Ah tiba-tiba saya tergelitik menulis tentang perempuan.
Mungkin karena akhir-akhir
ini saya membacai beberapa tulisan tentang perempuan, ataupun mendengar
berita-berita menyoal perempuan. Membaca tulisan yang cukup menghentak milik
okke sepatu merah di sini : http://blog.sepatumerah.net/2013/05/tolong-jangan-ajari-ibu-saya/
dan juga membaca
status salah seorang motivator yang
entah mengapa menyentil syaraf pikir saya. Saya memang tidak sepenuhnya tidak setuju dengan beliau,
hanya terasa ada yang bergejolak dalam diriku.
Mungkin
karena tulisan itu
memberikan kesan perempuan begitu dependen terhadap laki-laki. Dan hal
itu membuat kepala saya yang seharusnya memikirkan tentang data-data
presentasi, semalam rasanya ingin mengeluarkan unek-uneknya.
Saya
sering sedih melihat perempuan-perempuan yang kurang berdaya. Padahal perempuan
mempunyai banyak sekali potensi untuk mengembangkan dirinya. Mereka menjadi
dependen terhadap laki-laki, seringkali terutama pada sisi ekonomi. Depedensi
inilah yang terkadang menjadikan bargaining
position perempuan menjadi lemah. Kasus-kasus KDRT yang kemudian tak
pernah terlaporkan, pelecehan atau eksploitasi TKW.
Saya ingat saat di Dubai saat kembali ke Glasgow. Seorang
perempuan berumur 40 tahunan menghampiri saya, kebingungan mencari gate,
sendirian dan tidak bisa berbahasa inggris. Dia mengaku bekerja di Qatar. Ah,
prihatin. Saya antarkan beliau ke gate yang semestinya, dan memastikan ia
menunggu di tempat yang benar.
Memang aliran emansipasi wanita telah banyak mengubah pandangan baik
perempuan ataupun laki-laki terhadap posisi perempuan. Posisi-posisi pekerjaan
yang bagus sudah banyak terbuka untuk perempuan, bahkan sudah masuk ke ranah politik dan posisi-posisi
publik.
Tapi tetap saja, depedensi perempuan terlihat masih luas menggejala.
Saya
feminis? Mungkin. Saya hanya ingin perempuan-perempuan lebih berdaya sehingga
ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Sebagai perempuan, saya tidak pernah
menolak kodrati perempuan untuk mengurus rumah tangga, melahirkan, menyusui,
melayani suami, memasak atau istilahnya perempuan itu “kudu pinter masak, macak, manak”. Istilah itupun pasti sering kau
dengar. Saya tidak pernah mempersoalkan kodrati perempuan akan hal-hal
tersebut. Bagi saya itu refleksi kelembutan perempuan untuk bisa mengurus
suami, keluarga dan anak-anak sebagai generasi penerus. Tapi perempuan
selayaknya pula diberikan kesempatan untuk mengapreasi dirinya sendiri,
memberdayakan dirinya sendiri. Dualitas peran perempuan inilah yang dari dulu
saya kagumi. Tidak meninggalkan kodratinya sebagai perempuan, tapi mampu
menghidupi hidupnya dengan karya. Entah apapun itu.
Saya
hanya sedih melihat perempuan-perempuan yang seringkali tidak berdaya secara
ekonomi. Mungkin kalian melihat beberapa wawancara perempuan-perempuan dalam
lingkaran tokoh politik yang tengah berperkara dan semarak beritanya akhir-akhir ini.
“
Ya bagaimana lagi, anak saya dua, selama ini saya tergantung pada suami saya”.
Begitu kalau tak salah dengar dari istri seorang yang sedang menjalani perkara tersebut.
Saya
hanya ingin perempuan mendapat kesempatan untuk menunjukkan potensinya,
mendapat pendidikan, kesempatan dalam pekerjaan, politik, tanpa mengingkari
kodratnya sebagai perempuan. Banyak yang mencibir feminis sebagai perempuan
yang lupa kodratnya. Perempuan sombong yang mau mengangkangi peran laki-laki.
Semua orang punya pandangan sendiri-sendiri, namun saya pikir emansipasi bila
ditempatkan pada tempatnya akan melahirkan banyak anak-anak negeri yang hebat.
Saya
teringat buku “Ku antar kau ke Gerbang” (Ramadhan KH) yang menceritakan tentang
Ibu Inggit ganarsih, istri Soekarno. Sayang saya belum berkesempatan
membacanya secara lengkap. Inggit Ganarsih menunjukkan ia dapat menjalani
berbagai peran dengan apik sebagai perempuan.
Waktu sampai rumah aku harus
menyediakan minuman asam untuk mengembalikan suara Kusno (Bung Karno) yang sudah
parau itu. Aku seduh air jeruk atau asam kawak. Aku sendiri yang harus
menidurkan kesayanganku yang besar ini, singa panggung ini. Tak ubahnya ia
dengan anak kecil yang ingin dimanja” (hal 99)
Begitu ia dengan lembutnya menjalani kodrati perempuan, tapi ia juga
berperan dalam tahun-tahun sulit perpolitikan Soekarno. Sampai-sampai Prof.
S.I Poeradisastra dalam kata pengantarnya menuliskan : “Separuh dari semua prestasi Soekarno dapat
didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional
Indonesia”
Sebagai ibu, kekasih, kawan.
Sesungguhnya perempuan bisa memainkan berbagai peran dalam satu diri.
Entahlah mengapa saya tiba-tiba tertarik menuliskan tentang ini. Saya
hanya ingin menyeru agar perempuan berdaya. Perempuan bisa berdaya dimana saja,
tidak musti kerja kantoran. Banyak ibu-ibu yang sukses bekerja di rumah,
berbisnis, berkarya, mengajar, menulis. Ada banyak potensi yang ada dalam diri
perempuan.
Perempuan dengan kelembutannya menjadikan pelukan hangatnya tempat
pulang paling menentramkan.
Perempuan dengan keberaniannya mampu menghadapi apa saja, dalam
kondisi-kondisi yang sulit sekalipun.
Perempuan dengan ketegarannya menghadapi saat-saat sulit dan nestapa,
tapi tetap mengalunkan doa dan semangat untuk orang-orang yang dicintainya.
Perempuan dengan pilihan-pilihan yang diambilnya. Perempuan dengan
karya-karyanya. Dengan berbagai perannya mendampingi lelaki
tercintanya, menjadi ibu untuk anak-anaknya. Perempuan tangguh yang menjadi
dirinya sendiri. Berdampingan dengan laki-laki untuk saling menghebatkan, bukan
mengantungkan diri pada lelaki seperti abdi.
Perempuan Indonesia, Mari berdaya.
Jangan sebut aku perempuan sejati bila hidup berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tak butuh lelaki yang aku cintai (Nyai Ontosoroh-Bumi Manusia-Pramadya Ananta Toer).
Glasgow, 14 Mei 2013. Menjelang malam dengan sapuan dingin yang tak seharusnya datang di musim semi yang hangat. Glasgow dan cuaca memang sering tak bersepakat.
0 Comments: