Kenapa dalam tata bahasa manusia
mengenal kata “alasan”? “reason”? Untuk apa? Kata tersebut pastilah diciptakan
manusia terdahulu dengan maksud tertentu. Pernahkah terpikir oleh kalian?
Secara bawah sadar ternyata
alasan/latar belakang/motif menjadi salah satu yang penting dalam nilai hidup
saya. Bahkan untuk mencintai tanpa alasanpun setidaknya saya tahu bahwa itulah
alasan saya mencintai seseorang ahaha. Aneh? Entahlah. Saya juga belum
menyadarinya terlalu lama. Kadang saya melontarkan pertanyaan ini secara
spontan pada beberapa teman/rekan/kenalan saya. Setelah beberapa kali, akhirnya
saya menyadari hal ini.
Seorang rekan dosen di Unsoed yang beberapa
saat yang lalu akan segera pulang ke Indonesia, karena dia memang bolak balik
Belanda-Indonesia selama studi doktoralnya. Risetnya bidang sosial yang bisa
memungkinkan dikerjakan dimana pun. Jadi menjelang puasa ia memilih pulang
untuk berpuasa bersama keluarganya. Lalu dia berbincang :
“
Kalau balik, kita bikin yuk omong-omong
sastra. Ntar kita yang cuap-cuap. Anak-anak yang bikin acaranya,” katanya
begitu dengan gaya bicaranya yang cenderung asal dan santai. Begitulah memang
tipikal teman saya itu.
“ Hiyaah mau cuap-cuap? ngomong apaan? Tapi okelah. Keren juga,”
timpal saya waktu itu.
Saya tidak menanyakan buat apa? Untuk
apa? Karena di balik jawaban saya untuk “okelah” saya tahu pasti alasan saya
mau melakukan hal tersebut. Passion saya di bidang tulis menulis sudah cukup
menjelaskan pada diri sendiri kenapa saya gampang saja bilang “oke”.
Lain waktu, teman saya lain lagi
tiba-tiba berkata :
“eh gimana kalo kita
merintis penerbitan ?aku sih udah kepikiran sejak lama, dimulai dengan menulis
sendiri, diterbitkan sendiri (dengan nama penerbit sendiri tapi mesin terbitnya
bisa ke yg lain), dijual sendiri dll. serba sendiri. nanti2 juga bisa ke
gramedia dkk." ungkap temanku itu.
“Nah, dirimu kan
keren, ya tulisannya #ehm.. jadi bisa lah kita jual #ngajakSerius” tambahnya dalam chat kali itu.
Lalu secara spontan saya bertanya :
“
humm motifnya apa?” Tanya saya singkat. Tik tok tik tok.
“Nah
itu dia belum nemu ahaha”, dia cuma ngakak.
Saat itu saya butuh alasan dan sebuah
penjelasan yang meyakinkan diri saya apakah saya akan bilang”ya atau tidak”.
Lalu dia tidak bisa memberikan
penjelasan yang meyakinkan. Dan bagi diri saya juga tidak mempunyai alasan
cukup untuk mencoba ide tersebut. Saya tidak tertarik pada teknis dunia
penerbitan, pemasaran. Paling tidak itu yang saya rasai sekarang, entah nanti. Saat
ini saya lebih cenderung tertarik pada proses menulis, pada tulisan dan
produk-produk tulisan lainnya.
Saya juga masih ingat, pembicaraan
saya dengan seorang gadis dari China yang secara kebetulan bertemu di acara
makan-makan di flat Eliza, teman saya di Glasgow. Awalnya saya agak canggung
karena beberapa orang yang datang tidak saya kenal. Sedangkan mereka sudah
kenal satu sama lain karena kuliah di program yang sama. Saya duduk berdekatan dengan seorang perempuan
bermata sipit yang kalem. Awalnya saya agak enggan untuk memulai pembicaraan,
lebih memilih berkonsentrasi pada nasi briyani di piring saya. Tapi beberapa
saat kemudian saya berbasa basi menyapanya. Lalu dia bertanya pada saya,
“
Are you moeslem?” tanyanya dengan suaranya yang lembut pelan. Tentu saja
kujawab sambil menganggukkan kepala. Lalu sebuah penyataan yang membuat saya
sungguh tertarik yakni dia bilang bahwa ia baru saja menjadi seorang muslim dan
sedang belajar beribadah. Hati saya terkejut. Dan tidak bisa menahan
kespontanan saya untuk bertanya kenapa dan bagaimana prosesnya? Maksud saya
bagaimana ia sampai dalam titik tersebut pastilah ada alasan atas keputusannya
tersebut. Kita yang terlahir sebagai muslim mungkin tidak pernah mengalami
proses tersebut.
Saya hanya yakin bahwa seseorang
melakukan sesuatu dengan alasan tertentu. Bukankah begitu? Karena alasan itulah
yang menjadikan energi pendorong di balik setiap tindakan. Paling tidak bila
itu tindakan-tindakan besar. Dan bagi saya itu penting.
Bagaimana manusia menjalankan sesuatu
tanpa alasan?
Bahkan saya pikir seseorang bingung
bila ditanya : kenapa kau mencintaiku? Lalu orang tersebut menjawab : “entahlah.
Aku hanya mencintaimu. Mungkin tanpa alasan” #aih ini ngarang banget dialognya
ahaha.
Nah bahkan dalam konteks seperti itu,
saya berpikir bahwa oang tersebut hanya tak mampu mendefiniskan alasannya
dengan pasti. Pasti tetaplah ada alasan.
“Apa
motivasimu melakukan itu? Untuk apa?” pertanyaan itu seringkali saya lontarkan
secara tidak sengaja. Dan kadang ada beberapa yang terbeliak kaget menerima
pertanyaan tersebut, ada yang tampak biasa saja, dan yang begitu antusias
menjelaskannya. Nampaknya saya pun bisa menebak seberapa banyak passion yang
diinvestasikan pada aktivitas/tindakan seseorang sesuai dengan responnya. Yah,
kira-kira mungkin tak jauh meleset.
Saya pernah melontarkan pertanyaan
tersebut pada seseorang yang memutuskan
bekerja jauh dari bidang keilmuannya, atau berganti haluan atau saat seseorang
yang melakukan hal yang bagi saya masih terasa asing atau aneh. Menjadi menarik
untuk mengetahui motif orang untuk melakukan hal tertentu. Teman saya di group
GRAD school beberapa waktu lalu, riset doktoralnya di bidang matematika
mengukur jarak benda-benda. Bagi saya aneh, buat apa? Pasti ada alasannya? motivasinya
untuk apa?
Menurut saya, alasan pula yang bisa
merubah perspektif orang akan sesuatu. Anggap saja saya mengetahui seseorang
melakukan sebuah tindakan X. Persepsi saya hanya sebatas aksi dari tindakannya
saja. Tapi begitu orang tersebut menjelaskan alasannya, persepsi saya tentu
saja berubah. Bisa sama atau menguatkan persepsi saya sebelumnya tentang
tindakan orang tersebut atau bisa juga merubah sama sekali persepsi saya dengan
menciptakan persepsi yang baru.
Bukankah kalian pikir alasan itu menarik
dan unik?
Ah saya meracau lagi. Ahaha mungkin
karena cuaca yang panas di luar sana.
“
complicated” begitu sering kali kamu berkomentar
akan isi tulisanku.
Ahaha biarlah, maka teruslah datang
dalam hidupku dengan kesederhanaanmu. Dengan senyum dan canda sapamu itu. Dan mungkin
begitulah harmoni.
Lab CVR usai eksperimen. 12 July 2013. 3 pm.
0 Comments: