Pulang
dari lab kemarin, segera
kulihat HP Nokiaku yang
tertinggal di Flat, dan hanya
BB saja yang terbawa. Ada satu pesan masuk, lalu kubuka, isinya singkat saja, hanya menanyakan
“Masih di London apa sudah pulang?” sms dari bapak.
Lalu aku melihat jam di
tanganku, pasti di Indo sudah hampir tengah malam, hingga kuurungkan niat
membalas sms beliau, dan berniat membalasnya pada sahur nanti. Biasanya waktu
Indonesia sedang bersantap sahur,
sedang di Glasgow sedang berbuka puasa. Ah tumben bapak sms. Nomer simpatiku
memang masih aktif selama aku di Glasgow, karena memang sengaja untuk tetap
aktif. Biasanya aku ngobrol dengan keluarga saat weekend lewat skype. Minggu
lalu sudah kubilang akan ke London weekend ini, mungkin bapak lupa kapan aku ke
London. Atau entah kenapa..Kangen? ahhaa ;p
“mba,
kemarin beli tahu petis kesukaanmu, wah seret maem-e” begitu cerita ibuku
saat skype-an. Pasti bukan kalimat yang asing di telinga kalian,
pastilah kalian sering mendengar kalimat sejenis ini dari orang tua kalian.
Humm,
orang tua di dunia ini sepertinya semua hampir sama, menyayangi buah hatinya.
Lihatlah saja, bila pasangan yang baru saja mempunyai anak, pasti profil pic di
FBnya akan berganti rupa menjadi bayi, atau timeline-nya penuh dengan foto-foto
buah hatinya tersebut. Tapi bayi itu, akan terus tumbuh dan suatu saat akan
meninggalkan mereka.
When your kids go to
university, live in a different place, you know that some day -next week, next
month, wherever, sooner or later, they will COME HOME. But when they leave home
to start their independent lives, you become uncertain WHEN they will see you.
They will define 'home' on their own wills, not home as you belong to, not
anymore (Bu Atik)
Kalimat di atas adalah status Fb bu Atik (dosen biologiku
dulu), membuat aku berpikir sejenak bahwa lontaran perasaannya itu pastilah
mewakili banyak perasaan para orang tua.
Semenjak kuliah, aku sudah mulai hidup
terpisah dengan tinggal di kos-an, walaupun jarak kota yang kutinggali
(Purwokerto) dengan rumah (Kebumen) tidak terlampau jauh. Hampir setiap minggu
saat weekend, bila tak ada kegiatan laboratorium atau praktikum pasti pulang ke
rumah. Sekitar 4 tahun
menyelesaikan kuliah 1, dan kemudian hidup beralih ke Kota Yogyakarta selama 2
tahun. Kemudian setelah itu kembali lagi ke Purwokerto saat aku mendapat
pekerjaan sebagai dosen di almamaterku. Lalu pernah terbang ke Italia selama
tiga bulan, lalu kini ada di Glasgow, UK saat menempuh studi doktoralku. Semenjak kuliah, aku hampir jarang berada dalam waktu
yang lama di rumah.
Pulang,
kini menjadi bermakna kata
tak lagi sama. They will define 'home' on
their own wills, not home as you belong to, not anymore. Iyaps, dengan
kondisiku yang nomaden sekarang, definisi pulang, sudah bukan “hanya”makna
tunggal, yakni pulang ke rumah asal. Karena sering kali jauh dari rumah, untuk
mengeliminir rasa sedih bila akan pergi, maka kata “pergi” kuubah menjadi kata
“pulang” karena kata pulang lebih membawa kesan menyenangkan dan menentramkan.
Jadi saya bisa
pulang ke Glasgow, ke Kebumen, Ke Purwokerto atau ke Jogyakarta. Saya sudah
mempunyai definisi pulang tersendiri yang mungkin tak lagi melulu pulang ke rumah orang tua
tercinta.
Kita
sibuk sendiri dengan urusan masing-masing, hidup terasa melesat-lesat saat
tengah mengejar mimpi-mimpi. Tapi mungkin sering kali terlupa pada sosok yang
senantiasa ada, mendukung dan mendoakan kita walau dari jauh sekalipun. Bahwa waktu-pun “bekerja” pada mereka, hingga merekapun
beranjak menua.
We grow up, and They
grow old.
Saya
terus bertumbuh, pergi ke berbagai daratanNya, bertemu dengan orang-orang
dengan berbagai macam latar belakang, mencintai, dicintai, dan juga mempunyai sahabat
dekat yang kinipun telah terpencar-pencar oleh jarak. Kita bertumbuh dewasa,
tapi seringkali tak sadar bahwa orangtua kita juga bertumbuh tua. Rambut mereka
sudah mulai beruban, gigi sudah mulai tanggal dan harus memakai gigi palsu,
kesehatan mereka juga tak sebaik dahulu. Bahkan cara berpikir dan bersikap
mungkin juga berubah. Ah, semoga laju perubahan itu terus bisa kudeteksi.
Karena waktu, kadang melena, kadang melupa.
“They
will miss you” isi BBM seorang kawan saat saya akan “pulang” lagi ke
Glasgow bulan lalu. Kubales dengan ikon tertawa,
“ Why you laugh?” tanyanya heran (mungkin)
“ Aku sudah biasa pergi” jawabku. Kata—rindu,jarak,jauh—telah menjadi akrab di telinga dan juga dirasaku.
Ah, waktu. Semoga engkau masih memberi banyak kesempatan
untuk menunjukkan betapa besar cinta saya pada mereka.
Beberapa saat lalu, saya melihat di timeline FB,
percakapan seorang bapak (dosen/trainer saya dulu) dengan anak-nya yang tengah
berada di luar negeri untuk magang kerja.
Adik mau awan mulih
jam 11, tak jemput. Tekan Gang 1 deweke omong, "aku wis kangen temen karo
kakak." Tak takoni, yen ketemu kakak kowe arep ngopo? "Arep tak peluk
suwiii ora tak culke, terus aku njaluk digendong.
Begitulah, keluarga selalu menjadi tempat yang hangat
untuk pulang. Walau sekarang ini, falsafah “mangan ora mangan ngumpul” di
masyarakat sudah banyak bergeser, dan kata “kumpul” pun bisa diciptakan dengan
berbagai macam cara. Tapi setidaknya, mari luangkan waktu untuk mereka. Yang
telah menyayangi kita dengan segenap jiwa.
Glasgow, 9 August 2012. 7 pm, sebelum memasak untuk buka
puasa.
love it :)
BalasHapusehehe thanks...:)
BalasHapus