Syal
ungu lembut dan cardigan hitam disambar Kinan dari lemarinya dan bergegas pergi
ke suatu tempat. Dikenakannya cardigan sambil berjalan keluar dengan
tergesa-gesa.
“ Mada ada di kota ini, Kin. Ia ada
konferensi di sini, dan hanya tinggal sampai besok malam. Ia menanyakan
kontakmu berkali-kali. Sepertinya ia sungguh ingin bertemu lagi denganmu, Kin.”
Suara Melia di ujung telponnya sehari lalu.
Mada? Lelaki dengan senyuman itu.
Perlukah kutemui ia lagi?
Kinara membatin. Mungkin tidak. Untuk apa menemuinya? Waktu telah membekukannya.
Tapi
lihatlah kini ia berkejaran dengan waktu menuju Bandara Muenchen. Menemuinya.
What if? Bagaimana bila kesempatan ini
adalah satu satunya kesempatan untuk melihatnya lagi? apakah akan ia lewatkan
begitu saja?. Apakah setelahnya, hidupnya adalah tentang kenang dan masa lalu
Mada. Dan masa depan tak pernah menyisakan cerita dengan nama itu lagi?
Kinar
meminta sopir taksi membawanya ke Bandara Muenchen dengan segera. Laju mobil
seakan berpacu dengan degub jantungnya. Tidak
akan pernah ada lagi What If, bisiknya
lagi. Dibenarkan posisi syal ungu yang menghangatkan lehernya, dan disibakkan
rambut panjangnya.
Nada sambung itu akhirnya terjawab
dengan suara yang amat dikenalnya di ujung telpon. Suara itu masih sama, hanya
terdengar lebih berat.
“ Mada? Tunggu aku. I just want to
see your face,” Kinara mengucapkan kalimat itu seakan bicara dengan seseorang
yang tiap hari disapanya.
Tapi
Mada, lelaki itu sudah menghilang dari hidupnya empat tahun yang lalu. Ah bukan
Mada yang menghilang, tapi Kinarlah yang menghilangkan dirinya dari hidup Mada.
Karena rasanya sudah
terlalu penat. Bersamanya dulu terlalu banyak What If. Andaikata, bila...Tak ada hidup yang sebenar-benarnya kala
bersamanya, hingga akhirnya Kinar memutuskan untuk menghilang. Pergi mencari
hidup yang memberinya banyak pertanyaan dan jawaban, tapi bukan lagi, andaikata.
Ditutupnya
telepon dan merasai degub jantungnya yang berpacu lebih cepat. Tangannya berkeringat.
Ia gugup. Tidak akan pernah ada lagi What
if. Tegas Kinara dalam hatinya lagi.
Sesampainya di Bandara, matanya
mencari sesosok yang empat tahun lalu diakrabinya itu. Belum juga ia temukan.
Berkali kali Kinar menengok pada jam tangan di pergelangan, sometimes I hate time!
“ Hai pipi merahku, tengah
mencariku?” suara di belakang Kinar mengagetkannya. Kinar segera berbalik dan
menemukan sosok yang sedari tadi dicarinya.
Lelaki
dengan tinggi sedang, berjaket berkerah tinggi, dan syal melilit di lehernya.
Kinar terpaku sejenak memandangi syal yang melilit menghangatkan leher Mada. Itu
syal dariku. Aku tak salah lihat, ia bahkan masih memakai syal pemberianku. Bisik
hati Kinar yang seketika menghangat.
***
Napcabs ini sungguh teroboson unik di
Bandara Muenchen. Ruang tunggu pribadi ini berbentuk kotak dengan perlengkapan
yang nyaman yang bisa disewa sambil menunggu jadwal keberangkatan. Agak mahal
memang, harga yang pantas untuk sebuah kenyamanan.
“Masih minum kopi kan, Kin? “ Tanya
Mada sambil terlihat menyiapkan dua cangkir kopi untuk menemani mereka ngobrol.
“ Satu sendok gula, dua sendok bubuk kopi dan sedikit cream.
Rumus racikan kopimu masih sama kan? “ lanjut Mada dengan cekatan menyiapkan
kopi.
Kinar
tersenyum samar. Dia masih saja
menyebalkan, seru batinnya. Mada baginya menyebalkan karena hampir tahu
semua tentang dirinya dan bahkan sampai kini tak berniat melupakannya.
“Kok diem? Ayo minum kopinya. Dulu
kamu suka banget racikan kopi bikinanku. Sudah ada yang bisa
menggantikannyakah? “ tanya Mada dengan ringan, lalu tersenyum padanya.
Mada
tak menyadari ada gempa bumi kecil di hati Kinar saat memperhatikan cara Mada
berjalan, tersenyum, dan bicara. Nada suaranya, caranya tersenyum, gaya
bicaranya masih tetap sama. Hey, Kinar
..bukan untuk itu kau menemuinya! Sergah batinnya. Sebenarnya ia lebih
mengharapkan pertanyaan Mada padanya seperti : “Kemana saja kau selama ini? Apakah kau baik-baik saja tanpaku? Kenapa
menghilang begitu saja tanpa kabar apapun?
Atau
sekedar pengakuan sederhana : “Aku
sungguh merasa kehilanganmu, Kin”.
Tapi
Mada hanya bicara soal kopi.
Kinar
hanya tersenyum sambil menggengam secangkir kopi hasil racikan Mada. Matanya
melihat lelaki di hadapannya itu lagi, mencari-cari perubahan apa yang
dilewatkan setelah beberapa tahun tak melihatnya. Rindu itu sudah beku.
“How’s life? “ hanya pertanyaan
singkat itu yang mampu terlontar dari bibir Kinara. Walau terlalu banyak yang
ingin ia tanyakan sebenarnya.
“ Aku masih hidup. Tak dinyana ya. “
jawab Mada lugas. Ah, lelaki penderita cyctic fibrosis yang menunggu jadwal
transplantasi hati bertahun-tahun itu terlihat
masih bugar di hadapannya.
Ia
bahkan tak pernah mengira akan bisa melihatnya lagi. Lelaki itulah yang dulu sanggup
meyakinkannya untuk meraih apapun impiannya. Lelaki yang datang dengan
senyuman dan serombongan anak-anak yang memaksanya mengajar di halaman
belakang. Tapi penyakitnya itu menggerogoti keberaniannya sendiri, bahkan
keberaniannya untuk mencintai.
Mereka
kemudian diam membisu. Padahal Kinar hanya ingin menghambur di pelukan lelaki
yang aroma tubuhnya bahkan masih dikenalinya itu. Namun melihat lelaki itu masih sanggup
menghirup udara, dan hati hasil transplantasi dalam tubuhnya masih
mengenalinya, hanya itu saja sungguh sangat membuatnya bersyukur.
Tapi
mereka tak bergeming.
“Kenapa dulu kamu tak pernah berani?
Berusaha agar kita tetap bersama? “ akhirnya Kinara menanyakan apa yang ingin
ditanyakannya selama bertahun-tahun belakangan ini.
“ Kin, aku tidak tahu apa aku bisa
bertahan atau tidak. Apa transplantasi hatiku akan berhasil atau tidak. Apa
setelah itu hatiku masih mengenali hatimu? Aku tidak bisa menjanjikanmu apapun.
Sebuah hubungan yang normal, pernikahan, anak-anak. Mungkin saja aku tak pernah
bisa,” jelas Mada pada akhirnya.
“ Kamu masih ingat berapa lama aku
bertahan untuk bersamamu? “ ada nada protes pada kalimat Kinan.
Mada
membisu. Ia tahu betul lebih dari tiga tahun Kinara bersamanya. Namun ia memang
tak pernah berani memutuskan apapun. Apabila
aku mati minggu depan? Bulan depan? Bagaimana dengan Kinara? Mungkin terlalu
banyak kecemasan dan ketakutan yang menyelimuti hatinya. Kecemasan membuatnya
menjadi seorang pengecut.
“Bukan penyakitmu yang membuatku
pergi. Tapi ketidakberanianmu mencintaiku. Terlalu banyak apabila, andaikata. What if”
jelas Kinan mengenang kembali luka dalam hatinya.
Entah
kenapa lukanya kembali terasa segar. Hatinya sakit.
“Kau bersama siapa sekarang? “ tanya
Mada mengalihkan pembicaraan. Tapi sekaligus pertanyaan yang disimpannya
beberapa waktu lamanya. Kinara, perempuan berpipi merah itu, terlalu sulit
untuk bisa melupakannya.
“ Kau tahu aku memutuskan bersama
seseorang bukan karena takut sepi, bukan karena takut sendirian,” jawaban Kinar
bersayap. Ia kembali membetulkan syal ungunya, lalu menyesap kopi racikan Mada.
Ah, bahkan rasa racikan kopinya masih tetap sama. Ia tak pernah lupa sensasi
rasa kopi hasil racikan Mada.
“ Aku menelpon untuk bertemu hanya
ingin melihatmu saja. Itu saja. Agar tak pernah ada lagi apabila, andaikata. What if. Aku lelah dengan kata itu dalam hidupku.
Kini tak akan pernah ada lagi” lanjut Kinara panjang. Tapi kegugupan melanda
hatinya. Disesapnya kopi di cangkirnya lagi.
“ Kamu dulu itu takut hidup,
walaupun kau masih hidup. Mungkin sesekali kau harus membiarkan hidupmu lepas.
Mengambil risiko, memutuskan pilihan dan terus berjalan,” Kinara masih berkata
dengan acak. Sementara Mada masih memperhatikan perempuan di hadapannya. Pipi
chubbynya yang masih tak berubah, rambut panjang lebih dari sebahunya yang tak
pernah dipotong pendek, mata hitam bulatnya yang selalu terlihat antusias saat
bicara. Ah, ia dulu terlalu takut kehilangan perempuan berpipi merah itu.
Mada
meletakkan cangkir kopinya.
“Kamu mengajariku untuk tak pernah
takut lagi. Apalagi yang sanggup aku takutkan? Aku sudah pernah merasakan
bagaimana rasanya kehilanganmu? Memangnya ada sesuatu yang lebih pahit dan
lebih sakit daripada itu? “ kata Mada dengan suara yang bergetar.
Ditatapinya
wajah perempuan yang bahkan masih diingat setiap detailnya. Hidungnya yang
kecil, matanya yang bulat, alisnya yang tebal. Ah, si alis ulat buluku, si pipi merahku, serunya dalam hati. Waktu memang ambigu.
Bahkan waktu tak sanggup menyembunyikan rindu.
“ Sebentar lagi waktu penerbanganmu.
Ayo bersiap, nanti terlambat.” Kata Kinara mengingatkan Mada. Oh, lagi-lagi ia
membenci waktu.
“ Kin... selama ini aku nggak pernah melupakanmu. “ Mada masih saja terus
bicara.
“ Itu udah nggak penting lagi, aku cuma
pengen ngeliat kamu baik-baik. Itu saja, cukup.” jawab Kinara sambil menunduk,
memainkan syal ungunya. Hatinya teraduk aduk.
“ What if..” kalimat Mada menggantung
“ Uhmm.. tak pernah ada lagi andaikata. Bagaimana jika. Nggak ada
lagi What if. Kutanyakan sekali ini
saja, masihkah kau mau bersamaku? Hingga tak pernah ada lagi penyesalan. Andai
saja dulu aku berani untuk mengambil keputusan? Jika saja aku memutuskan untuk
tetap bersamamu? What if..what if..menghantui
hidupku.” Kata Mada seakan kata-kata itu berloncatan dari bibirnya.
“Aku tidak ingin membawa-bawa
pertanyaan yang belum usai dalam
hidupku. Sekarang kau jawab, kita selesai atau bersama.” Lanjut Mada tegas.
Kinara
sedikit bingung menghadapi pertanyaan Mada yang spontan. Tangannya meremas sofa
yang didudukinya. Pikirannya gundah, tapi sebenarnya hatinya tidak.
“ Pulanglah, jadwal penerbanganmu
sudah tinggal sebentar lagi,”jawab Kinar sambil merapikan tas dan mengenakan
lagi cardigannya agar terasa hangat. Musim gugur akan segera datang. Udara dingin
sudah makin menusuk tulang.
Mada
masih menatapnya dalam-dalam. Ada harap yang belum padam. Dan juga cinta yang
masih membayang di matanya.
“ Pulanglah... sehat-sehat ya,” pesan
Kinara sambil membenarkan syal milik Mada. Syal pemberiannya di Ulang Tahun
Mada yang ke 28. Tangannya yang lembut sedikit menyentuh kulit leher Mada.
“ Tapi Kin,..” tanya Mada
menggantung, ada harap yang sulit disembunyikan.
“ Pulanglah dulu, nanti kita cari
cara bagaimana mengalahkan jarak dan samudra,” kata Kinara mantap. Dan senyum dari
perempuan berpipi merah itu kembali merekah. Mereka membenci waktu sekaligus
menghormatinya, karena waktu mengajari mereka menaklukkan kecemasannya sendiri.
Papan elektronik di Bandara Muenchen
sudah menunjukkan waktu saatnya penumpang penerbangan menuju Amsterdam check in. Langkah Mada lebar-lebar
sambil menggiring koper besar miliknya. Tapi mereka sebenarnya tak kemana-mana.
Hati mereka terbang bersama.
What if, I had
never let you go
Would you be the man I used to know?
If you'd tried
If we could only turn back time
But I guess we'll never know (What If, Kate Winslet)
Glasgow,
24 Sept 2013.
ehmmmmmmmmmm......
BalasHapushaisssh komenmu ambiguuuuu...wkwkwk..:))
BalasHapuswaah baru inget...mesti dirimu jadi teringat sesuatu dudududu #kabuur ah ;p;p
BalasHapusNice ^_^...ummm...deg2annya berasa pas bacanya..
BalasHapusKeep write ya mba ^_^
wuihh lha kok pake deg-deg2an bacanya ehehe..tengkiu udah mampir baca ya :)
BalasHapus