Di
sela-sela menyiapkan slide powerpoint untuk presentasi esok, Kemarin saya menelpon rumah. Kebetulan masih ada
gratisan 1 jam dari Vodafone, jadi lumayan untuk dimanfaatkan. Biasanya kami
kontak menggunakan skype namun perlu adik saya standby untuk bisa mengoperasikannya.
Kali ini saya menelpon hanya sekedar ingin mendengar suara dan kabar orang tua
saya. Sambungan telpon
diangkat, suara ibu saya yang menentramkan terdengar. Lalu kami memulai pembicaraan yang normal, dari menanyakan
kabar kesehatan, studi dan keadaan rumah. Kata ibu saya, mereka sedang di teras
rumah. Saya menelpon waktu selepas magrib di Indonesia. Lalu saya jadi teringat
saya hobi sekali ada di halaman rumah saat malam.
“ Bukannya langitnya tetap sama?” begitu komentar bapak saat kali
terakhir dilihatnya saya kembali asik sendirian di halaman rumah dan
memandang-mandang ke atas langit. Bulan lalu sepertinya. Saya hanya tersenyum.
Bapak ataupun ibu saya sudah hapal kebiasaan saya untuk menatapi langit seperti
tak pernah merasa bosan. Dan memang tak pernah terasa bosan. Saya masih ingat
rasanya berada di sebelah jendela bis zena yang lebar membentang, saat malam
sudah menua. Kala melintasi kawasan seperti padang, dan yang terlihat hanyalah
bentangan langit malam dengan kerlipan bintang-bintang. Beberapa menit lalu, saya
kembali menggerakkan jemari mencari tweet saya kala itu. Ah ini dia, 11 April
2013 dinihari.
“ Bunyi deru laju bis, kerlip gemintang di luar jendela dan perjalanan ke arah timur. Ah, menuju hatimu. Mungkin”
Beberapa
orang meretweet-nya, beberapa juga
mereplynya. Saya memang selalu merasa terkoneksi dengan bintang-bintang di atas
sana itu. Kerlipnya tak pernah gagal mempesona saya semenjak kecil. Dulu saat
saya kecil sudah terpesona oleh rasi orion yang dulu saya kira bentuknya
seperti boneka di atas langit. Ada kepalanya, dua tangan dan kaki, dan ia
mengikutiku terus kemanapun aku berjalan. Bagi saya itu nampak sangat
menakjubkan. Lalu berganti tahun saya sangat maniak pada astronomi, sampai
tergerak keinginan untuk mengambil kuliah jurusan astronomi kala itu. Saya
sering dengan kertas berisi peta bintang dan kemudian menggunakan senter
mencocokkan dengan posisi rasi di atas langit. Menunduk dan menengadah, begitu
tanpa lelah. Orang-orang desa yang kebetulan lewat sampai mengira saya mencari
barang hilang. Sampai saya SMApun, saya masih terkadang belajar di halaman
rumah. Di dekat gardu pagar dekat lampunya yang terang dan ada teras kecil
untuk duduk. Belajar bernaungkan jutaan kerlip bintang itu masih membekas dalam
kenangan.
Saya punya nama-nama sendiri untuk
beberapa bintang, dan saya juga punya bintang yang saya namai dengan nama saya
sendiri. “Mars The Valiant” (Mars si Pemberani) di antara rasi Orion yang gagah
itu. Saya suka dengan The valiant, si pemberani. Mungkin ingin berani
menjelajah, berpetualang ke tanah-tanah yang jauh, dan terlebih lagi berani menjelajah
dan melakukan perjalanan ke dalam diri. Semua itu butuh keberanian bukan? Saya
ingin berani mengambil risiko, berani mengakui salah saya, mengakui kekurangan,
dan berani terus melaju. Ah, pemberani terkadang adalah merasai takut dan cemas
tapi tetap meneruskan untuk tetap melangkah.
“ Akhir Minggu depan akan ke Maroko,” kataku pada bapak di ujung
telepon.
“ Maroko? dimana itu?” Bagi orang tua saya yang
belum pernah sekalipun naik pesawat, Maroko nampaknya jauh dari imaginasi
mereka.
“Afrika,
umm Afrika Utara” jelasku. Tentu saja masih tak terbayang. Mungkin yang
terbayang oleh bapak saya adalah anak perempuannya akan menginjakkan kaki lagi
ke tanah antah berantah yang jauh dari daya khayalinya.
Saya
kemudian bercerita bahwa ke sana tak butuh visa, dan menjelaskan dengan siapa
saya ke sana agar menghilangkan sedikit kekhawatiran mereka. Namun saya tidak
tahu pasti apa yang ada di benak mereka. Selama ini saya kemana-mana, dengan
hidup nomaden saya mereka tak pernah terlalu rewel dengan berbagai macam
detail.
Telpon
kemudian ditutup dengan suara parau milik ibu saya. Beliau tak pernah
cerewet mereweli saya harus begini begitu, tidak seperti kamu, yang akan
memberikan closing yang sudah ratusan kali kudengar.
“
Baik-baik ya dek, jangan lupa maemnya,
sholatnya, istirahatnya. Sehat ya, ndut ya...bla blaa..” dan anehnya saya ingin
mendengar itu beratus-ratus kali lagi.
Tapi ibu saya, hanya berpesan singkat saja, komunikasi
kami memang selama ini tidak terbiasa dengan komunikasi verbal yang madu
berbunga-bunga. Namun kali ini suaranya parau, menahan tangis.
Dan
kalau sudah begitu saya harus menyetel nada suara yang baik-baik saja, Suara
yang meyakinkan orang tua yang berjarak lebih dari 7600 miles dari saya percaya
bahwa saya baik-baik saja. Beberapa
waktu saat saya masih di Indonesia, terkadang ibu saya menelpon kemudian diam
tanpa bicara. Lalu kemudian hanya sms yang terkirim. Kedua orang tua saya sekarang ini rasanya bertambah mellow
saja. Dan untuk itu saya harus memastikan bahwa saya baik-baik saja. Bahagia
dengan pilihan yang saya ambil, memang ada beban-beban di pundak, tapi harus
ditanggung dan akan kutaruh sejenak, dan kemudian akan saya pikul lagi.
Saya
akan tetap menjadi Mars, The Valiant mereka. Si pemberani itu. Semoga.
Menulis terkadang upaya saya merapikan kenangan, dan menangkal
lupa. Dan tulisan ini salah satunya.
CVR. Glasgow 14 May 2013.
Asyyikkk,,,ke Maroko. Ngapain, mbak? oleh-oleh ceritanya, yaaa,,,^_^
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusItulah sejatinya Mars...sering membuatku harus angkat topi dan kemudian berani bermimpi lagi...#jangan geer hehe..
BalasHapus@ela menulis : ehehe berkelana. oke siaap :)
BalasHapus@Mba Rahmi : ahaha sekali kali GR ah..;p