Jogya disapu gerimis rintis, kami berdua duduk
berhadapan sambil menikmati secangkir kopi di Starbuck, Amplas Jogya. Malam
sudah beranjak naik. Sahabatku kali ini dengan pesanan double espresso,
sedangkan aku dengan secangkir coffee latte vanilla. Kami bertemu lagi di Jogya
setelah hampir 6 tahun tak bertemu, semenjak kelulusan studi master kami di
UGM. Dan kini kami sering melewatkan waktu bersama, makan, nonton atau hanya
sekedar nongkrong minum kopi dan ngobrol.
“
Kamu banyak sekali berubah sejak 6 tahun lalu,” kata-kata ini beberapa kali
terucap darinya semenjak kami dipertemukan kembali.
“Yang
jelas enggak jutek lagi, ahaha,” begitu tawanya renyah, lalu disesapnya double
espressonya lagi.
Iyah, saya banyak berubah. Saya menyadari
perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri saya. Dan pula mengetahui hal-hal
apa, peristiwa apa dan siapa yang memicu perubahan dalam diri saya.
Dia sendiri bagi saya tidak terlalu banyak
berubah, terkecuali bahwa sekarang dia telah berubah menjadi seorang ibu dari
seorang putri cantik yang sangat hiperaktif. Namun ada beberapa hal yang
kutemukan dalam dirinya, yang dulu saat kami studi bersama-sama tak pernah
muncul di permukaan. Kami sekarang bisa melihat lebih dalam, bukan lagi teman
permukaan.
Kami ngobrol kesana kemari, dari karier,
spiritualitas, sampai obsesi-obsesi pribadi. Obrolan-obrolan yang dulu hampir
tak pernah menjadi opsi saat kami kuliah dulu. Karena dulu kami paling-paling
membicarakan tentang kuliah, tugas, ataupun penelitian. Tapi sekarang kami
bicara soal hidup.
“
Sepertinya saya telat menyadari, saya telat bangun” katanya. Hidupnya terbilang
sempurna. Karirnya sebagai dokter dan dosen tergolong bagus walau belum bisa
dibilang luar biasa, jodohpun ditemukannya dengan mulus lalu mempunyai seorang buah
hati yang cantik.
“ So, you’ve a perfect life, right?”
godaku. Dia tersenyum.
“
May be, tapi ada sesuatu yang belum
terpenuhi. Pas ngobrol sama kamu, saya baru menyadari itu. Tapi sepertinya saya
telat menyadarinya.” Ucapnya lagi.
Saya tersenyum, menimpalinya bahwa tidak ada yang
yang terlambat. Saya pun bila harus menengok beberapa teman saya yang jauh
lebih muda, dan sudah menyadari tentang hal ini, kadang merasa iri. Iri dalam
artian positif, tapi kemudian menyadari bahwa dalam perjalanan, ritme dan
jalur-jalur hidup manusia sudah ada kecepatannya masing-masing. Dengan suatu
alasan tertentu pastinya.
Saya merasa beruntung telah menemukan jalur
perjalanan saya sendiri. Dan ingin terus berjalan, berlari terkadang, namun tetap
ingin mengambil jeda agar menyadari sampai dimana perjalanan saya.
Manusia butuh sesuatu selain kebutuhan bahwa hidup
berjalan baik-baik saja. Butuh kemaknaan yang lebih dalam untuk mengerti
sebenarnya untuk apa sih hal-hal yang dilakukannya dalam 24 jam sehari,
kemudian hidup berganti minggu, berganti bulan dan tahun?. Ataukah engkau suatu
saat akan menemukan dirimu tersesat ataupun hilang? Apa yang engkau mau? Apa yang
ingin engkau capai? Lalu untuk apa itu semua? Apa sebenarnya mau Tuhan dalam
peranmu sebagai manusia? Siapa sebenarnya engkau? Apa yang membuatmu merasa “penuh”?
apa kontribusimu pada semesta?
Apa kalian pikir sederetan pertanyaanku tadi
begitu absurb? Namun saya yakin suatu saat engkau akan tiba pada pertanyaan-pertanyaan
itu. Kalian punya pekerjaan, rutinitas,
suami, pacar, atau istri, keluarga, untuk apa? Punya rumah, mobil atau apapun
yang kalian inginkan. Apakah masih ada yang terasa kosong dalam jiwamu? Siapa tau
dirimu jarang-jarang engkau bincangi.
Apakah engkau menyibukkan diri dengan berbagai
aktivitasmu, bekerja setengah mati, atau kemudian bersenang-senang sampai lupa
diri? Lalu sebenarnya untuk apa engkau jalani itu semua?
Ah, saya terlalu banyak bertanya.
Tapi engkau tak bisa memindai hidupmu sendiri bila
engkau terus menerus berlarian tiada henti. Seperti huruf-huruf yang berlarian
kuketik inipun tidak akan mempunyai arti bila tak ada spasi.
Seindah
apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tidak ada jeda? Dapatkah ia
dimengerti jika tidak ada spasi? (Spasi, Dee).
Apa yang Dee maksudkan adalah bagaimana hidup
bermakna apabila tidak ada jeda untuk menyadari maknanya? Apakah hidup bisa
dimengerti esensinya jika tidak ada spasi? Maka bincangilah dirimu. Bincangi! Jangan
biarkan dia menjadi asing bagi dirimu sendiri. Jangan biarkan ia kesepian di
pojokan tanpa pernah engkau tanyai, engkau bincangi, engkau perangi, kau damai.
Saya kini tahu alasan-alasan saya melakukan banyak
hal dalam hidup. Termasuk mengapa saya sering sekali menulis tentang tema ini
dalam blog saya. Dan saat saya mendengar beberapa orang berkata :
“
Tulisanmu menampar saya, dan membangunkan saya. Terimakasih ya,” kata seorang
sahabat.
“
Aku hutang energi, hutang keberanian dalam tulisan-tulisanmu” kata seorang
lagi. Beberapa orang-orang tak dikenal yang membaca tulisan-tulisan saya, baik
lewat blog atau lewat buku-buku saya sering mengirimkan pesan pada saya. Ada
juga yang meminta saya untuk menulis dalan bahasa Inggris agar bukan hanya
orang Indonesia yang bisa membacainya, tapi nulis dalam bahasa inggris sekarang
ini masih menjadi pekerjaan yang susah untuk saya. Suatu saat nanti, semoga.
Kenapa saya seringkali meracau lewat
tulisan-tulisan saya? Karena saya menulis juga untuk mengingatkan diri saya
sendiri, memindai gerak hidup saya.
Karena saya juga berharap tulisan saya bisa dibaca
orang-orang, karena dalam hidup nyata saya hanya bisa berinteraksi dengan
sebatas orang yang hadir secara langsung dalam hidup saya. Tapi lewat tulisan,
saya bisa menghampiri orang di sudut-sudut Cafe di Barcelona, atau di sebuah
daerah di Nusa Tenggara, meja belajar mahasiswa saya, atau di pedalaman
kalimantan sekalipun.
Dan dengan menulispun, secara otomatis saya
mengambil jeda. Memberi jejak lagi dalam hidup saya.
Selamat sore dari Jogyakarta !
Ndalem Pogung, 31 Maret 2013. 17.29.
0 Comments: