Malang, kota ini
masih saja seperti saat terakhir kali aku meninggalkannya, walau lebih ramai,
dan beberapa bangunan modern mewarnai tata kotanya. Namun satu hal, kota ini
terlalu penuh kenangan, hingga menjadi salah satu kota yang sangat kuhindari
untuk kukunjungi, walau sejujurnya aku merinduinya setengah mati. Andini,
perempuan bermata binar dan berpipi merah itu menyesaki hatiku. Sepertinya
setiap jengkal dan sudut kota ini menyimpankan kenanganku bersamanya, itu
terkadang yang membuat hatiku sesak.
“Terserah
mas saja, Andin akan nungguin mas pulang,” rasanya masih terngiang-ngiang
kalimatnya itu. Lalu aku mengulurkan tanganku untuk menggengam tangannya, ia
nampak terkesiap, namun membiarkan tangan mungilnya kugenggam lembut, hingga rasanya
tak ingin pernah kulepaskan lagi. Lalu dengan jelas kulihat perubahan mukanya,
semburat merah yang tiba-tiba menjalari pipinya, lalu ia memalingkan muka,
berpura-pura memandangi pak kebun yang tengah merapikan taman di kejauhan. Ah,
aku hapal setiap perubahan mimik mukanya itu, dan sering menduga-duga hatinya
dari teorema-teorema yang kususun setelah hampir tiga tahun bersamanya.
Kala itu dengan gamang kusampaikan kabar bahwa aku
berhasil menggenggam beasiswa master ke University of Maastricht di Belanda, impianku
sejak dulu, akhirnya mewujud. Namun justru dengan binar dan pekik bahagia
perempuan itu begitu bahagia mendengar kabar itu,
“
Andin seneeeeng banget. Andin selalu ingin mas mendapat apa yang mas inginkan. So happy for you..really happy for you, dear.”
Katanya dengan matanya yang semakin nampak berbinar-binar saat kuberitahukan
kabar itu.
Tapi itu berarti harus meninggalkannya, perempuan
itu, yang memberitahuku bagaimana rasanya hidup yang sedemikian berwarnanya. Meninggalkan
Andini adalah perkara tersulit yang harus kulakukan.
***
Belanda ternyata menghilangkanku,
aku hilang tertelan dalam pesona hingar bingar tanah antah berantah yang
membuatku kehilangan diriku sendiri. Impian kadang bisa meracuni bila terlalu
banyak ditelan, dan aku tak sanggup menjagai diriku dari hasrat untuk menaklukkan
tantangan-tantangan yang rasanya semakin kutaklukkan, semakin muncul
tantangan-tantangan baru lagi. Semuanya mengaburkanku dari bayangan Andini yang
menungguiku. Sampai akhirnya,
“ Mas, Andin tak bisa menunggui Mas
terus bila tak ada kata pasti. Ibu dan Bapak menanyaiku, Mas Pras melamarku.
Bila mas tak juga mengambil keputusan, Andin akan patuh kata Bapak dan Ibu,”
tulis Andini kala itu di emailnya. Jarak memang kadang membutakan, dan
keinginan yang terlalu tinggi kadang melenakan. Bagaimana bisa waktu itu
kupikir, aku bisa dengan mudah mendapatkan perempuan lain yang jauh lebih baik,
lebih cantik dan lebih berpendidikan tinggi dibandingkan Andini. Aku mendiamkan
email itu berkarat tanpa balasan di inbox emailku.
Waktu berlalu, berempat musim datang
silih berganti, jadwal kuliah yang
berlarian, dan gelar pendidikan tinggi yang telah tersemat,
kemenangan-kemenangan hidup yang akhirnya tergenggam oleh tangan-tanganku.
Namun tiba-tiba, hatiku hampa. Ada yang kurang menghiasi hari, tak ada lagi
senyum sapa Andini yang manis, candaannya yang lembut, pipinya yang merona saat
kugodai, atau diamnya yang justru terkadang menggemaskan. Hatiku kosong. Pulang
ke tanah air, aku kembali ke Bandung, tanah kelahiranku. Sesekali terlintas
untuk mengunjungi Malang, mencari Andini. Tapi, rasa bersalahku terlalu dalam
pada perempuan berpipi merah itu. Aku kalah, bertahun-tahun hidup dalam sejarah
bersamanya, tanpa mampu mencipta sejarah baru, mungkin itu kutukan untukku.
***
“ Dhan, elu sudah denger kabarnya
Andini belum? Kaget kayak disamber geledek aku denger info dari Mutia tadi pagi,”
Ninit, sahabat karib Andini saat kuliah tiba-tiba menelponku. Deg! Hatiku
bereaksi.
“ Memang kenapa?ada apa dengan
Andini?” tanyaku dengan nada memburu.
“ Andin dan suaminya meninggal,
Dhan, kecelakaan mobil tadi pagi. Aku nggak bisa layat, besok aku terbang ke
Hanoi, urusan kerjaan. Kasian Galuh, Dhan, semata wayang dia sekarang. Kalau
ada waktu, pergilah ke Malang,” kata-kata Ninit seperti menghantam dadaku,
langitku menggelap seketika. Semuanya terlihat hitam. Kelam.
***
Galuh,
gadis kecil itu menggamit lenganku, seperti tak ingin melepaskannya. Kemudian
dengan muka cerianya ini mengajakku memasuki rumahnya yang tertata rapi, dengan
sentuhan-sentuhan tradisional Jawa yang kental.
“ Om mau minum apa? Nanti Galuh
ambilin,” Galuh menawariku minum. Hujan di luar sudah mereda. Aku seperti
memasuki dunia antah berantah, walau inilah risiko dengan memberanikan diri
mencari jejak-jejak Andini di kota Apel ini.
“ Apa saja om suka kok,” jawabku
sambil tak lepas mengamati setiap sudut rumah ini. Andini, kehidupan seperti apa yang kau jalani setelah berpisah denganku?
Hatiku menderu bertanya. Foto berpigura, gambar keluarga kecil itu terpampang
di ruang tengah. Ah senyum itu, senyum Andini, masih saja seperti dulu. Senyum
yang bahkan masih tetap manis walau telat menjemputnya karena ban sepeda
motorku kempes. Lalu gambar lelaki di sebelahnya itu, hanya sekilas kutatap,
karena tak kuasa hatiku menahan rasa tertohok yang dalam kala melihat lelaki
itu. Dia lelaki yang sungguh sangat
beruntung, kilas pikirku sejenak.
“ Om Ardhan itu temannya Bunda pas
kuliah yah?” Galuh, gadis kecil nan manis itu datang membawakan secangkir teh
hangat untukku.
“ Iya, tapi beda fakultas, “ jawabku
singkat, karena tak yakin Galuh sudah mengerti apa itu istilah fakultas.
“ Kalau beda fakultas, kok Om sama
bunda bisa saling kenal?” tanya Galuh yang tiba-tiba menggamit lagi lenganku,
duduk dekat-dekat denganku. Entah mengapa aku terkesiap dengan sentuhan tangan
si gadis kecil itu yang nampak begitu
manja menggelayut di lenganku. Aku tergeragap, seperti hatiku yang baru saja
digenggamnya.
“ Humm..kenal pas ada acara-acara
kampus gitu deh,” Hanya itu yang mampu kujelaskan pada gadis berumur tujuh
tahun itu. Ada sesuatu pada gadis kecil itu yang mengingatkanku pada Andini,
ya..senyum itu benar-benar menjelma ada pada putri kecilnya.
“ Bunda cantik enggak pas kuliah
Om?pinter enggak? Om nggak nakalin Bunda kan dulu pas kuliah?” Ceriwis tanya
Galuh yang memberondongku dengan pertanyaan. Pertanyaan itu mau tak mau
mengulik sejarah lama yang walau telah dibawa lari waktu, tapi rasanya kenangan
itu tetap ada di sana, di hatiku.
“ Manis, seperti Galuh. Dan pinter juga
loh, makanya Galuh harus rajin belajarnya, biar pinter kayak bunda,” Kujawab
sambil mengusap-usap lembut rambut hitam panjang si gadis kecil itu. Galuh
malah makin erat menggelayut pada lenganku, dan merebahkan kepalanya di bahuku.
Dan anehnya hatiku berdenyar, namun beberapa detik kemudian merasakan
ketenangan luar biasa. Entah mengapa ada rasa ingin melindungi gadis kecil ini.
“Eh Om, Galuh mau kasih makan si
Mimi sama Momo di taman belakang, ikut yu Om,” Galuh tiba-tiba menarik lenganku
untuk mengikuti langkahnya ke taman belakang.
Taman
yang hijau dan asri, nampak damai saat kakiku melangkahkan kaki. Mataku beradu
pada kandang-kandang mungil di pojok, dimana Galuh dengan sigap membuka pintu
kandang lalu hap..hap..keluarlah kelinci-kelinci berbulu putih berlompatan di
rumput yang basah sehabis hujan. Lalu aku jongkok, menikmati melihat betapa
telatennya gadis kecil itu memberi makan, sambil sesekali mengelus-elus
punggung kelinci-kelinci itu.
“ Lucu kan Om, Bunda yang kasih
hadiah Mimi dan Momo pas Galuh ulang tahum, seneng banget Om, soalnya mereka
lucu-lucu,” terang Galuh dengan ceria. Aku tersenyum mendengarnya. Lalu aku
menyalangkan mata mengamati taman belakang ini, lalu hatiku terkesiap, saat
pandangan mataku tertumbuk pada dua buah kursi taman kayu dan sebuah meja
bundar tertata di sana. Ada vas bunga dengan bunga yang telah layu terdapat di
sana.
Perlahan aku bangkit
dan mendekati kursi taman itu, lalu pelan-pelan duduk di kursi itu. Hatiku
merasa Andini begitu dekat, ada di situ.
“ Mas kalau nanti suatu saat kita
punya rumah, mas mau rumah seperti apa?” tanya Andini dengan matanya yang
berbinar-binar, hampir selalu mampu menyilaukan hatiku.
“ Mas pengen punya taman belakang
yang asri, ada kelinci-kelinci lucu, trus ada kursi taman dan meja, jadi kalau
pagi-pagi kita berdua bisa minum teh bersama, sambil ngobrol-ngobrol pagi hari,
pasti romantis kan?” paparku kala itu.
Seingatku dulu Andini
hanya menjawab pertanyaanku dengan senyum manisnya, kemudian pipinya tiba-tiba
bersemu merah, merona. Tak berkata apa-apa setelahnya, hanya memainkan
bilah-bilah rambut hitam panjang dengan tangan kecilnya. Memang begitulah
Andini, tak banyak bicara. Tapi sanggup membuatku melakukan apa saja untuknya,
untuk menjaganya, mencintainya, menyayanginya.
Dan rasanya ada yang menyesak dalam
dadaku, menyaksi sebuah gambaran indah dulu yang pernah kuutarakan. Andini
mewujudkan gambaran rumah yang dulu ingin dibangunnya bersamaku.
Kelinci-kelinci lucu dan kursi taman tempat kami bicara berdua, persis seperti
gambarannya. Ah, Andini..rindu mendesak-desak dadaku.
“ Om kok ngelamun, betah ya Om duduk
di sini. Ini tempat favoritnya Bunda loh, Om. Bunda tu sering bawa laptopnya ke
sini, lalu menulis sambil bawa secangkir teh. Galuh sering sungkan kalo mau
ngajak main Bunda kalau bunda lagi duduk lama-lama di sini, nggak tau juga
kenapa Bunda betah banget di tempat ini,” Galuh tanpa diminta berbicara banyak,
ah terlalu banyak tentang bundanya itu.
Mataku
berembun, dadaku sesak, hatiku penuh seketika, penuh kenangan seorang perempuan
yang dulu mengisi hidupku. Kupeluk tubuh gadis kecil itu erat-erat, ingin
kujagai dan kulindungi gadis kecil itu, seperti dulu aku ingin menjagai
ibundanya, tapi tak bisa.
Di
ujung senja yang merona, seperti jiwaku yang terasa hidup kembali, hidup karena
sinar dari mata gadis kecil ini, dimana aku melihat Andini dalam dirinya.
Hidupku selanjutnya adalah tentang aku dengan gadis kecil ini. Kupeluk ia lebih
erat lagi, kuusap rambut hitam panjangnya dengan penuh sayang. Andini, akan kujagai
engkau yang kini ada dalam diri putri kecilmu ini. ***
Akhirnya diposting juga ya? :DDD
BalasHapusho-oh...cerpen yang dibikin ngebut dalam beberapa menit ehehe...cerpen berbau deadline :D
BalasHapus*belum kupoles2 lagi