Dulu saat saya kecil
merasa terpaksa bila disuruh-suruh memasak, cuci piring, cuci baju dan segala
macam pekerjaan perempuan. Tapi “rasa terpaksa” itu lama-lama menjadi biasa.
Biasa itu ternyata berbahaya. Rasa biasa terkadang membuat kita menekan banyak
rasa ke kurva standar, sehingga kadang kita mengabaikan rasa-rasa yang kita
punya. Saya juga tak pernah menolak dan protes bila ibu saya bereksperimen
dengan rambut saya yang panjang dulu saat SD, tapi paling sampai gerbang saya
sudah memburakkan rapi jalinya tatanan rambut saya. Saya tidak punya kebiasaan
untuk mengungkapkan apa yang saya sukai atau apa yang tidak saya sukai. Anak baik adalah anak yang penurut, itu
pikir saya waktu kecil
“ Ayo mau beli mainan apa, nanti
budhe belikan?” begitu ketika diajak jalan-jalan budhe saat kecil pun saya
menggeleng. Tidak usah, kata saya. Anak
baik tidak boleh minta macam-macam, itu yang ada di kepala saya.
Kenapa saya tak punya
cerita harus dipaksa-paksa berangkat sekolah seperti adik saya yang susahnya
bukan main bila waktu pagi tiba untuk ke sekolah? Kenapa saya tak punya
kisah-kisah mbolos sekolah, tengilnya ulah-ulah anak beranjak remaja? Anak baik harus rajin belajar, begitu
doktrin di kepala saya.
Hahaha kalau dipikir saya lucu ya waktu kecil, pun saya tidak tahu siapa yang mendoktrin itu semua berada di otak
saya. Orang tua saya bukan tipe orang tua garis “keras” yang harus begini harus
begitu. Dulu, saya memang berpikir begitu, sehingga mostly cerita saya terdengar lebih lempeng dibanding anak-anak yang
lain.
Tapi sebenarnya
sekarang saya menyadari bahwa butuh sebuah proses panjang untuk bisa menemukan
seorang saya yang berani memutuskan apa yang saya suka, atau apa yang saya
tidak suka. Dalam hidup, manusia akan ada pada titik-titik dia mengetahui
hal-hal apa yang ia sukai, akan dihadapkan pada persimpangan, pilihan-pilihan
hidup dan banyak hal lainnya. Banyak yang menemukannya di awal, ada yang
sedikit terlambat, ada pula yang terbilang sangat terlambat.
Manusia yang jujur
akan perasaannya sendiri. Saya tiba-tiba terpikir akan hal tersebut.
“Manusia bukan siapa-siapa sebelum
ia mewakili perasaannya sendiri” (Fadh Djibran)
Kutipan di atas
mungkin tak sepenuhnya tepat kalimatnya, aku lupa bunyi teks aslinya, tapi
mungkin kira-kira begitu.
Bukankah sering kita
menyembunyikan perasaan kita sendiri, sampai-sampai kadang kita tak lagi peka
mendeteksinya. Saya bukan ingin sedang mengatakan agar seseorang harus
mengatakan atau mengungkapkan semua rasa yang dirasai masing-masing kita. Saya
hanya ingin memastikan bahwa kita mengerti rasa yang kita rasai. Kita mewakili
perasaan kita sendiri. Tidakkah kau pikir betapa seringnya kita memerangi
perasaan kita sendiri? Tidakkah kau merasa lelah?
Bukankah berdiri dan hidup dengan perasaan kita sendiri terasa lebih
membebaskan? Lebih hidup?Rasa itu hal yang sangat pribadi, setidaknya menurut saya. Tidak ada satu orangpun yang mampu mengklaim mengetahui rasaku, dan juga saya tak pernah sanggup memastikan bagaimana rasamu, rasa kalian. Kecuali jika saya mengatakannya pada kalian, atau kalian mengatakannya pada saya. Itupun dengan asumsi bahwa apa yang kalian atau saya katakan adalah rasa yang sebenarnya.
Rasa, tiba-tiba saya
sangat tertarik dengan satu kata ini. Rasa ternyata begitu unik dan ajaib.
Apakah karena ia juga bisa berubah-ubah?
Seperti di awal
tulisan ini saya bilang tidak suka bila harus disuruh-suruh masak. Dulu saya
berpikir, pasti karena Ibu tidak suka masak jadi saya sebagai anak perempuan
satu-satunya harus bisa masak agar saya saja yang bertugas memasak (ahaha
beneraan itu yang dulu terpikir). Karena saya ingin jadi anak baik, jadi saya
nurut (polosnyaaa hihi).
Tapi sekarang, saya
suka memasak. Bahkan terkadang memasak bagi saya adalah terapi jenuh, terapi
stress. Seni memasak dengan menghasilkan rasa yang pas menurut lidah saya,
sekarang ini menjadi hal yang menyenangkan.
Lihatlah rasa itu bisa
berubah terhadap hal yang sama. Tapi setidaknya saya tahu apa yang saya
rasakan. Apa menurut kalian kalimatku itu terdengar aneh? Memang ada ya orang
yang tidak tahu perasaannya sendiri? Menurutmu? Ehehe..
Ah, betapa randomnya
alir pikiran saya. Lebih baik saya merasai masakan saya hari ini sebelum saya
bertambah random.
Kambing dibumbui sesukanya
|
Random ya menunya
seperti randomnya alur pikiran saya? Ehehe masa berkuah dan berkuah. Itu enggak
dimakan dalam waktu yang sama kok. Cah bayam tahu itu berkawan telor ceplok
tadi siang. Jadi....Ah, tak usah kau tanya berapa kali saya makan hari ini
*langsung kabuuur...
Glasgow, 6 May 2013.
8.30 pm menunggu maghrib..hiyaaa jam segini belum juga gelap.
Semoga saya dan kalian semua semakin bisa mewakili perasaan masing-masing.
0 Comments: