Semua luka akan sembuh, tapi tidak semuanya akan hilang. Beberapa luka akan menyisakan bekas—tanda bahwa sebuah peristiwa pernah ada (Luka, Fadh Djibran)
Aku adalah saksi sekaligus pelaku, bahwa luka-luka itu pernah ada. Bukti bahwa kita hanya manusia, yang mungkin saja rentan untuk terluka. Entah itu luka karena seseorang yang sengaja atau tak sengaja, atau bahkan luka yang dicipta sendiri? Entahlah, luka terkadang tetaplah getir yang sering kali ditelan sendiri. Kadang kala berupa sayatan tak terkendali yang tiba-tiba merobek hati tanpa bisa dicegah lagi. Begitu saja, tiba-tiba, tanpa permisi.
Tak ada guna benteng-benteng, topeng-topeng, atau tameng-tameng yang kita pakai, luka itu terlalu jelas untuk bisa bersembunyi. Mungkin luka bersembunyi di balik senyum yang masih bisa terulas, di balik tawa yang sebenarnya getir, dibalik canda yang sebenarnya hanya dengan cara itulah ingin kau kubur lukamu dalam-dalam. Karena bila tidak, tangismu akan pecah.
Tanda bahwa kata-katamu tak sanggup lagi bicara, senyummu sudah tak bisa lagi terkulum, tawamu hilang ditelan getir yang datang menghampir. Dan hanya tangis yang mampu menerjemahkan luka itu dengan sedemikian fasihnya. Saat kata-kata hilang daya, tangis hampir sempurna mengambil peran itu. Tangismu, yang mungkin tangis sendirian yang sepi. Yang menegaskan bahwa setangguh apapun dirimu, rapuhmu adalah bagian dari dirimu yang tak terbantahkan. Bukan untuk kehilangan ketangguhan dan kekuatan, namun mengambil jeda dari peristiwa, mengambil jarak dari apapun yang kaupikir menyakitimu, dan ingin sendirian dengan dirimu sendiri.
Bila kautengok kebelakang, jejak-jejak luka itu pastilah pernah ada. Mungkin karena memang dalam setiap diri manusia ada jejak-jejak luka yang disimpannya. Ada yang memilih menguburnya, pura-pura melupa, bahwa episode itu adalah sepenggal kisah yang ingin ia hapuskan dari sekuen hidupnya. Ada pula yang membumbui luka, yang justru merawati lukamu, dan hidup di atasnya. Iya, dengan mengenang-kenang terus lukamu itu, luka segores yang dikenali hati itu akhirnya justru menjadi bumbu bumbu yang kau buat dramatis.
Manusia memang terkadang masokis rasa, menyukai sakit, atau luka yang dikorek-korek lagi. Merasai kilasan rasa-rasa itu lagi. Perhatikan deretan-deretan lagu di jetaudio, winamp atau playlist di HPmu. Lagu-lagu kebangsaanmu itu pasti mengingatkanmu akan sesuatu, akan peristiwa atau akan seseorang. Mungkin juga ada jejak-jejak luka bertebaran dimana-mana, namun kau menikmatinya. Kadang malah berubah menjadi kisah begitu dahsyat yang dialami oleh hati kalian. Yang sering dilagukan, sering kali malah seperti dirayakan. Begitulah manusia.
Merayakan luka setelah luka berlalu, namun tetap tak bisa lupa. Luka-luka itu akan sembuh, dengan si penyembuh terdahsyat dan tak tergantikan, waktu. Si detik jarum jam yang berdetak ritmis itu terkadang adalah harapan saat luka menyesakkan dadamu. Dengan mengucap mantra sakti “ dan inipun akan berlalu”.
Seorang sahabat bertanya dalam statusnya “apakah sebuah tangisan akan menyembuhkan luka?” Entahlah, itu mungkin tergantung kadar dan seberapa cepat penerimaanmu pada luka itu. Mungkin hanya butuh sejenak waktu, karena saat luka memenuhi dada, tak ada lain yang terasa kecuali pedihnya. Sesaknya yang menyulitkanmu bernafas, lalu tangis adalah semacam naluri alamiah yang tak harus kau pelajari mengapa bulir-bulir air matamu itu tiba-tiba saja menderas. Sepertinya luka dan tangis mempunya koneksinya yang ajaib. Tangis yang kadang tanpa kata. Mungkin tak perlu lagi kata-kata. Tangismu itu sudah mewakili segalanya. Percayalah nantinya, luka itupun akan lalu, walau mungkin kau takkan pernah lupa. Tak apa bila kau memilih pura-pura melupa, toh dengan penghapus macam manapun luka itu sebenarnya tak pernah bisa benar-benar terlupa. Mungkin luka itu akan sembuh, nanti, seiring dengan dengan pemahaman-pemahamanmu yang baru. Di sinilah justru betapa kadang luka itu adalah sejenis anak tangga yang akan membuatmu melangkah pada tataran pemahaman berikutnya.
Satu hal, sadarilah, bahwa takkan pernah ada sesuatu atau seseorangpun yang sanggup melukaimu, menyakitimu tanpa engkau mengijinkannya. Ya, kau terluka karena engkau mengijinkanmu terluka. Dan sayangnya, orang yang paling berpotensi membuatmu terluka adalah orang-orang terdekatmu, orang-orang tercintamu, orang yang paling yang menduduki porsi-porsi besar di hatimu. Bukankah begitu? Karena mungkin mereka-merekalah yang kau ijinkan, atau tak sengaja kau ijinkan menjejakkan luka. Entah luka yang kau buat sendiri, atau terluka oleh orang lain. Luka yang kau buat sendiri? Yaa..luka yang barangkali orang yang kau anggap melukaimu itu tak pernah merasa atau bermaksud melukaimu. Luka karena harapmu tak bertemu dengan nyata, luka karena inginmu tak seperti yang dilakukannya.
Tengoklah lagi jejak-jejak lukamu itu, jangan-jangan banyak luka yang kau buat sendiri, lalu kau usung-usung kemanapun kau pergi, lalu kau coba sembuhkan sendiri. Humm..tapi yakinlah, bahwa tetap ada harga untuk sebuah luka bila engkau mau belajar darinya. Mungkin luka itu akan mengantarkanmu pada pemahaman-pemahaman hidup yang baru. Biasanya seperti itu. Mungkin. Mungkin saja, aku hanya menduga.
Luka karena cinta, bukanlah luka yang mencacatkan, tapi yang menuntunmu untuk mengenali keindahan asli dari jiwamu (Mario Teguh)
Tulisan ini untukku, untukmu, untuk kalian, yang pernah terluka, mempunyai luka, menjagai luka, dan menyembuhkannya, walau mungkin tidak untuk lupa bahwa luka itu pernah ada. Jadikanlah luka itu jejak berharga dalam hidupmu, bahwa pernah ada peristiwa, dan pembelajaran di baliknya.
Sungguh, saya mengajak Anda semua untuk mempercayai rumus ini, bahwa seluruh kepahitan-kepahitan hidup, hanyalah intro bagi sebuah kegembiraan. Maka orang yang tidak pernah menderita, sebetulnya telah kehilangan separoh kebahagiaannya (Prie Gs)
**Glasgow, 2 Feb 2012 yang tengah membeku dengan suhu -7 C,
-7 derajat C...membeku dong...kalau beku lukapun jadi awet hehehe :0
BalasHapusahaha iya nih, eropa lagi kena cuaca ekstrim, tapi walau di "luar" beku, di dalam "hangat" kok, jadinya lukanya lumer, sembuh..ahaha...;p
BalasHapus