Bulir-bulir keringat seketika terasa
di tubuhku saat mengijakkan kaki di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Panas.
Belum lagi ruangan yang kecil dan sumpek serta berderet-deret antrian antara pemegang
paspor domestik dan paspor asing. Sungguh, bandara ini seharusnya jauh lebih
besar. Yogyakarta sangat potensial untuk meraup devisa dari sektor pariwisata.
Namun bandara masih mungil segini rupa. Keluar dari pintu bandara, telingaku
sepertinya berdesing. Noise! Oh banyak sekali orang, dan semuanya bicara.
Bising. Orang-orang berseliweran, lalu tukang taksi berebut menyapa,
“
Mau kemana mbak? Mari saya antar” kata supir taksi. Aku menggeleng pelan dan
mengatakan bahwa akudijemput. Hanya selang beberapa menit datang lagi supir
taksi lainnya, dan aku harus menjawab hal yang serupa. Bahkan sopir taksi yang
sudah bertanya pun, kembali lagi menawarkan jasanya. Oh akhirnya aku mengambil
tempat duduk di antara himpitan orang-orang yang tengah menunggu jemputan
ataupun menunggu jadwal penerbangan. Mbak-mbak yang ribut menggelar isi
kopernya yang kelebihan muatan, berusaha memasukkan sebanyak banyak isinya, dan
kerepotan karena masih banyak barang yang masih tertinggal. Suara-suara
kerumunan yang selama ini asing di telingaku.
Oh jangan mengeluh, ini negerimu. Bisik batinku.
Suara-suara klakson taksi dan mobil-mobil
penjemput yang tak sabar dalam antrian kemacetan kembali menganggu telingaku.
Entah mengapa aku merasa asing. Aku
asing pada negeriku sendiri. Ada rasa bersalah yang menyelinap dalam hati. Oh
diriku, ini negerimu. Aku baru meninggalkan Indonesia sekitar 5 bulan yang
lalu. Selama 2 tahun lebih menempuh studiku, aku sudah beberapa kali pulang,
jadi seharusnya aku tidak terlalu merasa asing. Tapi rasa seperti ini sulit
untuk ditampik saat kembali menjejak di tanah air. Aku merasa asing.
Panas, bising, ramai, macet. Aku
manusia tropis yang dibesarkan 25 tahun lebih oleh matahari merasa asing dengan
matahari. Aku merasa bising dengan teriakan-teriakan orang, dengan
obrolan-obrolan dengan nada yang tinggi. Aku seperti merasa di tanah antah
berantah, padahal aku menginjakkan diri di negeri sendiri.
Baru sehari, aku mengalami alergi
panas, muncul gatal-gatal dengan bentol-bentol merah. Belum lagi jetlag yang
menyebabkan jam tidurku bolak balik. Aayayayay, betapa anehnya kupikir. Kenapa
tubuhku sudah asing dengan iklim negeriku sendiri.
Kepulanganku kemarin memang hanya
beberapa hari, sebelum masa adaptasi selesai aku harus segera pergi lagi, Mungkin
itulah yang menyebabkan tubuhku harus mengalami perubahan-perubahan cuaca
dan suasana dengan ekstrim.
Aku tidak hendak mengeluh. Bahkan ada
terselip rasa bersalah. Kenapa tak lagi merasa nyaman di negeri sendiri?
Ini negeriku, yang kucintai sedemikian
rupa. Tempat dimana kontribusiku selalu tercurahkan.
“
Semuanya begitu mba, culture shock itu kadang bukan saat kita sampai di negeri
asing, namun saat kita kembali,” kata Sandy, sahabatku yang baru-baru ini
juga kembali dari Itali.
“
The real challenge-nya itu malah pas kita pulang” kata sahabat yang lain.
Ehehe seperti kata pergi, kata pulang
pun mempunyai ceritanya sendiri.
Kini aku telah kembali ke
Glasgow, dengan suhu yang merayapi titik nol, kadang-kadang sudah menyentuh
minus. Tapi saya merasa pulang.
Entahlah, mungkin sebaiknya kemanapun
kita pergi, kita pikir saja seperti hendak pulang. Tapi sayangnya, tak semua
tempat memberikan rasa “pulang”.
Glasgow,8 November 2013.
0 Comments: