Masih tentang kopi,
dan saya menulis pun ditemani secangkir kopi di sorenya Glasgow yang sudah
mulai dingin. Cuaca awal September sudah serupa dengan musim gugur, karena memang sudah waktunya. Musim kali ini
sepertinya datang tepat waktu. Langit sudah sering gloomy, hujan sudah sering
kali mengunjungi dan yang paling khas tentu saja anginnya Glasgow yang mantap
itu. Usai dari lab tadi anginnya sudah lumayan menampar-nampar muka, memang
belum iseng mengaburkan badan sih. Tunggulah menjelang pertengahan atau akhir
September, anginnya Glasgow pasti bertambah iseng.
Dan teman terbaik
untuk cuaca seperti ini memang secangkir kopi hangat. Iyah, seakan menemukan
semacam alibi yang tepat untuk melegalkan ritual minum kopi. Minum kopi bagi
beberapa orang memang merupakan ritual tersendiri. Lihatlah bagaimana Dee
dengan gemilangnya membuat Filosofi Kopi yang hampir siapapun membacainya. Kopi itu minuman yang sangat berkarakter-begitu
tulisnya dalam filosofi kopi. Pilihan masing-masing pribadi akan jenis kopi
favoritnya kadang kala pula mencerminkan kepribadian si peminum kopi itu
sendiri. Kadang ada lho artikel yang menulis tentang hubungan karakter
seseorang dengan jenis kopi yang diminumnya, ada pula yang melakukan studi
ilmiah tentang hal tersebut. Iseng-iseng saya juga sering membacainya. Kadang
ada pula yang sesuai, seru juga.
Saya pecinta coffee
latte, dan sayangnya sulit yang mampu memuaskan lidah saya akan selera kopi
saya. Seriusan! Menurut saya kopi paling enak itu ramuan sendiri, seperti hidup
memang paling pas bila kita tahu apa yang kita mau. Dan yang tahu apa yang kita
maui tentu saja diri sendiri. Seberapa bubuk kopi yang ditambahkan, seberapa
sendok gula, berapa air panas serta berapa susu ataupun cream yang ditambahkan.
Bahkan kopi seperti apa, susu jenis apa pun kadang sampai sespesifik itu.
Repot? Tidak, saya hanya tahu apa yang saya maui. Akhir-akhir beberapa kali
mencobai kopi baru, dan lidah mulai “manja” enggak mau lagi kopi biasa yang
saya biasa saya beli dengan harga relatif murah. Kopi biasa sangat terasa
asamnya, kadangkala rasa asam itu menganggu rasa pahitnya.
Kadang dengan melihat
perpaduan warnanya di permukaan cangkir saja yang bisa mengira apakah susu yang
ditambahkan sudah cukup atau belum. Warna setelah gula, kopi dan susu itu
bercampur pun harus pas untuk mencipta paduan rasa yang orgasmik! Hihi. Saya
membuatnya hampir setiap hari, telah menjadi bagian dari hidup seperti saya
makan nasi, jadi jangan heran saya sudah hapal benar takaran dan paduan favorit
saya.
Bahkan untuk cangkir
kopi sendiripun saya punya preferensi sendiri. Saya jarang sekali membuat kopi
untuk saya sendiri dengan menggunakan gelas. Saya suka membuat kopi dengan
cangkir berbahan keramik, dengan bentuk yang bulat atau sejenisnya (bukan
bentuk seperti gelas) dan sisi dalamnya berwarna putih/terang. Entah kenapa
saya menggangap pilihan cangkir juga mempengaruhi rasa. Sisi dalamnya yang
putih akan memudahkan saya untuk mendeteksi apakah campuran yang saya buat
sudah pas atau belum. Dengan gampang bisa tahu apakah masih kurang susu, atau
kebanyakan karena pastinya rasanya akan lain nantinya. Dan satu hal lagi, saya
menikmati melihat perpaduan warna itu. Saya mahluk visual yang “terpuaskan”
dengan memandangi terlebih dulu kopi yang akan saya sesap. Dan begitulah minum
kopi bagi saya memang serupa serangkaian teori-teori yang memang hanya cocok
untuk saya sendiri. Karena bagaimana saya menentukan seperti apa kopi kesukaan
saya, persis seperti bagaimana saya menentukan hidup seperti apa yang saya
inginkan.
Kadang kala ada pula
cerita ataupun alasan di balik preferensi orang terhadap jenis kopinya. Semalam
saya nonton Rectoverso lagi (entah untuk ke berapa kali), dan pada adegan
“cicak di dinding” ada dialog yang pasti sangat diingat penonton :
“ Kenapa si suka minum kopi pahit?”
tanya Laras yang diperankan Sophia Latjuba dengan gayanya yang sensual pada
Taja.
“ Biar ingat masih ada yang manis di
luar sana,” jawab si Taja dengan raut mukanya yang dingin.
Atau alasan si Randy
(Boy Hamzah) dalam film “Kata Hati” yang
mengubah selera kopinya menjadi kopi item setelah ditinggal pergi kekasihnya.
“ Seperti hidupku, hitam dan pahit
semenjak ditinggal Dera,” begitu dalam salah satu dialognya.
Kau lihat? Kopi itu memang ikonik ehehe. Lalu kenapa aku suka coffee latte? Humm saya suka paduan rasa pahit, manis dan gurih dan satu sesapan. Kopi bukanlah kopi kalau tidak pahit bukan? Juga hidup kadangkala bukan menghindari kepahitan, tapi menghadapinya karena masih ada rasa manis yang ditawarkan hidup.
Saya suka pahitnya
kopi, pahitnya pare, pahitnya rebusan daun pepaya ataupun kadang pahitnya jamu. Pahit
itu juga sama seperti katalog rasa-rasa yang lain seperti manis, asin, gurih,
asam, hambar. Seperti juga hidup, kita harus siap menghadapi rasa apapun. Dan
untungnya kita selalu bisa memilih bagaimana kita mensikapinya. Jadi teringat
kalimat Gede Prama dalam tulisannya :
“full of attachment to pleasure,
and full of rejection to the pain. As a result, life continuously swing from
one extreme to the other extreme without having any rest. This is the root of
many diseases such as stress and depression”
Jadi, coffee latte
bagi saya itu seperti bagaimana menghadapi pahit, manis dan gurihnya hidup dengan
berani #eaaa...dududu..
Glasgow, 2 Sept 2013
menjelang tengah malam.
Kopi seperti hidup, ada pahit, manis, nikmat, hitam, putih, kumplit... :)
BalasHapusSaya suka kopi, tapi tidak terlalu, karna perut sudah tidak mau diajak kompromi..
ehehe seperti juga sehari itu rasanya kurang komplit bagiku tanpa secangkir kopi :)
BalasHapus*hihi pilih yang kopinya jangan terlalu asam kali #sok tau :D