Rasa sakit,
seperti juga rasa senang , suka cita, cemburu, iri, bangga, pasti pernah
menghampir dalam hidup kita. Siapa manusia yang tak pernah merasakan sakit?entah
itu sakit fisik ataupun juga psikis. Mungkin tidak ada. Seperti ketika kemarin sahabat
saya menyapa dengan cerita rasa sakitnya, mungkin itu wajar saja. Namun hal itu
kembali membuat saya tertegun akan pelajaran rasa sakit.
“Apakah
rasa sakit yang masih ada ini tanda aku belum ikhlas? Apakah bisa saja aku
sudah ikhlas tapi tetap merasa sakit?” Racau sahabat saya
tadi.
Saya terdiam
sejenak, dan kemudian menimpali dengan stok kalimat-kalimat saya yang ada.
Karena saya sendiri tidak tahu, sungguh tidak tahu. Tapi saya tahu
kadang-kadang seseorang bercerita tentang sesuatu hanya butuh untuk
didengarkan, bukan untuk meminta solusi. Belajar mendengarkan dengan sepenuh-penuhnya
mendengarkan ternyata salah satu hal yang butuh belajar. Ah, apasih yang nggak
butuh belajar? Jadi seringkali saya hanya mendengarkan dan menimpali dengan
kalimat sebisa saya.
Ada rasa sakit
yang begitu jelas kentara kutangkap dari cerita sekilas sahabat saya tadi. Sakit
yang saya bicarakan di sini tentu saja jenis rasa sakit psikis. Saya melihat
tanda-tanda luka traumatis yang kembali segar menganga. Saya pernah mengalami
sejenis rasa sakit itu, walaupun setiap orang mempunyai alasan ataupun penyebab
rasa sakitnya sendiri-sendiri. Dan yang sering saya temukan rasa sakit
terkadang adalah tentang disagreement
dengan diri sendiri. Mungkin tentang harap kita terhadap perlakuan seseorang
yang tidak sesuai dengan mau kita. Mungkin tentang kejadian atau takdir yang
kita kira tidak memihak pada kita. Mungkin tentang asumsi-asumsi yang kita buat
sendiri terhadap orang lain, lalu secara bawah sadar menghadirkan rasa sakit.
Siapa yang
paling sering membuatmu merasa sakit?
Ah sungguhlah
kita harus berhati-hati dengan ini. Karena justru kita “merasa” orang yang
paling kita cintai, paling kita kasihilah yang “kita kira” menyebabkan rasa
sakit itu. Karena pengharapan kita yang tidak selaras dengan nyata.
Memang pernah
saya baca tentang wacana life without
expectation, karena dengan menghilangkan harapan (atau tidak berharap
tenang apapun) akan menghindari kekecewaan saat harapan kita tidak sesuai
dengan kenyataan. Menghindari kekecewaan atau sama halnya dengan menghindari
rasa sakit.
Tapi
personally, saya sudah terbiasa dengan harapan. Hidup, usaha, harapan, doa
sepertinya sudah seperti irama nafas. Bagaimana hidup berjalan tanpa harapan?
Jadi alih-alih menganut paham life without expectation, saya lebih
memilih untuk menerima rasa sakit bila itu datang. Sekali lagi, ini adalah soal
pilihan, dan saya memilih cara demikian.
Ada rasa sakit
yang memang “penting” terjadi, ada kalanya ada rasa-rasa sakit yang “tidak
perlu”. Apa bedanya?
Kalau kita
merasa gampang sekali tersinggung dengan perkataan ataupun perbuatan orang
lain? Mungkin kita masih gampang diserang rasa sakit-sakit yang tidak perlu. Don’t take anything personally. Tidak
ada yang pernah bisa menyakitimu tanpa seijinmu. Sebuah kalimat sederhana yang
bagi saya dalam maknanya. Orang boleh berkata atau bertindak apapun, tapi kalau
engkau bersikap Don’t take it personally, maka apapun aksi orang lain tidak akan
mempengaruhimu. Namun manusia biasanya terpengaruh terhadap apapun ucapan atau
tindakan orang-orang yang kita kasihi, kita cintai. Itulah mengapa orang yang
paling berpotensi menyakiti kita adalah orang-orang yang dekat dengan kita.
Namun paling tidak, dengan memilih sikap Don’t take anything personally
terhadap paparan-paparan orang-orang lain akan mengurangi banyak rasa sakit
yang tidak perlu.
Dalam
menghadapi rasa sakit tersebut, manusia secara alami cenderung untuk menolak
rasa sakit, dan menerima rasa sukacita. Ada satu hal yang saya pelajari dari
respon manusia menghadapi rasa sakit yakni penolakan terhadap rasa sakit
itu.”Denial system” dari diri yang bekerja untuk menolak rasa sakit, atau
bahkan berpura-pura bahwa rasa sakit itu tidak ada dengan cara berlari atau
menghindar dari rasa sakit tersebut. Saya melihat banyak manusia yang melakukan
sistem ini, termasuk saya pun pernah melakukan ini kala diserang rasa sakit.
Lalu bagaimana
menghadapi rasa sakit yang memang mengada? Kita sebagai manusia pastilah pernah
merasakan sejenis rasa sakit itu. Seperti juga sahabat saya tadi.
Entah
kebetulan atau tidak, saya tengah menghadapi rasa sakit juga. Tapi bedanya
dengan sahabat saya tadi, saya merasai sakit fisik yakni kaki kanan saya sakit
untuk berjalan. Sudah sekitar seminggu, telapak kaki saya terasa sakit bila
menapak tegap lurus dengan tanah. Saya sendiri tidak tahu asal muasal kenapa
bisa sakit seperti itu. Beberapa hari ini, karena hampir setiap hari saya harus
jalan kaki kemana-mana, maka saya “menghindari” rasa sakit itu dengan
memposisikan telapak kaki saya tidak benar-benar semua menapak tanah, tapi
menumpu pada bagian yang bila saya memposisikan seperti itu tidak terasa sakit.
Begitu terus dan terus, saya menghindari rasa sakit saat berjalan, karena di
sini fungsi kaki benar-benar terasa
untuk pergi kemana-mana. Tapi ternyata hal itu hanya membuat saya tidak
merasa sakit saat berjalan, tapi saat saya kembali memposisikan kaki dengan
posisi normal, rasa sakit itu tetap ada. Tidak berkurang sedikitpun.
Saya
menjalankan denial system untuk menghindari rasa sakit saya itu. Dan ternyata
rasa sakit itu tetap ada. Hari ini saya berkata pada kaki saya, “mari kita
hadapi rasa sakit ini”, kemudian berjalan dengan posisi normal. Memang masih
sakit, tapi saya tetap dengan posisi itu, menerima rasa sakit. Walaupun tentu
saja kecepatan jalan saya tak secepat biasanya, tapi saya belajar menerima rasa
sakit tersebut. Apa yang terjadi ternyata mengejutkan, rasa sakit itu
berangsur-angsur mereda walaupun masih ada. Mungkin kaki semakin terbiasa, atau
entahlah apa yang terjadi tapi saat saya memutuskan untuk menerima dan
menghadapi rasa sakit itu, sakit itu justru mereda.
Mungkin hal ini sama hal dengan rasa sakit psikis yang
mungkin kita hadapi. Menerima rasa sakit dan menghadapinya, walau mungkin
dengan perlahan-lahan. Mungkin akan meredakan rasa sakit, daripada
menghindarinya namun tak disadari sakit itu berkerak dan terus berkerak. Sakit
itu berkarat, terekam dalam memori yang mudah sekali menganga lagi bila ada
kejadian yang memicunya kembali. Belajar menerima rasa sakit, menghadapinya atau
mungkin juga kadang membutuhkan pemaafan. Maaf pada orang lain, keadaan dan
pastinya maaf terhadap diri sendiri.
Rasa sakit akan hadir kapanpun, belajar merespon rasa
sakit akan lebih menentramkan rasanya. Walaupun terkadang apapun pelajaran yang
kita rasakan sebelumnya, saat paparan yang lebih besar dan berat datang, kita
rasanya lupa seluruh pelajaran sebelumnya. Tapi saya yakin, pelajaran-pelajaran
itu akan membuat kita lebih cepat meredakan rasa sakit atau rasa-rasa yang
tidak mengenakkan lainnya. Semoga.
Mari terus belajar, bersama.
“Aku tak peduli atas keadaan susah atau senangku karena
aku tak tahu manakah di antara keduanya yang lebih baik untukku (Ummar bin
Khatab)
Kapan sampai pada rasa yang telah berhasil dirasai oleh
khalifah Umar bin Khatab ini? Tidak akan sampai bila kita tidak terus berjalan
ke arahnya.
Salam,
Glasgow, 21 Feb 2014.
0 Comments: