“ Kadang, kita menemukan rumah justru di tempat yang jauh dari rumah itu sendiri. Menemukan teman, sahabat, saudara. Mungkin juga cinta. Mereka-mereka yang memberikan rumah itu untuk kita, apapun bentuknya. Tapi yang paling menyenangkan dalam sebuah perjalanan adalah menemukan diri kita sendiri. Sebuah rumah yang sesungguhnya. Yang membuat kita tak akan merasa asing meski berada di tempat asing sekalipun (Windy Ariestanty, Life Traveler)
Hidup terasa mondar mandir akhir-akhir ini, setelah ngabur pulang dari Glasgow, aku harus segera menata hidup lagi, dari awal. Ternyata untuk hidup di suatu tempat dengan kualitas standar, minimal terpenuhinya sandang, pangan, papan, bukan sesuatu yang sederhana untuk dibayangkan, risiko hidup nomaden begini. Basic needs itu, membuatku harus menyempatkan beberapa hari ini menata lagi hidup sesuai dengan standar minimal ehehe. Ada terselip lelah di antaranya, tapi sudahlah. Memang beginilah risiko pilihanku.
Sebuah Rumah Sementara |
Memulai hidup dari awal lagi, kembali ke kota ini, Purwokerto-ku..ku?sudahkah terasa kumiliki, kupunyai? Entahlah. Pengalaman pulangku telah memberiku jalan untuk menguji rasa. Pulang ke Kebumen, tanah kelahiranku, ke Purwokerto, kota tempatku bekerja, dan ke Jogya, kota yang kucinta. Perjalanan itupun menjawab, tentang rasa pulang yang kucari. Kebumen—memberiku rasa pulang akan rumah, rumah dalam artian keluarga, saudara-saudara, yang karena alasan sedarahlah kami menjadi dekat. Purwokerto—memberiku rasa rumah tatkala berjumpa lagi dengan rekan-rekan sejawat yang hangat menyambutku pulang, mungkin sedikit memberi penghiburan, aku bukan seseorang yang tak pernah dirindukan jiaaaah. Bahkan beberapa saat lalu, sudah kucari-cari rumah dalam artian sebenarnya, aku ingin segera berumah.
Pulang ke Jogya, tentu saja serasa pulang..pada cinta, pada luka, pada segala macam rasa, tapi tetap saja membuatku merasa pulang.
Sore itu, dengan sepeda motor kususuri jalanan jogya, dan dengan selintas dapat kulihat seorang perempuan berambut panjang bergelombang, dengan tas yang diselempangkan ke samping, mengenakan seragum putih abu-abu, berdiri di depan gerbang sekolah menanti angkutan kota. Lalu dengan jelas pula kulihat, seorang bapak-bapak paruh baya mengenakan pakaian adat jawa lengkap di pinggir jalan, pasti setelah menghadiri sebuah acara tradisional. Rasanya, semuanya bisa kulihat, mataku dan rasaku bisa melihat dan merasa, semuanya. Jogyaku, masih seperti yang dulu, walau banyak yang berubah seiring waktu, tapi tetaplah menjadi jogyaku.
Tapi rumah yang benar-benar tak pernah berubah, adalah rumah di dalam diri, tempat kita bisa pulang kapanpun. Sayangnya adakalanya, rumah dalam diri itu terasa asing, ada bagian-bagian dari kita yang tak lagi dikenali, mungkin karena tarikan-tarikan perbedaan yang tak bisa dihindari. Tapi, ingin kuajaki bagian diriku pulang, agar dimanapun aku berada, tak lagi merasa asing, entah di Glasgow, di Indonesia atau dimanapun, aku bisa selalu menemukan rumah. Rumah bagi diri***
0 Comments: