namun mengapa rasanya berbeda? Seperti halnya ritual minum teh, kopi atau lainnya. Tidakkah kau perhatikan, berapa kau takar air untuk kuah mie rebusmu, karena bila terlalu banyak rasanya menjadi hambar, dan bila terlalu sedikit akan menjadi terlalu asin? Tidakkah juga kau perhatikan, setiap orang punya seleranya sendiri. Apakah telur itu direbus terpisah kemudian dicampur pada mie yang sudah siap, apakah telur itu dicampur dalam kuah bersama mie, apakah dibiarkan dalam utuh atau dipotong-potong dengan sendok agar gampang dimakan? Kau akan temukan untuk sekedar semangkuk mi rebus saja, akan kau temukan berbagai variasi ritualnya. Seperti cinta, yang tak pernah sama.
Kalau bapak, paling gemar dengan nasi goreng buatanku. Padahal biasanya nasi goreng minimalis, hanya nasi goreng standar berkawan telur iris saja. Walau sebenarnya pasti lebih mantap bila ditambah daging ayam suwir, irisan mentimun dan bawang merah. Bila sudah kumasakan nasi goreng, pasti dengan semangat beliau akan segera menyantapnya. Entah ada rasa apa dengan nasi goreng. Padahal kuberitahu satu hal, entah kenapa bila aku memasak nasi goreng, rasanya perutku sudah kenyang dengan hanya memakan beberapa suap saja. Itu juga tak tahu mengapa.
Lain lagi dengan simbahku, yang berkali-kali dalam skype-an berkata,
“ Ta dongak’e terus. Mugo-mugo pinter, sehat, trus sekolahe cepet rampung”
Beliau selalu hobi perkedel buatanku, walau aku sudah hapal benar bagaimana bentuk perkedel yang beliau mau. Humm, padahal penglihatan beliau sudah samar, tapi rewel kalau bentuk perkedelnya tidak sesuai dengan selera beliau.
Aku suka memasak, terlebih lagi memasak untuk orang-orang terkasih. Karena dalam ritual memasak, ada bumbu cinta yang dimasukkan di dalamnya. Bukankah dengan memasak kita mempersembahkan sesuatu untuk seseorang? Nduk, masakan itu simbol cinta kita kepada orang yang akan menikmati masakan kita, begitu tulis seorang sahabat, Mba Suryati Arifatul Laili di salah satu cerpennya.
Malam sudah kian larut, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang,
“ Sayang, pengen dong dimasakin nasi goreng tuna...biar ndut lagi”
Mataku yang tadinya sudah mulai berat, terkesiap...kulihat jam dinding kamar flatku, jam 10.10 malam, dan kulihat jam di komputerku, 5.05 pagi. Hatiku terasa ngilu. Kemudian suara itu perlahan menghilang, mataku terpejam.
Glasgow yang mulai membeku. 15 Nov 2011. 10.10 pm
0 Comments: