Sambil istirahat siang di lab, saya asik melirik-lirik
timeline jejaring social Facebook dan twitter saya. Terkadang hanya untuk melihat-lihat
saja celotehan teman-teman. Dan hup, saya menemukan postingan tulisan teman
saya si Eel, di sini :
Kemudian saya terpikir bahwa memang konstruksi pemikiran,
termasuk nilai tentang kebahagiaan juga tergantung dari latar belakang
seseorang, bagaimana kondisi sosial ekonomi dan cara ia ditumbuhkan.
Di sinilah tersadari kembali betapa uniknya manusia. Dan
betapa semakin terasa tak perlunya menghakimi seseorang. Hey, we don’t know the whole story.
Seseorang berjalan dengan awalnya sendiri-sendiri, bergerak
dengan lajunya sendiri, dengan jalannya masing-masing. Mungkin kita akan saling
lihat, namun menghakimi seseorang sepertinya terlalu jauh bukan?
Setiap tahapan hidup manusia, ia punya konsep, nilai/value
hidup yang ia yakini. Konsep dan nilai tersebut pun terus bergerak seiring
dengan pengalaman, pertumbuhan diri seseorang. Seperti teman saya tadi, yang
dulu menganggap ukuran kebahagiaan adalah punya uang banyak, kemudian kini
bukan lagi.
Lalu karena tulisan teman saya itulah, saya tergerak untuk
menelusur catatan-catatan kebahagiaan saya.
Konsep bahagia adalah dengan uang banyak, hampir tidak pernah
saya alami. Mungkin karena saya ditumbuhkan dari keluarga yang biasa saja. Ayah
saya dulu awalnya guru SD, kemudian pernah jadi Kepala Desa, kemudian jadi
penilik Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Ibu saya, seorang ibu rumah tangga yang
bekerja di rumah dengan punya usaha konveksi kecil-kecilan. Selama ini saya
dibesarkan dengan keuangan yang serba pas-pasan. Untuk kebutuhan sekolah, jajan
dan lain sebagainya. Jadi ukuran uang sebagai sumber kebahagiaan hampir tidak
pernah mampir dalam benak saya. Dengan segala yang pas-pasan itu, saya bahagia.
Saya mungkin memikirkan bahagia itu apa dan rasanya itu
bagaimana, mungkin saat MU mendapat treble winner tahun 1999.
Ehehe kalian mungkin akan mengkerutkan dahi. Tuh kan, apa
yang membuat orang bahagia kadang-kadang tidak kita mengerti. Bahkan ketika saat
ini diri saya menengok lagi ke belakang, sekarang saya sudah tidak bisa
merasakan hal itu lagi, bahagia saya sudah lain lagi. Padahal saat itu saya
hanya tahu bahwa saat itu saya merasa menjadi perempuan paling bahagia seluruh
dunia. Ahahah, saat menuliskannya saat ini, saya geli sendiri.
Ukuran kebahagiaan yang super sederhana. Dan sepertinya
nilai-nilai kebahagiaan saya pun bergerak sederhana.
Ketika kuliah S1, bahagia saya terukur dari nilai-nilai mata
kuliah saya baik, kumpul bersama teman-teman, pulang tiap minggu berkumpul
dengan keluarga lalu berangkat lagi hari senin dengan uang saku Rp. 50.000
untuk hidup selama satu minggu.
Kemudian selanjutnya bahagia saya masih sederhana, menulis,
membaca buku-buku favorit saya, belajar Bahasa Italia, melanjutkan kuliah
master, kumpul-kumpul dengan sahabat saya.
Jangan tanya tentang cinta pada lawan jenis dan ukuran
kebahagiaan saat saya muda dulu (weks sekarang apa?) karena cinta saya
paling-paling sebatas cinta lucu-lucuan.
Saya tidak pernah benar-benar memperhatikan konsep-konsep
atau nilai kebahagiaan saya, sampai ketika saya berhasil menginjakkan kaki di
Italia. Bahagia saat impian saya terwujud. Bahagia saat impian tertaklukan,
ketika perjuangan panjang saya berbuah manis. Mungkin saat itulah, saya
mengalami kadar kebahagiaan yang berbeda dan lebih memperhatikan tentang
kebahagiaan.
Semua orang katanya ingin bahagia. Sekarang ini banyak sekali
bertebaran di mana-mana, di status facebook, twitter, path dan dimanapun
sepertinya setiap orang berupaya meyakinkan pada dunia bahwa dirinya bahagia.
Tidak salah pastinya.
Seorang sahabat saya yang lama belum dikarunia keturunan,
tiba-tiba hamil kemudian melahirkan seorang putri cantik, tentu saja dia
bahagia.
Seorang sahabat yang baru saja menemukan pasangan dan
menikah, ia bahagia
Ada yang diterima di pekerjaan baru, ada yang diterima
beasiswa, ada yang berhasil bikin masakan yang katanya enak trus bahagia (itu
saya ahahaha).
Setelah saya menelusur semua cerita-cerita tentang bahagia,
ada satu hal yang saya kini yakini. Kita hanya bisa tahu rasanya bahagia dan
apa yang membuat kita bahagia berdasarkan pengalaman rasa kita sendiri. Bahagia
itu ternyata nggak bisa nyontek lho
ahahah.
Saya pernah mendengar wawancara seseorang, dan ia menjawab :
“ Ya
bahagialah, nggak usah saya ceritakan. Kamu nggak akan tahu rasanya kayak apa”
Hihihi terkesan arogan, tapi ya benar juga.
Orang-orang bilang bla bla itu sangat membahagiakan. Tapi
bagi orang lain atau saya mungkin biasa saja. Demikian pula sebaliknya, apa
yang biasa-biasa bagi seseorang, mungkin bagi orang lain terasa luar biasa.
Di sinilah saya sampai dalam pemahaman bahwa saya memiliki
rasa kebahagiaan unik tersendiri, dan juga orang-orang lainnya masing-masing.
Tidak sama, dan mungkin tidak bisa dipahami satu lainnya karena tataran rasa
sungguh terkadang sulit dibedakan antara
sederhana atau rumitnya.
Sekarang ini bahagia saya lebih pada melahirkan tulisan,
jalan-jalan, memasak, bersama pasangan saya,
ngobrol dengan sahabat dan keluarga.
Rasa pun mengalami perubahan, ia bertumbuh seiring
pertumbuhan pribadi. Bersama pengalaman yang mengiringi.
Ini bahagiaku, itu bahagiamu, bahagia kalian. Lihatlah bahwa
kita bahagia dengan rasa kita masing-masing.
Bersama pasangan saya? Ayo segera dipublish pangerannya kalau sudah ketemu :p
BalasHapusehehe dipublish kayak buku aja heheh
BalasHapus*ayo jeng nulis lagi, aku kangen baca tulisanmuuuu
ehehe kayak buku aja dipublish :D
BalasHapus*ayo jeng nulis lagi, aku kangen baca tulisanmuu
"Dan betapa semakin terasa tak perlunya menghakimi seseorang. Hey, we don’t know the whole story. "
BalasHapussaya sependapat dengan kalimat di atas. bahkan mengamini seluruh definisi bahagia yang dipaparkan.
Hai kak, salam kenal :')
Dear Yusi Nurliyanti : ehehe terimakasih telah mampir baca. salam kenal juga yaah :)
BalasHapusGak sempat :( ... kangen juga makanya mampir disini...
BalasHapus