Kebahagiaan, rasanya kata itu seperti harta karun yang dicari-cari banyak orang. Aku ingin bahagia, aku ingin mencari kebahagiaan, aku ingin menemukan kebagiaan, begitu banyak orang bilang. Bahagia, serasa menjadi sebuah kondisi ideal yang banyak diidamkan banyak orang. Kau ingin bahagia? Mungkin saja, sama seperti manusia lainnya. Aku masih ingat ada beberapa postingan tentang bahagia yang pernah kutulis di blog ini, “rumah”ku. Ehehe, akhir-akhir ini rasanya terasa benar betapa nyaman tinggal dan menumbuhkan baris-baris kalimat agar “rumah”ku terasa ramai. Aku dan kebahagiaan-kebahagiaanku, engkau dan kebahagiaanmu, bukankah porsi bahagia kita pun berbeda-beda? Rasanya pun berbeda-beda? Untuk alasan yang berbeda-beda pula?
Kini aku mengerti, kebahagiaan, seperti juga semua hal di dunia ini, berganti, berubah dan berevolusi.
Saat aku kecil dulu, bahagiaku itu terdefinisikan olehku seperti saat bapakku suatu hari membawakanku hadiah. Bapak jarang sekali membawakanku hadiah, karena kami keluarga sederhana saja, dan lagian sosok bapak bagiku adalah hadiah terindah..hiyaaaah ehehe. Tapi tak seperti biasanya, sore itu, bapakku, yang kala itu masih seorang guru SD membawakan hadiah, sebuah tempat pensil berwarna biru, yang di atasnya terdapat tuts tuts piano yang bisa berbunyi. Hatiku terlonjak bahagia bukan kepalang. Berhari-hari kupandangi benda-benda itu. Bahagia hatiku, mungkin memang hadiah membuat orang bahagia, bukan karena apa benda yang kita berikan, tapi kasih yang terungkapkan dalam hadiah itu sendiri. Bahagiaku saat kecil dulu, juga terdefiniskan saat dengan penuh harap menunggu baju baruku untuk lebaran dijahit oleh ibuku. Seperti biasa, bajuku biasanya adalah baju terakhir yang ibuku jahit, setelah semua pesenan orang-orang selesai. Digarapnya bajuku saat malam takbiran, dengan mesin jahit yang kala itu masih tradisional. Itu juga bahagiaku, sederhana saja.
Bahagiaku juga bisa berupa bercanda tawa dengan sahabat-sahabat kuliahku, dan mengetahui bahwa dunia begitu berwarnanya. Jalan-jalan, bercerita, berbagi hidup dengan mereka semua. Bahagiaku kemudian melibatkan banyak orang, dengan bertemu dengan banyak orang. Bahagiaku juga saat terserang gila bola, pernah menjadi perempuan paling bahagia sedunia saat MU meraih treble winner ehehe, dan pernah merasa begitu bahagia saat berhasil menjejakkan kaki di Italia, dan nonton langsung Milan di San Siro. Bahagia ketika satu demi satu, dengan perjuanganku, impian-impianku terwujud.
Tapi, kebahagiaanpun berubah, hidup, tidak statis. Dulu begitu gemar mengumpulkan pernak pernik sepakbola klub pujaan, dari poster, jam dinding, sandal dan hampir kamar penuh dengan semua tentang sepakbola. Setelah usia bertambah (tua ;p) apakah masih sama rasanya? Tidak, tidak lagi. Tapi kebahagiaan kala itu masih terekam jelas, sesuai dengan masanya. Mungkin karena semuanya mempunyai kadaluarsa, mempunyai masanya tersendiri. Apakah kini merasa begitu maniak dengan F4, boyband, sampai rela melakukan segala cara agar tak ketinggalan satu episodepun, menabung untuk membeli kasetnya, dan segala kegilaan muda lainnya? Tidak, tidak lagi.
Ternyata bahagia juga sesuai masanya. Apa yang membuat kita bahagia juga berubah, karena bahagia juga bukan sebuah kemelekatan. Cobalah kalian cari satu saja manusia yang bahagia terus menerus??bisakah kau temukan? Mungkin karena bahagia lebih terasa bila manusia pernah mengalami lara, duka. Mungkin begitulah hukum dualitas.
Di posting ini, aku ingin mengutip tulisan Dee tentang kebahagiaan,
Kebahagiaan pun sesuatu yang hidup, berubah, dan tidak statis. Kewajiban utama saya adalah menjadi manusia yang utuh agar saya bisa membagi keutuhan saya dengan orang lain. Dan keutuhan jiwa saya tidak saya letakkan pada siapa-siapa, melainkan pada diri saya sendiri. Saya hanya bisa bahagia untuk diri saya sendiri. Kalau ada yang lain merasa kecipratan, ya, syukur. Kalau tidak pun bukan urusan saya. Seseorang berbahagia karena dirinya sendiri. Kebahagiaan bukan mekanisme eksternal, tapi internal. Saya tidak bisa membuat siapa pun berbahagia, sekalipun saya ingin berpikir demikian. Kenyatannya, hanya dirinya sendirilah yang bisa. Saya hanya bisa menolong dan memberikan apa yang orang tersebut butuhkan, SEJAUH yang saya bisa. Namun saya tidak memegang kendali apa pun atas kebahagiaannya.
Jadi, temukan bahagiamu pada dirimu sendiri, walaupun itu akan terus berubah, akan kadaluarsa pada suatu masa. Tapi bukankah hidup yang sebenarnya adalah hidup pada detik ini? Jadi tak perlu merisaukan masa kadaluarsa di masa mendatang, karena bahagia masa mendatangpun juga akan tetap hadir bila kau memilihnya, walau alasannya berubah, walau bahagiamu berubah. Tapi kau tetap bisa memilih untuk bahagia. Kau, sendirilah, bukan orang lain, sumber bahagiamu.***
0 Comments: