Saya, seperti banyak
anak perempuan lainnya adalan pecinta bapak. Anak perempuan mempunyai
proyeksinya sendiri memandang lelaki pertama yang dikenal dalam hidupnya. Ayah,
Bapak, Abi, Abah atau apapun itu sebutannya. Lelaki itu adalah lelaki pertama
yang dikenal anak perempuan dalam hidupnya.
Saya adalah anak bapak.
Bukan meniadakan kasih sayang, dan cinta saya pada ibu saya tentu saja. Tapi
ada semacam talian rasa yang tak perlu banyak kata untuk mengetahuinya. Saya
seperti reinkarnasi bapak saya dalam tubuh perempuan, menyalin lengkap hampir
semua minat beliau. Kecuali dalam beberapa hal, saya sejak kecil pemalu, kurang
pandai bersosialisasi sedangkan bapak saya terlahir sebagai seorang pemimpin.
Sejak muda hingga pensiun, beliau adalam pemimpin yang biasa didengarkan apa
katanya, mengatur banyak orang dan dikenal banyak orang. Bahkan kini saat
pensiun, perkataan beliau masih didengarkan banyak orang atau banyak yang
mencari beliau untuk dijadikan “semar”, sang penasihat.
Inilah yang berbeda
dengan saya, saya tidak berbakat untuk mengatur banyak orang. Saya lebih luwes
menjadi seorang pelaksana yang handal dibandingkan seorang pemimpin yang mampu
mengambil keputusan tepat dan mempunyai aura untuk merangkul orang yang
dipimpinnya. Saya tidak memiliki aura seperti itu, mungkin itu beda saya dengan
bapak saya.
Dan karena tidak
memiliki hal itulah, dalam perjalanan hidup saya, saya cenderung untuk
mengagumi lelaki yang mempunyai kualitas-kualitas yang tidak saya miliki itu.
Iya, saya adalah anak
bapak, yang ketika kecil selalu enggan melepaskan tangan-tangan kecil saya yang
bergelayutan di kaki bapak kemanapun beliau pergi. Simbolisme penganyom
selalu didapatkan anak perempuan dari ayah mereka. Itulah mengapa figur ayah
selalu mendominasi proyeksi rasa seorang perempuan. Energi feminim pada diri perempuan
menemukan pelengkap pada sosok bapak, dengan energi maskulinnya.
Lalu perempuan tumbuh
dewasa, kemudian ia akan mengenal laki-laki selain bapak yang biasa ia kenal
sejak lahir. Mungkin ia akan menemukan sinkronitas pada sosok-sosok sahabat
lelakinya, pacar, ataupun suami.
Pernahkah
terpikirkan, atau cobalah lihatlah baik-baik pasangan kalian kini, hei
perempuan?. Tidakkah kau lihat sosok bapak, ayah, abi atau abahmu di situ?
Kalian akan tersenyum
mengangguk atau menggeleng? Ah itu tentu saja terserah.
Hanya saja, saya
merasa bahwa hidup ini berjalan dengan sinkronitas, dengan kebetulan-kebetulan
yang terencana. Ada gerakan dan pikiran bawah sadar yang menarik seseorang,
sesuatu. Lalu ada momen seperti “menemukan kembali”, walau mungkin pada sosok
yang lain.
Seperti menemukan
sosok bapak saya pada orang tercinta saya. Seperti energi feminim saya
menemukan energi maskulin yang seperti yang saya rasakan saat saya lahir dan
ditumbuhkan.
Hidup, banyak
menyimpan rahasia-rahasia, seperti peta yang tak dikenali manusia.
Kita berjalan, kita memutuskan atau memilih sesuatu. Mungkin ada kait masa
lalu, karena hidup adalah jalinan peristiwa-peristiwa yang mungkin padu.
Dan saya tentu tahu,
siapa Maha pencipta skenario paling hebat itu.
Salam.
Glasgow, 13 May 2014
iya, kadang ada karakter yang mirip sama bapak di diri orang yang kita cintai, mungkin itu ketertarikan awal yang jadi sebuah kunci untuk memulai komunikasi ya, mba :D
BalasHapusWah, rasanya udah lama sekali gak baca2 tulisan mbak Siwi :D
BalasHapusBtw, membaca tulisan mb Siwi ini, mengingatkan akan diri saya. Bukan cerita tentang bapak, tapi tentang kecenderungan diri yang lebih cocok menjadi pelaksana ketimbang menjadi pemimpin. Saya juga kurang berbakat mengatur banyak orang :D
TFS mbak
@Ila Rizky Nidiana : hehehe mungkin seperti itu :D
BalasHapusmba @Fardelyn Hacky : yang penting kita tahu potensi masing-masing dan memaksimalkannya. Makasih udah mampir-mampir baca mbak :)