Glasgow-George Square |
Sore ini saya melintasi Glasgow lagi, hanya ingin pergi ke
KFC untuk makan kenyang dengan
hot wingsnya yang mantap surantap. Saat menuju ke sana, di balik jendela bis
menuju city center, saya melihat sisi-sisi
kota yang kian lama kian terasa akrab di hati saya. Dan entah kenapa pikiran
saya kembali mengenang saat awal saya menginjakkan kaki di kota ini. Dari awal,
memang kota ini sudah terasa klik untuk saya. Mungkin bukan sejenis cinta
menggebu-gebu seperti cinta-nya saya pada Edinburgh kala itu. Tapi Glasgow sedari awal memberikan
rasa seperti rumah. Rumah hati. Dan kini sudah 2 tahunan saya tinggal di sini,
dan dilandai aura betah bahkan sangat tergoda untuk memperpanjang studi. Jadi Glasgow pun bagi saya
bukan semacam cinta Witing Tresno jalaran
soko kulino. Saya teringat tulisan seorang sahabat blogger saya yang menulis :
“Cinta
akan/bisa tumbuh dengan sendirinya nanti, TAPI kita harus punya benih cintanya
dulu. Kalau gak ada benihnya, apanya yang mau tumbuh??"
Curcolnya di kalimat tadi sempat membuat
saya tersenyum. Mungkin dia juga mengalami apa yang saya rasai. Dan wahai para
pembaca yang merasa bisa tresno jalaran soko kulino, tentu saja itu hak kalian
masing-masing. Mari kita
membiasakan perbedaan, dan menempatkan pendewasaan dalam memahaminya.
Peribahasa orang jawa bilang “Witing Tresno
Jalanan Soko Kulino” (cinta tumbuh karena terbiasa), tapi memang peribahasa itu
nampaknya tidak cocok untuk saya. Kok? Ehehe bukankah biasa saja bila teori,
peribahasa memang tidak sesuai dengan kita? Penciptanya pasti melontarkan
kalimat atau pernyataan berdasarkan pengalamannya sendiri dan mungkin disertai
dengan observasi atau pengalaman
beberapa orang lainnya.
Tentu saja ada yang cocok ada yang tidak.
Tapi saya lebih pas dengan kalimat yang saya ubah sendiri “ tambah
tresno jalaran soko kulino”. Karena kebiasaan, karena tapak-tapak waktu yang
telah banyak mencipta kenang dan kejadian, rasanya menjadi “tambah tresno”,
tapi bukan “witing tresno”. Karena saya tipe manusia yang sulit belajar jatuh
cinta, tapi saya sangat menikmati proses belajar mencintai apa dan siapa yang
saya sudah “jatuh cintai”. Ada satu bidang yang sekarang menjadi bagian dari hidup
saya, ataupun kota yang menjadi tempat kerja saya. Walau sudah bertahun-tahun
bergelut di bidang yang saya tekuni, atau tinggal lama di kota tempat saya
bekerja, rasanya biasa saja. Saya menjalaninya semacam sebuah komitmen dan
tanggung jawab. Saya mampu membedakan rasa terhadap bidang lainnya yang memberi
saya rasa “hidup” dan kota yang sanggup mencipta rasa “pulang”.
Seseorang memilih tindakan ataupun mengambil pilihan karena rada dan
prinsip definitif antara dia dengan dirinya sendiri. Bukan melakukan sesuatu,
berubah ataupun mengambil pilihan karena pemikiran, pemahaman dan rasa orang
lain. Meminta pertimbangan atau saran bukan berarti mengikuti pilihan mereka.
Entahlah, saya
hanya kadang menghadapi orang-orang yang “memaksa” ikut pemikiran mereka.
Kalian pun pasti sering terpapar pengalaman yang sering saya alami. Wajar saja
memang, hidup penuh tabrakan pemikiran. Tapi bukankah kita tak pernah punya
kuasa untuk mengubah pemikiran seseorang? Bila seseorang berubah, pasti karena
diri orang tersebut tadi yang “mau” untuk berubah.
Banyak
motivator yang punya berbagai teori, yang merasa termotivasi tentu saja karena
orang tersebut “menemukan sendiri” motivasi itu ada dalam kata-kata sang
motivator. Dan bila pun beberapa orang mengaku terinspirasi dari tulisan saya,
tentu saja karena orang-orang tersebut yang “menemukan”nya sendiri.
Kalian percaya
bahwa tak satupun teori yang mampu menjawab kebutuhan setiap orang? Saya
percaya. Setiap kalimat, penyataan, ataupun retorika menurut saya mempunyai
kecocokan untuk masing-masing orang. Dan yang mengetahui cocok atau tidak,
tentu saja hanya diri kita sendiri. Tak usahlah memaksa-maksakan orang lain bahwa teori yang cocok dengan kita
adalah yang paling baik, paling benar, paling sesuai. Mengerti mana-mana yang
sesuai dengan kita, bagi saya itu lebih penting esensinya. Karena masing-masing
diri adalah makhluk dengan karakter unik sendiri-sendiri, mewakili rasa
masing-masing, dan pikiran yang melekatinya.
Yang sering
saya amati, manusia kemudian tak merasa puas dengan hanya mewakili pemikirannya
sendiri, namun terkadang “memaksa” orang lain untuk sesuai dengan pemikirannya.
Bila kau perhatikan, “pemaksaan” pikiran itu walaupun secara halus, mudah sekali
tertangkap di status-status Facebook ataupun twitter. Entah apa yang mereka coba
untuk puaskan.
Saya menulis,
mewakili rasa dan pikiran saya sendiri. Hampir tak pernah ada niatan bahwa
tulisan-tulisan saya bertujuan untuk “menyetir” ataupun “memaksa”
pikiran-pikiran pembaca saya. Ada banyak yang kemudian sependapat, mungkin banyak
pula yang tidak. Bukankah hidup memang
dihidupi dengan adanya perbedaan?
Hidup juga
terkadang belajar untuk bisa menerima bahwa orang lain punya pandangan dan
pemikirannya sendiri. Saya hidup dengan nilai, prinsip, pemikiran rasa yang
saya pilih dan yakini sendiri. Mungkin berbeda ataupun kadang sama dengan
kalian. Entahlah, saya melihat ada pembelajaran kedewasaan seseorang untuk
menghargai perbedaan, dan melangkah dalam harmoni.
Selamat
menghidupi pikiran dan rasamu sendiri.
Sebuah kilas pikir di bis Glasgow jalur 6 menuju city center. 11 August 2013.
Aku tau siapa yang menulis tentang BENIH ituuu.... ^_^
BalasHapusahaha harusnya kusebutkan referensi lengkapnyaa..hihi tengkiu mba titik, statusmu mengilhamiku nulis tulisan ini :D
BalasHapussetuju mba Siwi,, setiap orang punya teori hidup masing-masing. Tak perlu selalu menyetujui teori hidup orang lain, dan tak perlu memaksa orang lain setuju dengan teori hidup kita. Inspiratif!
BalasHapushehe tos kalau gitu :) *ini nulis gara2 baca timeline twitter juga yg pada ribut mulu..hadeew..
BalasHapus