Hidup bagi manusia
bila dimatematiskan mungkin serupa kumpulan dari kejadian yang kita jalani per
detik, per menit, per hari, per minggu, per tahun. Momen per detik itu tadi
suatu saat akan membentuk jejaring sebentuk kenangan. Jalan di belakang kita
adalah serangkaian kenangan, hidup sebenar-benarnya adalah pada detik ini, ada
jalan ke depan yang masih dalam angan adalah serupa masa depan.
Mungkin ada manusia
yang hendak membuang bagian-bagian dari masa lalunya karena mungkin terasa menyakitkan
atau tidak mengenakkan. Tapi bila hidup adalah perjalananmu dengan waktu, dan
kenangan adalah perjalananmu yang terdahulu, bukankah ada tangga-tangga yang
hilang bila ada bagian yang terbuang?
Misalnya bila suatu saat kita
ada dalam suatu perjalanan, lalu ban mobil kita tiba-tiba gembes, tertusuk
paku, atau oleng sedikit tiba-tiba menabrak tiang, atau kita salah arah. Apakah
kita akan melupakan itu semua karena hal-hal tersebut seringkali adalah hal-hal
yang tidak menyenangkan?
Bukankah hal-hal
tersebutlah yang memperkaya perjalanan? Letihnya akan membuat pencapaian akan
titik perjalanan tertentu menjadi terasa lebih berharga? Walau manusia lebih
cenderung lebih suka mengingat yang sukaria, kegembiraan dibanding dengan
kesedihan, kedukaan, ataupun nestapa. Tapi bila kita mau belajar, bukankah semua rasa itu
berasal dari sumber yang sama?. Kesedihan adalah kegembiraan yang belum
terungkap wajahnya, karena dengan kesedihan, kita mampu menampung kegembiraan
sama dalamnya. Bila di jalan kita tidak menyelesaikan masalah ban yang kempes,
perjalanan kita di penghujung kota mungkin akan terasa biasa saja. Kesedihan serta masalah
adalah cara-cara hidup untuk mempersiapkan kita untuk merasai kegembiraan dan
kemenangan dalam porsi yang sama. Jadi bukankah semua rasa bersumber sama bila
kita mau berpikir, mau “Iqro” membacai kehidupan?
Bayangkan bila engkau
tiba-tiba masuk ke dalam lorong waktu, melesat kemudian tiba-tiba ditempatkan
dalam posisi suatu titik, pada suatu tempat? Tanpa adanya cerita perjalanan di
setiap jengkalnya, tanpa ada bekal pembelajaran di setiap tikungannya, Bukankah
titik tempat kau berdiri kini menjadi terasa begitu hampanya. Apa bedanya
dengan titik yang kau injak sebelum memasuki lorong waktu dengan titik yang kau
injak sekarang?
Bila menilik hal
tersebut, bukan perjalanan dengan segala cerita, segala masalah dan warna warni
rasa itu menjadi penting?
Manusia bukan mahkluk
yang seharusnya hidup hanya dengan perulangan-perulangan. Rutinitas-rutinitas
harusnya pun mengalami transformasi bukan sekedar menjalani hal yang sama
setiap harinya. Manusia dibekali cipta, karsa, rasa untuk menggelindingkan
perubahan, untuk mewarnai semesta dengan karya-karyanya, untuk memaknai dengan
rasa setiap transformasi perjalanan hidupnya. Bertumbuhlah !
Hidup ini terus
berjalan, bahkan saat kita ingin menghilang pun, hidup ini tetaplah berjalan.
Seberapa lama engkau berjalan mungkin sepadan dengan jumlah angka usiamu, bila
hidup dimaknai dengan hitungan detik yang telah dijalani. Tapi seberapa
jauhnya? Seberapa bermaknanya? Ukuran-ukuran itu akn menjadi berbeda setiap manusia.
Apalagi bila
seseorang tidak pernah menyadari bila hidup adalah perjalanan, mungkin ia
memandangnya sebagai perulangan rutinitas, sebagai serangkaian hari dimana ia
harus bertahan hidup. Ada yang bilang menjalani hidup mengalir seperti air, namun
kadang ia lupa bahwa air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Manusia-manusia
yang berjalan tanpa peta, tanpa arah mungkin memang akan sampai ke suatu
tempat, namun ia gamang karena tak tahu pasti apa sebenarnya ditujunya.
Manusia berlarian,
bekerja, berkejaran dengan waktu, dengan deadline, kemudian lelah, istirahat
sejenak lalu berlarian lagi. Ada suatu perulangan terus menerus di sini. Hampir
setiap manusia bergelut dengan ritme seperti ini setiap hari. Tapi mengapa
engkau bisa menemukan seseorang dengan pertumbuhan diri yang terus melaju
dengan segala ritme rutinitas dan keseharian hidupnya? namun kadangkala
menjumpai pula orang yang terlihat stagnan ataupun hanya pelan bergerak
lajunya.
Manusia yang berjalan
ke suatu tempat, tahu apa yang hendak ditujunya, tahu apa yang diinginkannya
pasti akan merasa bergerak, melaju setapak demi setapak menuju apa yang
ditujunya. Berbeda dengan manusia yang bergerak tanpa tahu apa yang ditujunya,
untuk apa ia berjalan, untuk meraih apa, ia akan berjalan tanpa arah dan
seringkali memaknai perjalanan adalah rutinitas langkah demi langkah.
Kedua jenis manusia
itu bukankah sama-sama berjalan? Maksudnya sama-sama menjalani detik demi detik
hidupnya? Tapi bukankah ada jurang perbedaan yang begitu dalamnya.?
Bila engkau hampir
sampai di penghujung, dan menengok perjalanan di belakangmu lebih panjang dari
pada jalan yang mungkin tersisa di depannya. Lalu tiba-tiba menyadari ada
jalan-jalan yang semestinya engkau tempuh tapi tidak engkau tempuh. Ah, semoga kita
tidak terjebak dalam suatu penyesalan karena ketidakberanian, karena
kepengecutan, karena ketidakpercayadirian, karena bersembunyi di balik alasan-alasan.
Bukankah lebih baiknya manusia selagi masih diberikan waktuNya, lebih sering
menanyai dirinya sendiri kemana ia ingin
melangkah? Hal-hal apa yang memaknai hidupnya? Dan apa yang membuat diri
kita dan hidup terasa bermakna.
Hidup akan berubah
menjadi tumpukan detik-detik yang kaukumpulkan tanpa makna bila engkau gagal
memaknai semuanya.
Hiduplah,
berjalanlah, melajulah, bertumbuhlah ke arah yang lebih baik dan menunjukkan yang terbaik dari dirimu sendiri.
Hingga hidup, adalah
perjalanan ke dalam dirimu. Mari berjalan dan terus berjalan, dalam pertumbuhan
yang lebih baik.
Saya, dalam perjalanan ke dalam diri saya sendiri.
Ndalem Pogung, 25
April 2013.
11 Komentar
Alhamdulillah, akhirnya saya mampir juga kesini. :D
BalasHapusehehe terimakasih ya Firman sudah mampir baca :)
BalasHapusVery super, I strongly agree with your contemplation.
BalasHapus"Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali. Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang.”
BalasHapus(Agustinus Wibowo - Titik Nol)
@Mbah Ratman : huahaha iku komennya kayak pak mario teguh plus ujian writing IELTS mbah..Very Super!
BalasHapus@lupi : marilah kita berjalan sama2 nduk, walau dengan perjalanan kita masing-masing. Tapi kan bisa bergandeng tangan bersama biar lebih mesra ah ah ah :)
raga boleh tak bersentuhan, namun sesungguhnya jiwa kita bersinggungan ahahahahaha.......#nggombal
BalasHapus@lupi : ebusyet mantepnyooo gombalane..ckck..iyah, bahkan raga kita belum pernah bertemu muka, tapi jiwa-jiwa kita saling bergandeng mesra ;p
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSering kali dalam perjalanan kita dihadapkan pada persimpangan. Di depan kita sepertinya mau memilih jalan yang manapun akan sama. Ataukah di depan kita jelas sekali perbedaan jalan tersebut namun kelanjutan dan ujungnya belum diletahui. Kemana sebaiknya kita?
BalasHapussuka dengan tulisan ini. setuju :)
BalasHapus@Mba Rahmi : bila dihadapkan pada persimpangan, biarkan hatimu berkolaborasi dengan kepalamu untuk membuat langkah berikutnya. Pilihan dan risikonya, mau tidak mau harus dipilih atau orang-orang lain akan memilihkannnya untukmu. *aisssh sok amat, ngomongnya gampang..tapi praktiknya susahnyoo :D
BalasHapus@ARian : setuju aja atau setuju banget?? ;p