Ternyata dahsyat benar efek perbedaan kacamata
yang mereka pakai itu dalam memandang sesuatu. Kaca//mata. Cara pandang kita
akan sesuatu.
Kaca mata itulah yang selama ini bertahun tahun
kita bawa kemana-mana, menjustifikasi sesuatu, memandang dan mensikapi
peristiwa ataupun rasa. Kaca mata bentukan kita sendiri hasil dari sekian lama
pertumbuhan diri. Mungkin hasil kontribusi dari orang tua, dari buku-buku yang
kita baca, persentuhan pandangan dengan orang-orang yang kita kenal, kejadian
ataupun lingkungan komunitas terdekat kita.
Masing-masing pribadi tentulah mempunyai kacamata
sendiri. Tapi kadang kala kita tidak bisa mencegah kala ada benturan terjadi.
Kadang, sering.
Kacamata yang kita kenakan itu prinsip dan nilai
yang kita yakini, tentu mungkin berbeda dengan orang lainnya. Tapi masalah
terjadi saat kita ingin mengubah kacamata orang lain dengan kacamata kita.
“Sayangnya, seringkali dalam kehidupan
nyata, kita tidak puas dengan sekadar “menyampaikan”. Kita ingin mengubah
seseorang agar sepaham dengan diri kita (Dee)
Dan ternyata tidak mudah. Karena kacamata itu
seperti indoktrinasi yang telah terjadi bertahun-tahun, berkarat dan telah
menjelma menjadi sebuah “kebenaran” pribadi. Seorang sahabat tercintaku telah
lama mendurja dengan kesahnya padaku, saat orang tua tercinta tak merestui
hubungannya dengan lelaki yang ingin ia jadikan “rumah hati”nya karena restu
orang tua tak jua datang. Sebuah status si lelaki-itu- yang membedakan kacamata
sahabatku dan kacamata orangtuanya. Sungguh pelik ternyata.
“
Pelan-pelan ditelateni, coba
dikomunikasikan baik-baik.” Begitu salah satu kalimat penenangku kala itu.
Walau ternyata manusia bisa punya seribu variasi dalam menanggapi sesuatu.
Hingga reaksi yang terjadi bisa membuatku terbengong tanpa sanggup berkomentar
banyak walau hanya untuk sekedar cara menenangkannya.
Ah, kacamata hidup. Sulit memang untuk menelusup
mencari celah agar mungkin ada tolerasi dan kompromi untuk belajar memandang
dengan kacamata yang lain. Setidaknya menerima perbedaan lensa dengan manusia
lainnya. Mungkin sebenarnya bukan kebenaran yang dipentingkan, mungkin kacamata
kita saja yang kita pentingkan dalam mensikapi apapun.
Aku, bisa saja menuliskan ribuan kalimat misalnya,
tapi tetap tak punya kuasa untuk mengubah kacamata siapapun, kecuali manusia
itu sendiri yang membiarkan kata-kataku menelusup membiarkan kacamatanya
meluas, mencari celah pandang yang lain.
Ternyata kita tak punya cukup banyak kuasa. Tapi
cukup banyak diberi kesempatan untuk berusaha. Mungkin bukan berusaha mengubah
kacamata orang lain agar sepaham, atau sama kacamata dengan kita. Mustahil
kiranya. Tapi mungkin sekedar berupaya melenturkan lensa, memperluas cakrawala,
bahwa di luar sana setiap orang datang dengan kacamatanya masing-masing.
Mungkin kita hanya butuh berusaha untuk memahami perbedaannya.
Mungkin.
Salam harmoni.
*Harmoni #lagu kita..walau suaraku dan kamu yang
menyanyikannya dengan nada berbeda. Harmoni mungkin tercipta karena berbeda tapi
mempunyai daya selaras tingkat dewa ;p
melenturkan lensa, menatap perbedaan sebagai sebuah harmoni ya. makasih sharenya, mba siwi :)
BalasHapussama-sama ila..terimakasih sudah mampir disini :)
BalasHapus