Pandangannya menelitik ke arahku. Meneliti
perubahan-perubahan yang terjadi padaku setelah lama kami tak bertemu. Mas Dias
kemudian tersenyum.
“You’ve changed a lot, El. Perempuan
sekali kau sekarang,” katanya sambil terus mengamatiku. Aku yang datang menemuinya
dengan rok lebar berwarna merah pastel yang lembut, dipadu dengan atasan
berenda dengan jilbab senada. Musim semi tengah mengakrabi Birmingham, coat tebal mulai sering ditanggalkan.
Aku tersenyum. Sambil juga mengamati raut mukanya
yang terakhir kali kutemui dua tahun lalu,
saat kami terlibat bersama-sama dalam sebuah pendirian sekolah Alam di
daerah pinggiran kota Bandung. Tak banyak berubah, selain tubuhnya yang lebih
tegap dan jambang yang mulai menumbuhi janggutnya.
“
Yeah, dunia terus berubah. Juga kadar hormon estrogenku. “ kilahku. Kami berdua
sudah terbiasa dengan perbincangan ala kosakata kami sendiri. Dan secara
otomatis kami berdua saling paham apa yang hendak disampaikan.
“
Cantik sekali, El,” jarang dia memujiku seterus terang itu. Aku kembali
tersenyum, dan aku melihatnya memandangi mataku. Entah bermakna apa.
“
He changed you a lot, right?”
Tanyanya kemudian, kemudian tangannya memainkan tali kamera Sony Nex 7 yang
super seksi itu. Mas Dias mulai terlihat tidak nyaman dengan mengalihkan
perhatian dengan bermain-main dengan kameranya itu, sepertinya dia tak suka
dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.
“
Siapa sih manusia yang begitu powerfulnya
bisa mengubah seseorang, Mas? Enggaklah. Dia nggak merubahku. Aku yang berubah,
ya mungkin setelah bersamanya. Semacam triger,
pemicu barangkali. Oh ya, katanya kau sudah bertunangan Mas, congrats ya. Siapa nih perempuan yang beruntung itu?” tanyaku
mengalihkan pembicaraan.
Dia berhenti memainkan tali kamera kesayangannya
itu setelah mendengar pertanyaanku. Lalu matanya mencari mataku lagi.
“Mungkin
kamu kali ini bersedia menjadi perempuan yang beruntung itu, El?” tanyanya
dengan matanya yang lurus-lurus memandangku. Aku agak merasa jengah dibuatnya.
“
Come on Mas Dias, I knew you. Kamu nggak akan segila itu, ehehe” candaku mencoba
mencairkan suasana. Lalu kemudian kami tertawa bersama, namun ada garis pias
yang tertangkap di wajahnya. Lalu dia buru-buru menyesap kopi yang dipesannya.
Pertemuan tadi malam di Cafe Amore, sebuah sudut
kota Birmingham itu berlanjut dengan ngobrol seperti reunian dua sahabat yang
lama tak bertemu. Dua sahabat? Tidak bisa murni dibilang sahabat. Semenjak Mas
Dias menyatakan ingin membangun sebuah hubungan serius denganku sekitar dua
tahun lalu. Tapi dulu aku menjawabnya, menjadi sahabat nampaknya lebih
menyehatkan bagi kami.
“
Mas, aku merasa lebih nyaman jadi sahabat aja. Kita terlalu mirip. Laju kita
nanti akan sangat terprediksi. Kita butuh ruang, dan butuh orang yang
menantangi kita untuk terus bertumbuh, bukan?” jawabku kala itu. Sebenarnya hal
itu untuk menambahkan alasan bahwa aku memang tidak mengalami loncatan-loncatan
reaksi kimia apapun bila bersama Mas Dias.
Dan kedatangan Mas Dias ke Birmingham selama dua
hari ini dengan alasan mampir dari konferensinya di London, untuk menanyakan
kembali untuk terakhir kalinya kesediaanku mendampinginya. Dan itu dilakukannya
setelah dia sudah memutuskan bertunangan dengan Arina, teman sekantornya di LSM
tempat kerjanya di Jakarta. Kenapa laki-laki seperti Mas Dias bisa mengambil
langkah segila itu?
“
El, this is my last battle, my last
chance. Kau tidak tau selama ini aku selalu terus mengikuti lajumu? I knew everything’bout you. Termasuk
keputusan konyolmu untuk bertahan dengan lelaki yang nggak pasti itu.” Kali ini
Mas Dias memaksa kembali bertemu di sela-sela jadwal makan siangku. Sudah
setahun ini aku bekerja sebagai auditor di KPMG cabang Birmingham, dan hidupku
baik-baik saja. Aku hanya kontak dengan Mas Dias beberapa kali saja via skype.
Mungkin dia stalking membacai blogku,
kicauanku di twitter atau racauanku di facebook. Jejaring dan media sosial
membuat dunia begitu sempit.
“Elia, you don’t have much time anymore. Kamu
bukan lagi perempuan yang banyak waktu lagi untuk memilih. Kita masih bisa
sama-sama, so would you?” Nada dalam
perkataan Mas Dias kali ini terdengar lebih menyudutkanku.
Aku memandangi raut mukanya lagi. Aku sangat
mengenali laki-laki yang ada di hadapanku ini. Kami lama bersama-sama,
bertumbuh bersama, tapi itu bukan cinta. Bila otak logikaku yang banyak bicara,
atau rayuan teman-reman untuk menerima saja lamarannya, pastilah sudah semenjak
dulu kami bersama. Tapi mengapa ia tak juga mengerti, hingga harus terbang
sebegini jauhnya, untuk menanyakan kembali pertanyaan yang sama kepadaku.
“
Mas, aku hidup sampai hari ini artinya waktu masih memberi kesempatan padaku.
Maukah kau kupilih karena aku merasa sudah tak punya banyak waktu lagi? “ aku
ingin memberinya jeda dengan kalimat yang kuucapkan perlahan.
“
Kita bisa hidup bersama dengan baik, aku percaya itu. Tapi aku ingin berbagi
hidup mas, bukan hanya berbagi rutinitas dan keseharian. Kamu lihat aku
sekarang Mas? Bila kau bilang kau mengikuti laju hidupku selama ini, kau pasti
tahu bagaimana pertumbuhanku sampai sekarang. Bukan kamu nggak cukup baik untuk
aku, Mas. Cuma kita butuh seseorang yang mampu mengimbangi dan memacu laju kita
masing-masing. Dan kita bukan seseorang yang pas satu sama lainnya,” jawabku.
Semoga ia paham maksudku.
“
Jadi benar, dia si lelaki secangkir teh hangat manis itu? Kamu masih tetap mau
lelaki biasa aja yang bisa kamu ajak ngobrol sampai lupa waktu sambil minum teh
manis hangat?” kali ini entah mengapa ketegangan di raut mukanya mencair.
Aku tergelak, lalu tersenyum. Aku mengangguk
kecil.
“
Ngobrol itu maksudnya “berbagi hidup” tapi tetap menikmati rutinitas hidup
seperti halnya minum teh hangat manis. Sok filosofis ya aku,” ungkapku.
“That’s you, El. That’s makes you different.
Well, trus kamu begini mau sampai
kapan? Ini seperti bukan kamu yang pakai logika dalam mengambil keputusan.” Telisiknya,
sambil mencari-cari jawab pada mataku.
“
You did your last battle. Aku juga
ingin begitu, Mas. I will do my last
battle. Biarkan aku memutuskan kali ini berdasarkan...semacam firasat..
pertanda barangkali.” Jawabku, sambil ragu memilih kata-kata yang tepat.
“
Kamu gila El, gimana ntar kalau firasat atau pertanda kamu itu ternyata salah?”
sergahnya. Tangan kanannya memperbaiki letak kaca mata minusnya.
“
Ya terima kenyataan kalau aku salah lah, Mas. Bukankah hidup juga tentang
belajar menerima? “ jawabku singkat. Sebenarnya kalimat itu juga menjawab
keraguan pada hatiku sendiri. Mas Dias tersenyum padaku. Dia sedang belajar hal
yang sama pada detik terakhir setelah kalimatku terucap. ***
Flash Fiction—
Ndalem Pogung, Jogya 1 April 2013. 1.34. am. Ampun
deh ini kepala kalau udah mau nulis, enggak mau tidur kalau belum kelar
jugaaa...baiklah, saatnya zzzz.
0 Comments: