Beberapa hari lalu kuset lagi jam
tanganku, waktu Glasgow. Sedangkan jam
di handphone dan di komputerku masih kubiarkan dengan waktu Indonesia. Perlahan jam tanganku kuputar
enam jam lebih lambat daripada waktu Indonesia.
Kenapa saat di Indonesia, aku hanya mempunyai satu
waktu, waktu Indonesia saja. Hanya terkadang mengingat saat ada jadwal skype
dengan sang supervisor, namun selebihnya, waktuku hanya tunggal, waktu Indonesia. Aku sepertinya tak butuh dan
tak mau tahu waktu-waktu lainnya. Ah, mungkin waktu Aussie terkadang, saat
sahabatku yang tengah studi di
JCU masih tetap menjalinkan ceritanya.
Dan kenapa aku kini mempunyai dua
waktu (lagi)?
Waktu identik dengan
kegiatan apa yang tengah dikerjakan manusia yang tengah menjalani waktunya.
Pagiku dengan aktivitas beberes, menyiapkan sarapan, membuka laptop dengan
secangkir kopi, sekarang ini adalah waktu siangmu. Sedangkan waktu menjelang
malamku adalah diniharimu, saat lelap menyeberangi mimpi-mimpimu. Aku mengingat waktumu.
Aku hampir tak pernah lupa
menyadari waktu. Kini aku mempunyai dua waktu, walaupun hidup dalam waktu
tertentu.
Aku ternyata seperti
layang-layang yang tak ingin terlepas dari talinya. Lihatlah layang-layang yang
terbang di atas langit sana. Terkadang terlihat sendirian di antara langit biru
itu. Lepas, bebas dalam ketinggian. Meliuk-liuk terbang menari bersama angin. Ia
nampak tak pernah gentar dengan angin kemanapun akan dibawanya. Orang-orang
yang melihat dari bawah melihatnya sebagai layang-layang yang terbang mesra memacari angin. Tapi orang-orang itu jarang bisa melihat siapa yang
memegangi tali benang layang-layang itu.
Aku, seperti layang-layang itu.
Terbang jauh dalam ketinggian.
Dalam aliran angin yang kadang tak bisa kuduga membawaku kemana.
Aku seperti layang-layang itu,
menari bersama ketidakpastian arah angin.
Aku mungkin
seperti layang-layang itu, terbang bebas tanpa terlihat terikat, ataupun
mengikatkan dirinya.
Tapi aku, layang-layang itu.
Si
layang-layang yang
terikat pada tali yang seseorang pegang. Dimana aku tahu kemana harus pulang.
Aku, si layang-layang yang
mencoba terus tegar saat terpaan angin mengencang karena ada si pemegang tali
yang siap memberikan dukungan.
Aku, si layang-layang. Nampak
sendirian di langit lepas, karena tak banyak yang melihat siapa yang memegang kendali
tali benang.
Dan aku si layang-layang, selalu punya engkau bila aku hendak pulang.
Hingga suatu
saat, akan kuajak engkau bersama terbang.
Aku adalah
pulangmu, Kamu adalah pulangku.
0 Comments: