Hujan masih
menderas, perciknya hampir sampai di ujung-ujung jari kakiku. Teras rumah
saudara ini sepi, hanya aku dan orkestra suara hujan. Sepi tentu saja, karena
pemilik rumahnya, Budhe Mami sekeluarga tengah arisan keluarga dilanjutkan
acara 40 harian almarhum simbah putri di rumahku. Tapi justru aku yang berada
di sini. Karena setengah jam yang lalu, dengan tanpa pikir panjang, aku segera mengemasi
sampel-sampelku (RNA dari isolasi serum pasien DBD) dari kulkas rumah dan menempatkannya ke cooler box, lalu segera
melakukan aksi penyelamatan.
Pet! Di tengah-tengah acara kumpul arisan keluarga
listrik tiba-tiba mati. Ah, Tuhan mau
becanda lagi, begitu pikirku. Sampel-sampel yang harus disimpan dalam
kulkas dengan suhu -20 C itupun harus kuselamatkan. Dan di tengah rintik hujan
saya melarikan motor cepat-cepat ke
rumah saudara. Dan Alhamdulillah listrik menyala dan sampelku kutempatkan di
freezer kulkas.
Sampel itu se-nomaden saya. Asalnya dari RS
Margono (Purwokerto), saya bawa ke Laboratorium Mikrobiologi UGM, Jogya dan kemarin
saya bawa ke rumah di Kebumen, untuk besok pagi saya bawa ke Loka Litbang
Banjarnegara. Sampel itu nampaknya sudah bisa menyesuaikan diri dengan saya,
yang nomaden tak tentu. Besok saya pindah lab ke Banjarnegara, pun tak tahu
akan tinggal dimana, apa akan balik ke Purwokerto atau bisa ada tempat tinggal
di sana sehingga saya bisa beberapa hari mengerjakan sampel. Hidup saya memang
tak tentu.
“ Lihat nanti bagaimana” itu yang sering
saya ucapkan pada hati saya.
Saya tumbuh
hampir dengan ritme hidup seperti ini. Saya sendiri heran, ada apa dengan
semesta yang gemar bercanda dengan saya. Kalau saya sedang sadar, maka dengan
senyum lalu dalam hati saya berkata : Humm
mau mainan lagi kan? Let’s Play!!
Hidup saya sering ada dalam situasi dan kondisi
ekstrim, tak tentu, tak pasti. Seperti juga katamu suatu kali :
“
Bersamamu, penuh kejutan, ketidakpastian, Hidup ke depan tak bisa tertebak akan
terjadi seperti apa,”
Saya memang tipikal orang yang nabrak-nabrak,
nggak well prepared, nggak well organized. Tapi saya punya
keyakinan yang sulit saya jelaskan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Semuanya akan berakhir baik, kalau belum baik-baik saja, berarti belum
berakhir. Kemarin-kemarin saya berpikir, jangan-jangan saya memang mencandui
rasa kejut itu, rasa ada dalam keadaan ekstrim, rasa ketika adrenalin terpacu? Mungkinkah
saya mencandui rasa itu? Entahlah, mungkin juga begitu.
Namun terkadang, saya tak tega bila harus
melibatkan orang-orang tercinta saya dalam keadaan-keadaan ekstrim. Orang tua
saya paham benar ritme hidup saya, sehingga lama-lama merasa agak terbiasa. Pasti dikasih susah susah dulu, trus entar
di kasih jalan, kata ibuku.
Tapi
kadang, sungguh tak tega juga. Rasanya pengen bilanng “ Bolehlah becandaan sama saya, nggak papa mau main-main kayak apa juga.
Tapi jangan bawa-bawa orang-orang tercinta saya, apalagi orangtua huhu”
Seperti kala dalam taksi mengejar waktu menuju
bandara saat sampai kembali ke Glasgow akhir Juni tahun lalu. Waktu yang sempit
sementara jalanan macet. Cemas, terburu-buru, kesal, berbagai rasa campur aduk
jadi satu. Padahal sebelumnya rencana sudah tersusun manis, karena berangkat
dengan mobil pribadi jadi bisa pergi lebih awal ke bandara. Namun, semesta
kembali bercanda, pak supir bilang bahwa ada sesuatu di stir-nya yang harus
diperbaiki, katanya sangat berbahaya bila tidak segera diperbaiki. Maka dari
subuh pak supir dan adik saya sudah ke bengkel untuk mereparasinya. Sampai
waktunya hendak ke bandara, posisi mobil sudah selesai diperbaiki tapi butuh
waktu untuk menuju tempat saya berada. Sedangkan waktu semakin sempit. Maka
dengan taksilah akhirnya saya, ibu, bapak dan paklik saya ke bandara. Dan terjebak
di kemacetan jakarta saat jam pulang kerja kantor.
Saya tahu ibu saya sudah
menangis di sebelah kiri saya, sementara bapak terlihat sangat cemas sambil tak
berhentinya berdoa. Di titik itulah, saya merasa, “ Saya lebih memilih rela membeli tiket pesawat dengan uang saya sendiri
bila memang terlambat daripada melihat ibu dan bapak saya menghadapi situasi
yang semacam ini.” Saya diam saja, tak menangis, berdoa dalam hati, walau
cemas tak bisa terpungkiri. Tapi dalam pikir saya, sudah berderet rencana bila
akhirnya telat. Saya akan membeli tiket pesawat dengan uang sendiri dan
berangkat besok. Tak apa, semuanya akan baik-baik saja.
Tapi memang semesta pintar bercanda. Supir taksi
yang kami tumpangi begitu gesit menerobos kemacetan dan berhasil mencapai
bandara walau waktu check-in sudah
mepet. Tak sempat bicara apa–apa, saya hanya berpamitan, cium tangan dan
memeluk mereka sebentar, lalu segera lari untuk check in. Jenis perpisahan apa
macam begitu?
Dan candaan semesta belum berakhir. Saya penumpang
terakhir yang check-in dan saat bagasi saya ditimbang, eh pake over bagasi. Saat
saya menanyakan biaya kelebihan bagasi, si mas petugas KLM itu menjawab dibayar
sekitar 800 ribu. Secepat kilat saya berpikir, isinya nggak sampai duit segitu,
sayang kalau harus bayar sejumlah uang tersebut.
“
Oke mas, saya bongkar sebentar, “
lalu saya akan menggeser posisi koper saya ke belakang untuk saya bongkar dan
memilah kembali barang yang akan saya buang atau saya masukkan.
“ di sini aja mbak, udah mepet waktunya,
mba-nya penumpang terakhir yang belum masuk” kata si mas petugasnya.
Akhirnya saya membongkar koper saya di depan
counter check-in KLM. Bagian
permukaan kebetulan memang buku-buku dan kertas. Buku lab saya yg tebal, saya
pikir akan memberatkan bagian yang masih kosongnya. Maka dengan heroik (heroik? Mungkin lebih tepatnya dengan penuh
frustasi ahaha) saya sobek bagian halaman-halaman yang masih kosong dan hanya
menyisakan bagian yang saya butuhkan. Si mas petugas KLM itu tiba-tiba
mendekati saya :
“ Buku ya mba? Nggak ada yang bisa ditinggal?”
tanya si mas itu dengan nada empati. Dia melemparkan pandangan mengamati koper
saya. Memang nampak buku dan file-file berkas penelitian.
“
Iya mas, buku-buku untuk studi saya, “ jawabku sambil terus berpikir keras mana
barang yang harus saya tinggal”
“ Gini aja mba, bawa aja semuanya. Anggap
saja saya menolong anak negeri sekolah. Beresin aja lagi. Waktunya udah mepet”
kata si mas tadi itu,
Eyaaaa...semesta becanda lagi kan? Kenapa enggak
dari tadi dikasih masuk aja? Pakai saya harus melakukan aksi heroik sobek
menyobek segala. Dan akhirnya dua koper saya masuk dengan mulus dengan dianggap
“tidak over bagasi”.
Itu cuma sedikit contoh kecil betapa semesta hobi
banget becandaan dengan saya. Sampai perjalanan riset inipun, bila dituliskan
pasti bisa berhalaman-halaman.
Kadang lelah, iya. Kadang mengeluh, pasti. Kadang
mewek, uhmm..iyalah. Tapi saya ingin belajar menganggap itu semua sebagai
anugerah. Tuhan begitu murah hati memberikan banyak sekali kejutan-kejutan
dalam hidup saya. Dan saya ingin membiarkan kejutan dan keajaiban-keajaiban
terjadi dalam hidup saya. Bukankah tidak ada satu hari-pun berjalan dengan
ritme yang sama?
Saya kembali diingatkan akan anugerah hidup dalam
kekinian. Bila terbangun di pagi hari, saat kita dihidupkan kembali. Apakah
kita merasa sebuah hidup yang baru? Anugerah Tuhan berupa waktuNya. Sinar
matahari pertama di pagi hari tak pernah seharipun yang sama, senyuman penjual
gudeg, sapaan tukang parkir, ataupun interaksi kita dengan orang-orang yang
selibat dalam hidup kita. Setiap detik hidup tak pernah berlangsung sama persis
bukan?. Keajaiban terjadi dimana-mana, asal kita mau mengijinkannya terjadi. Termasuk
senyummu, candaanmu, dan segala tingkah ajaibmu. Jangan-jangan kau
berkonspirasi dengan semesta? Ahaha.
Dan saya kini, di tengah segala kenomaden-an,
segala ketidakpastian keadaaan, tapi cukup dengan satu keyakinkan saya. Selama saya bersama Tuhan, tak ada yang
perlu terlalu dikhawatirkan dalam hidup kan?
Saya cukup melakukan yang terbaik, dan Tuhan akan
menata semuanya untuk saya. Dan sampai sekarang, Tuhan tidak pernah gagal
mengejutkan saya dengan semua rencana dan ketentuanNya.
Selamat merayakan hidup kawanku, Let the world surprise you!
*di
akhir tulisan saya mengingat semesta dan motor saya yang berkonspirasi dengan
tiba-tiba kempes ban saat itu. Sepertinya kamu harus mulai terbiasa dicandai
semesta, termasuk ndorong-ndorong motor kempes saya ;p
Teras rumah saudara yang sepi, bersama sisa hujan.
Masih menunggui sampel saya. 24 februari 2013. 15.11.
0 Comments: