Sore ini udara Kota Solo terasa gerah. Mendung
menggelayut tapi tak kunjung hujan. Air hujan selayaknya air mata yang tertahan
pada pelupuk mata. Menunggu tertumpahkan.
“
Mas, bisa pinjam jaketmu?” tanyaku. Masih dalam langkah kaki menyusuri jalan
menuju Terminal Tirtonadi. Berharap jalanan memperpanjang dirinya agar kami
bisa berjalan bersama semakin lama.
“Adek sakit?”
tanyamu. Langkahmu terhenti, lalu memandangku dengan gurat kecemasan yang sulit
kau sembunyikan. Mukaku pasti pucat. Yang sebenarnya memucat karena mengetahui
detik yang tersisa bersamamu hanya tinggal
sedikit.
Seandainya tak pernah ada kata pergi.
Aku hanya menggelengkan kepala, tersenyum. Lalu
segera melapisi tubuhku dengan jaketmu, hatiku menghangat.
Detik berlarian. Hatiku beringsut, gundah.
Bukankah ritual pergi telah sering kualami
berkali-kali? Kenapa masih saja hatiku menggamang. Seakan tak pernah rela
melepasmu pergi.
Kami telah sampai ke Terminal Tirtonadi, berdiri
di antara puluhan orang yang tengah sibuk dengan rasa datang dan pergi.
Terminal, Bandara, Stasiun adalah tempat-tempat
dimana manusia-manusia melepas dan menyambut. Tempat –tempat itu begitu akrab
dengan pertemuan dan perpisahan. Awal dari kebersamaan ataupun
ketidakbersamaan. Ada cium tangan, apa pelukan melepas orang-orang terkasih,
ada lambaian dengan harap semoga Tuhan dengan waktuNya mempertemukan kita
kembali. Dan aku, tempat-tempat seperti itu adalah tempat saat jiwaku turut
menghilang separuh, terbawa bersamamu yang melangkah pergi meninggalkanku,
namun turut membawa hatiku pergi.
Seperti saat ini, di tempat duduk ruang tunggu
menunggu bus yang akan membawamu pergi. Seperti malaikat maut.
“
Kenapa sih dek? Sedih ya mas mau pergi?” tanyamu mengamati wajahku. Mungkin kau
menyadari binar di mataku makin meredup seiring detik yang terus berlarian,
menyisakan waktu yang semakin sedikit tersisa.
Aku tersenyum, ada getir yang pias pada
senyumanku.
“
Enggaklah, mas kan sudah sering pergi. Sudah biasa begini,” begitu jawabku, sambil
merapatkan jaketmu ke tubuhku. Ingin hangatmu selalu ada dalam diriku. Selalu.
Kau mengusap-usap rambut panjangku perlahan,
kemudian terdiam. Apakah kau juga ingin
memperpanjang waktu, mas? tanya hatiku. Tak tahu.
Jam dinding besar di terminal sudah menunjukkan
jam 18.45 malam, lima belas menit lagi waktu yang tersisa. Kupandangi engkau
lagi seperti memandangimu terakhir kali. Betapa sering aku dianugerahi momen
seperti ini.
Manusia bisa memandang orang lain seperti biasa,
bahwa nanti akan bertemu lagi. Siang nanti, malam nanti, esok, atau paling
beberapa jam mendatang. Mereka tak mengalami apa yang kurasai, memandangi
seseorang seperti terakhir kali akan melihatnya. Karena ke depan adalah
ketidakpastian. Kapan bisa bertemu engkau
lagi? hanya berharap Tuhan dan waktu akan berbaik hati.
Waktu kali ini berbaik hati. Petugas bus
menghampiri para penumpang yang tengah menunggu bis menuju Surabaya bahwa bis
pada jadwal 19.00 tak bisa dioperasikan. Kami harus menunggu bis pukul 20.00
malam. Hatiku tersenyum, perpanjangan waktu. Berarti masih tersisa sekitar 3600
detik lagi bersamamu.
“
Adek pulang saja ya, udah malem. Biar mas tunggu bis-nya satu jam lagi. Mas
carikan taksi ya?” tanyamu. Dengan wajah lelah karena seharian menantangi hari.
Aku menggelengkan kepala. Waktu sudah berbaik
hati, bagaimana mungkin aku pergi sebelum kau pergi.
“
Tapi adek lagi nggak enak badan, nanti malah sakit?” ucapmu dengan nada
khawatir yang sulit kau sembunyikan.
Aku tersenyum, menyakinkan bahwa aku baik-baik
saja. Walau menunggu saat jiwaku akan tinggal separuh dibawa pergi bersamamu.
Di kejauhan, kembali terlihat ritual melepas dan
menyambut bergantian di depan mata. Senyuman ataupun air mata yang tertahan.
Hujan turun perlahan, airmata di pelupuk langit akhirnya turun ke bumi. Dalam
rintik-rintiknya yang membawakan rindu yang gagu. Tak terucap. Bagaimana
mungkin seseorang bisa rindu bahkan dengan orang yang masih ada di sampingnya,
bersamanya, di dekatnya. Tapi itu aku. Aku telah merinduimu sebelum kau pergi
lagi.
Dan
engkau, seperti biasanya mulai meracau lagi dengan kalimat-kalimatmu yang
selalu sanggup menerbitkan senyumku. Aku khawatir bila suatu saat engkau
berhenti membadut di depanku. Tingkah badutmu yang sanggup membuat tangisku
bercampur tawa dalam satu waktu. Bersamamu selalu membuat detik waktu serasa
cepat sekali berlalu. Seharusnya engkau melakukan perjanjian dulu dengan waktu
sebelum kau bertemu denganku. Mengapa setiap kali denganmu, waktu berlari
terburu-buru.
“
Bis nya sudah datang dek,” katamu pada akhirnya, Malaikat maut datang merebutmu
dariku. Senyumku menghilang sejenak. Tapi sedetik kemudian kuterbitkan lagi, karena
aku ingin kau melihatku terakhir kali dengan senyuman, walau dengan air mata
yang tertahan.
“
Hati-hati ya mas” kataku. Maksudku hati-hati menjaga hati dan jiwaku yang kau
bawa pergi. Kau tahu itu walau tak terucap.
Kucium
tanganmu dan kau melangkah pergi. Dalam setiap langkah yang membuat hatiku
luruh, menyadari bahwa jiwaku telah hilang separuh. Kupandangi punggungmu
pergi, sampai menghilang naik ke atas bus. Dan tetap kupandangi bis itu sampai
akhirnya ia bergerak perlahan meninggalkanku yang tetap berdiri mematung.
Kau pergi, seperti ritual yang kita jalani
berkali-kali. Seharusnya hatiku terbiasa dengan ini. Seharusnya aku bersyukur,
mungkin tak semua orang pernah mengalami, betapa sempit waktu hingga betapa
berharga sebuah kebersamaan. Bila sepasang manusia lainnya yang saling mencinta
diberikan jatah waktu sekian lama untuk bersama, tapi kita harus bersyukur
dengan jatah waktu yang kita punya. Karena dengan begini, aku bisa mencintaimu
sampai detik terakhir. Detik terakhir yang diberikan oleh Tuhan dan waktu.
Aku masih berdiri mematung walau beberapa detik
bis yang membawamu pergi meninggalkanku.
Hpku bergetar. Namamu ada di layar, lalu sedetik
kemudian suaramu terdengar.
Kita selalu sanggup memperpanjang waktu. Sampai
detik terakhir.
Usap
air matamu
Dekap
erat tubuhku
Tatap
aku sepuas hatimu
Nikmati
detik demi detik
yang
mungkin kita tak bisa rasakan lagi
Hirup
aroma tubuhku
yang
mungkin tak bisa lagi tenangkan gundahmu
Gundahmu...
(Detik
Terakhir, Lyla)
(Sebuah Flash Fiction = karya fiksi yang sangat
singkat).
Ndalem Pogung, Jogya. 2 February 2013. 12. 19.
0 Comments: