Dunia Sosmed atau sosial media sekarang ini menjadi bagian
yang tak terpisahkan bagi sebagian masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Ada Facebook,
twitter, linkeldn, google +, instagram dan lain sebagainya yang bisa dimanfaatkan
masyarakat. Namun akhir-akhir ini kok ada gejala yang saya tangkap agak
meresahkan dari gaya masyarakat dalam memanfaatkan jejaring sosial media.
Seperti maraknya share dan pemberitaan yang menggelinding tentang akun
instagram ibu negara kita, Ibu Ani yudhoyono. Iseng saya buka instagramnya,
komentar-komentar serta dua surat terbuka yang dialamatkan untuk beliau,
termasuk juga komentar-komentar orang yang share informasi tersebut di facebook
dan juga beberapa portal tertentu.
Namun, setelah membaca sekitar 15
komentar dari ratusan komentar, saya sudah buru-buru menutup tanda x untuk
close apa yang saya bacai. Tidak berguna untuk saya, bisik pikir saya.
Komentar-komentar negatif dengan bahasa yang “memprihatinkan” rasanya hanya
akan memberikan energi negatif. Enough, cukup rasa penasaran saya untuk sekedar
mengetahui perkembangan berita-berita terkini yang terjadi di bumi pertiwi. Kasus ini hanya contoh dari banyak kasus-kasus yang
menunjukkan betapa reaktifnya masyarakat Indonesia, dan sayangnya seringkali
reaksi-reaksi yang malah tidak membangun.
Jejaring sosial media
menfasilitasi orang yang lebih ekspresif, menyampaikan pendapat, mengomentari
foto atau status orang, bisa meng-upload
foto ataupun menuliskan pendapatnya. Namun ada satu hal yang selama ini
mengganjal dalam pikir saya tentang gaya masyarakat Indonesia dalam
berinteraksi lewat sosial media. Kebebasan berekspresi dan berpendapat di
sosial media, terkadang menimbulkan kehilangan etika.
Jarak antara seseorang dengan
orang lainnya hanya sejarak beberapa ketikan di keyboard. Dulu serasa tidak
mungkin suara, pendapat kita langsung bisa sampai pada kepala negara, menteri,
tokoh-tokoh penting lainnya. Tapi sekarang orang bisa dengan gampang
mengirimkan aspirasinya, misalnya saja dengan nge-tweet dengan mention orang
yang dimaksud. Tentu saja banyak kelebihan dan manfaat dengan mudahnya
komunikasi sekarang ini. Tapi kebebasan itupun banyak yang keblabasan. Menyampaikan
sesuatu di dunia maya memang terasa lebih “safe” (apalagi bila menyangkut
dengan orang penting)-dalam
artian kita tidak berhadapan langsung dengan orang tersebut, lalu identitas
kita juga bisa disembunyikan atau menyampaikan sesuatu dengan menggunakan identitas
yang palsu. Apapun itu, seharusnya adab menyampaikan pendapat, saran, kritik
pun harus tetap berlaku walaupun itu di dunia maya.
Rasanya ada yang mengusik hati
saya saat membaca, mendengar dan mengamati banyaknya hal-hal yang menyebabkan
keresahan di dunia maya. Orang dengan mudahnya share informasi tanpa membacanya
dengan detail atau mengetahui darimana sumbernya, plus menambahi dengan komentar yang
kurang nyaman untuk dibaca. Akibatnya isu tersebut menggelinding tak tentu
arah, sehingga menciptakan suasana yang tidak positif. Efek sosial media memang luar biasa, isu yang
digelindingkan bisa menjadi viral yang menyebar kemana saja hanya dengan
beberapa klik dan ketikan keyboard saja. Seharusnya pun hal ini membuat kita
lebih bijaksana dalam memilah dan memilih informasi termasuk memilih bahasa
yang hendak disampaikan.
Dalam interaksi dunia maya pun kita selayaknya
mempunyai adab dan etika. Bullying dunia maya sekarang ini sepertinya menjadi
booming dan orang menjadi sangat
reaktif. Ariflah dalam membaca mendapatkan informasi dan menyampaikan pendapat.
Kadang bukan hanya mempertimbangkan benar atau salah,
namun etis atau tidak etis. Sama seperti halnya hidup di dalam masyarakat dalam
realita bahwa tetap butuh tolerasi, sopan santun dan pengertian.
Cara kita menyampaikan pendapat,
aspirasi, saran ataupun kritik, baik itu di dunia nyata ataupun dunia maya
adalah cerminan dari seperti apa kita sebenarnya. Nilai seseorang gampang sekali dikenali dari caranya
mengendalikan diri dalam menyampaikan apa yang dinginkan, disuarakannya ataupun
cara dia merespon itu semua. Perbedaan ada dimana-mana, kekurangan menjadi hal
yang niscaya, pun orang-orang tak tidak suka pada kita mungkin saja tersebar di
alam raya.
Sudah sewajarnya kita belajar
menghargai perbedaan, belajar menyampaikan ketidaksetujuan, ataupun kritik dengan cara
yang santun dan beradab.
Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang masyarakatnya santun dan beradab, setidaknya itulah stigmanya, entah pada realita.
Santun dan beradab, tentu saja bukan
berarti lemah, tak bersuara, dan tak peduli. Tapi suarakahlah pendapat dan
aspirasi dengan cara-cara yang elegan, santun dan dewasa.
Sudah bukan waktunya masyarakat
Indonesia sibuk dengan isu-isu yang tidak bermanfaat, sibuk dengan debat tak berisi
dan saling menebar energi negatif.
Sudah waktunya untuk turun tangan
dan peduli untuk Indonesia yang lebih baik. Indonesia sudah terlalu banyak
orang yang mengkritik dan mencaci maki, Indonesia butuh orang-orang yang
peduli.
Turun tangan, bekerja, bekerja,
berkarya, berkontribusi. Menebar
Inspirasi bukan melempar
caci maki.
Salam,
Glasgow 23 Jan
2014
turun tangan, bkn sekedar hny (t)urun (t) angan #katapakaniesbaswedan
BalasHapusMbaaaakkk, nginstagramm dong :)
Ini akun saya, jadi suka-suka saya dong, saya mau ngetwit sambil eek atau sambil ngupil terserah saya. Emang ada aturannya? Kamu jangan songong deh! (beberapa contoh yang ditemui).. Nice post Non.
BalasHapus@lupi : ahaha yupiee sebagai penerus Pak Anies Baswedan memang harus turun tangan :)
BalasHapus@wendi : ahahaha iyaah banyak yang membalas demikian. Jadi semakin kelihatanlah kualitas di pemilik akunnya. tengkiu sudah mampir baca :)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus