Memang tak ada bedug yang ditabuh semarak untuk menyambut
Ramadhan, tak ada hingar bingar euforia menyambut bulan suci ini, tapi rasanya
hati bersiap menyambut Ramadan dengan suka cita. Ini kali ramadan kedua yang
saya jalani di negeri yang jauh ini. Bila dulu ada rasa mellow, rindu rumah dan
suasana Ramadan yang hangat, kini sudah tak terlalu lagi. Seorang sahabat yang
baru kali pertama menjalani puasa Ramadan di Australia curhat dilanda galau
mellow menjelang Ramadan. Kangen suasana rumah pastinya. Siapapun pasti
menginginkan untuk menjalani puasa dan suasana Ramadan dengan orang-orang
tercinta. Tapi
keadaan kadang tidak memungkinkan, seperti posisi saya misalnya. Tapi daripada
bermellow ria, saya lebih baik berpikir bahwa “tidak semua orang bisa mengalami pengalaman berpuasa di luar negeri,
di tempat yang mayoritas masyakarat non muslim”. Jadi anggap saja
kesempatan Ramadan kedua ini menjadi sebuah pengalaman yang berharga dan
mungkin hanya bisa terasai beberapa kali saja dalam hidupku. Jadi anggap saja
sebuah pengalaman yang seru!
Memang seru karena jadwal puasanya yang jumpalitan dengan
jarak antara buka puasa dan sahur yang sangat pendek ehehe. Imsak di sini mulai
pukul 2.30 menurut Masjid Al Furqan
(salah satu masjid di Glasgow, sementara
menurut Glasgow Central Mosque, beda satu jam
(1.30) dengan). Nah lho, ikut yang mana coba?
“Kalau lagi ngantuk pengen segera tidur,
ikutan yang jam 1.30, kalau lagi nggak ngantuk ikut jam 2.30 aahaha,”
kataku sambil becanda pada Ari, flatmate-ku saat membahas tentang jadwal imsak.
Aih, cara ibadah macam itu? Oportunis ahaha.
Pasalnya kami berbuka pukul 10.00
malam (magrib lebih tepatnya) dan jarak waktunya dengan sahur sangat pendek.
Jadi saya harus tetap terjaga sampai subuh, baru kemudian tidur. Itulah mengapa
kukatakan jadwalnya bikin jumpalitan itu. Tapi daripada jadwal imsaknya ikutan
model oportunis, mending saya ikut satu aliran deh (aliran jadwal imsak ahaha).
Saya seterusnya selama ramadhan ikut yang jam 2.30, kan selama menanti sahur
bisa sambil ngerjain sesuatu, nulis barangkali biar lebih produktif #gaya.
Iyah, kami di UK harus menjalani
puasa selama sekitar 19
jam lamanya dan pas di
musim panas yeaah komplit. Apalagi cuaca sekarang ini lagi panas-panasnya.
Bahkan aku yang seorang manusia tropis berasa gerah dan kepanasan. Tapi so far, tidak terlalu masalah dan lancar-lancar.
Ya masa iya enggak kuat puasa?hihi
Jadwal bisa diatur-atur dengan
tidur setelah pulang dari lab, baru bangun untuk masak menjelang maghrib, lalu
terjaga sampai subuh, baru tidur lagi. Kalau jadwal puasa jumpalitan, kita juga harus punya strategi untuk bisa
mengatasinya.
Orang-orang di sini memang hanya
segelintir saja yang tahu bahwa sedang bulan puasa ramadhan. Aura ramadhan
itulah yang tak bisa kami dapatkan di sini. Pastilah sangat berbeda dengan di
Indonesia dengan beraneka ragam pernak pernik ramadhan. Menjelang berbuka pasti
sudah berjajar para penjual camilan menu untuk berbuka puasa seperti pasar
tiban yang memanjakan para pembeli dengan segala variasi pilihan menunya.
Spanduk-spanduk ucapan selamat menunaikan ibadah puasa di mana-mana ataupun
iklan-iklan tivi berjejalan. Sebagai negara dengan mayoritas beragama islam,
maka tentu wajar saja bahwa bulan Ramadan ini menjadi seperti pesta. Kadang
mencuatkan ironi, puasa yang sejatinya seharusnya menahan diri malah berubah
menjadi aksi “main hajar” dengan makan kalap saat berbuka. Atau mungkin lazim,
bila “yang biasanya tak ada menjadi ada”. Tengok saja, biasanya menu makan
sederhana, namun bila bulan puasa tiba lihatlah setiap rumah pasti menyajikan
sajian-sajian yang sehari-hari mungkin tidak ada. Bukankah malah saat bulan
puasa dana untuk belanja malah membengkak? Ironi yang menjadi lumrah. Asal
tidak terlebihan, saya menganggapnya sebuah hal yang wajar. Walau pasti lebih
baik bila puasa ini termaknai dengan sebuah hakikat, bukan sebuah rutinitas
ibadah belaka yang mengedepankan bungkus tapi isinya kosong.
Suasana ramadahan di sini memang
tak terlalu berbeda dengan suasana biasanya. Hanya seperti mengganti waktu
makan saja. Tapi ada rindu yang menyelinap dalam hati pastilah tetap ada. Rindu
tarawih di masjib bersama bapak ibu, karena di sini tarawih hanya bisa sendirian di flat, karena masjid jauh
dan waktunya sehabis maghrib saja jam 10.30an lalu mau pulang tarawih tengah
malam? Tapi begitulah keadaannya. Rindu memasak
menyiapkan menu untuk berbuka dan sahur, sedangkan di sini masak untuk diri sendiri saja, paling-paling berbagi
dengan teman satu flat. Sementara bila di rumah kami selama bulan puasa biasa
berbuka puasa dan sahur bersama. Di rumah saya,
ada meja makan yang posisi duduk setiap anggota keluarga saat makan bersama hampir
tak pernah berubah. Kemarin saya
hanya bisa mengontak mereka untuk mengucapkan selamat berpuasa Ramadhan Ah
rindu kadang biarlah menjadi rindu. Merasai rindu menjadi bagian dari katalog rasa
yang ditawarkan pada manusia. Bukankah dengan rindu suasana Ramadan di tanah
air kini saya lebih menghargai apa yang dulu saya alami? Bahwa ada banyak hal
untuk dirindukan. Pun saya bersyukur dengan apa yang saya punya dan alami
sekarang. Pengalaman yang lain dari kebanyakan orang-orang di Indonesia dan
semoga bisa menarik pembelajaran darinya.
Ada banyak berkah menjelang
ramadhan yang membuat hati saya suka cita. Outline
buku ilmiah saya diterima oleh penerbit dan kini sedang menyiapkan naskah
lengkapnya. Dan hari ini menerima email dari editor Wego Indonesia bahwa saya
diterima sebagai salah satu kontributor situs travelling terkenal di Indonesia
tersebut. Rasanya ada suntikan semangat baru untuk menjalani hari-hari saya
melakukan riset dan studi, serta berusaha menyeimbangkan dengan aktivitas
menulis.
Selamat menunaikan ibadah puasa,
kawanku. Semoga kita bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Glasgow, 11 July 2013. Menanti waktu sahur.
0 Comments: