Aku mencintai angka
tujuh jauh sebelum aku mencintaimu. Jauh sebelum aku bertemu denganmu,
mengenalmu.
Bila kau masuk lorong
waktu dan melihat hidupku dulu, engkau akan banyak menemukan angka tujuh di
situ.
Ah, tapi bukankah tak
perlu masuk lorong waktu. Karena Aku, kamu, angka tujuh, dalam detik ini saja
sudah cukup.
“Kenapa
harus angka tujuh?” tanyamu. Tanya orang-orang lain juga terkadang.
Seringkali hanya kujawab dengan senyuman. Kau selalu cukup dengan senyumku
bukan? Dan lupa apapun pertanyaan yang kau ajukan sebelumnya.
Padahal kadang kala
ingin kujawab, dengan berkata :
“Mungkin
itu nomer punggung.”
“Mungkin
juga bukan.”
Ah, iya itu
sebenarnya nomor punggung. Ah, kadangkala manusia pada suatu ketika ingin
menghapus kekonyolan-kekonyolan masa lalu. Merasa bahwa andai ia langsung
menjadi dewasa tanpa melewati tahapan-tahapan yang menyimpan senyum malu bila diingat.
Ah, baiklah. Bukankah
aku juga harus berani untuk tetap menyimpan kekonyolan masa lalu.
Iyah,
tujuh itu nomor punggung.
Sudahkah pernah
kubilang padamu tentang ini?
Kau hanya tahu aku
suka angka tujuh dengan alasan yang tak pasti. Dan melihat angka tujuh tersemat
dimana-mana. Nama akun BB, nomer ponsel, password, angka tujuh bertebaran di
mana-mana.
“
Adek kirim semangat 7 kg ya dari siniiii,” kataku seringkali. Dan kamu
senang hati tanpa banyak bertanya kenapa apa-apa harus tujuh kilo, tujuh kali,
tujuh..dan tujuh.
Tapi beberapa saat
lalu, aku kelu. Obrolan tek-tok dan never
ending conversation yang biasa kita lakukan mendadak bisu. Aku yang bisu.
Sementara layar penuh
dengan celotehanmu yang cerewet.
“ Bingung mau ngetik apa hehe,”
hanya kalimat itu yang terketik di layar ponselku.
Lalu terlihat berbaris-baris
kalimatmu lagi. Cerewet!
“
Ingin bilang sesuatu tapi tidak tahu apa,” lanjutku. Ada yang ingin
kusampaikan saat itu tapi tak tahu apa.
Lalu di layar kembali
muncul berbaris-baris kalimatmu lagi. Sampai pada kalimat “sehat-sehat ya,
baik-baik ya, makan rutin ya. Bla bla..bla..
Dan aku membalas
dengan berderet-deret ikon senyuman.
“
Sudah dulu ya, baik-baik ya. Assalamualaikum,” pungkas kalimatmu.
“ Walaikumsalam” jawabku mengakhiri
obrolan tak jelas malam ini, waktu milikku, dini hari milikmu.
Tapi sedetik kemudian
kusadari satu hal, lalu kuketik lagi
“ Eh sebentar, senyumannya dikurangi satu, itu delapan. Kurangi satu biar
jadi tujuh. Walaikumsalam.”
“
Hahaha hadooh,” dan ikon tepot jidat muncul di layar.
Ah kamu, pahamilah
aku dan angka tujuh.
Kau tahu, kini aku
tahu apa yang sebenarnya ingin kubilang padamu beberapa saat lalu itu.
“ Tujuh itu sempurna. Dan Kamu
itu..delapan! sempurna dengan segala kurangmu. Lebihmu!”
Tsaaah, abaikan
tulisan ini hihiii..
Glasgow dini hari. 21
Sept 2013.
eh, jangan donk, jangan diabaikan...
BalasHapus7-8-9, itu angka yang...cantik. :)
lulus sma 2007, pertama kuliah juga tahun 2007, aku anak ke-7 (lahir 9988), waktu sidang skripsi juga hanya tujuh orang (para mahasiswa yg ketinggalan,hihi), jumlah siswa pertamaku (tahun 2010) di sekolah yg ku pimpin juga tujuh siswa (tapi sekarang nambah satu, jadi 8, he), waktu kuliah kenalan dengan tujuh anak tunggal yg dari mereka aku tahu psikologis anak-anak tunggal, dan 21, adalah 3 x 7.hehe
21 september 2013
eh, ta kira sekarang tggl 21,,hihi,,lebay di 7-7-in..
BalasHapus7 itu istimewa, 9 ituh sempurnaaaaaaaaaaaa hahahahhaha.....
BalasHapus@Afa : ehehe njelimet ya itung2annya :D
BalasHapus@Lupi : jiaaaah..preferensi masing2 to ;p bukannya sempurna bagimu itu 20? ah itu nomer punggung. Iya. itu pasti nomer punggung #kode ahaha ;p
hehe,,
BalasHapusmaturswun pun dikonpirm fesbuke..he :p
7 angka surga =)
BalasHapus@Afa : yupie, sami-sami :)
BalasHapus@Rinimonti : wuih angka surgaa...baru tahu :)