Glasgow Central Mosque |
Hidup jauh dari tanah air terkadang membuncahkan kerinduan
akan rumah. Namun jarak kadang kala tak bisa terelak, bahwa antara Glasgow dan
Indonesia terbentang 7569 mil jauhnya.
Untung saja
rasa rindu
rumah sedikit teredakan dengan adanya rumah-rumah jiwa yang saya temukan di
tanah tempat menjejakkan kaki sekarang ini. Sebagai seorang muslim, saat hendak
tinggal di negara lain dimana islam bukan merupakan agama mayoritas tentu ada sebuah kerisauan
tersendiri. Apakah ada tempat peribadatan? Bagaimana perlakuan penduduk setempat
terhadap orang asing ? Apakah
ada diskriminasi yang mungkin terjadi. Tapi saya bersyukur, Glasgow merupakan
rumah yang ramah bagi para pendatang
termasuk pendatang muslim. Salah satunya dengan adanya rumah fisik sebagai
rumah peribadatan komunitas muslim di Glasgow yakni Glasgow Central Mosque.
Keberadaan masjid utama di Glasgow tersebut pastilah
istimewa bagi kami komunitas muslim di Glasgow. Jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia, masjid ada
dimana-mana. Namun di sini, masjid adalah bangunan istimewa yang setidaknya
sanggup membuktikan keberadaan komunitas muslim di Glasgow. Sejarah perkembangan
muslim di Inggris Raya termasuk juga di Glasgow, hampir serupa dengan sejarah islam di
Perancis, yakni melalui proses imigrasi. Proses ini berlangsung pada akhir abad
ke-18 dan awal abad 19. Umat muslim di
Glasgow awalnya datang dari India dan Pakistan yang tinggal di daerah Gorbals.
Daerah ini merupakan sentra ekonomi yang menarik datangnya para imigran dari Irlandia, India, Pakistan,
Yahudi dan juga Italia. Komunitas muslim tersebut kemudian berupaya membangun
rumah peribadatan, dimulai dari Oxford street, Carlton Place dan kemudian
akhirnya terbangunlah Glasgow Central Mosque
dengan luas empat hektar yang
terletak di 1 Mosque Avenue, Glasgow ini. Karena sejarah inilah, Glasgow Central Mosque merupakan
bukti peradaban islam di Skotlandia.
Interior dalam Glasgow Central Mosque |
Masjid utama
Glasgow ini merupakan masjid terbesar di Skotlandia selain Edinburgh Central
Mosque di Edinburgh. Masjid ini dibangun dengan menelan biaya sebesar 3 juta
poundsterling dan kemudian dibuka
untuk umum pada 18 Mei tahun 1984. Masjid tersebut digunakan untuk salat
sehari-hari. Tempat ibadah ini
dapat mengakomodasi
sekitar 2.500 jamaah, termasuk alokasi 500 jamaah untuk perempuan yang terletak
di lantai dua.
Selain untuk sholat, Glasgow Central
Mosque juga
menyediakan layanan konsultasi, acara pernikahan dan upacara pemakaman. Terdapat juga tempat yang disewakan
untuk resepsi pernikahan, pengumpulan dana
amal, konferensi serta pameran. Selain itu, komunitas masjid juga mengadakan kegiatan-kegiatan sosial
seperti donor darah, sumbangan untuk orang miskin, bantuan penanganan
orang-orang lanjut usia serta juga menyelenggarakan seminar ataupun diskusi
keagamaan.
Selain Glasgow Central
Mosque,
di kota juga
terdapat beberapa masjid lainnya dan juga tempat peribadatan. Ada pula tempat
salat untuk umum yang dari luar sama sekali tak terlihat seperti tempat
peribadatan umat islam. Misalnya saja Dakwatul Islam yang dekat dengan tempat
tinggal saya. Bila
orang melintas di Oakfield Avenue
jarang yang mengira kalau di sana terdapat tempat peribadatan umat muslim.
Meskipun begitu, rasa syukur tak terhenti karena pemerintah tidak membatasi aktivitas
ibadah kami. Pemerintah Skotlandia menerapkan The UK
Government's Equality Act yang disetujui pada bulan April 2010. Peraturan
tersebut berisi kesetaraan tanpa adanya diskriminasi karena ras, umur,
orientasi seksual, serta agama dan kepercayaan. Dan ditambah lagi, ternyata semua masjid di Britania Raya ini memperoleh bantuan
operasional dari pemerintah. Hal tersebut tentunya menjadi bukti adanya dukungan pemerintah terhadap keberlangsungan
warganya untuk memperoleh haknya dalam beribadah.
Saya dan rekan-rekan Glasgow seusai salat Idul Adha |
Saya dan rekan-rekan muslim di Glasgow
biasanya menunaikan salat Idul Fitri dan Idul Adha di Glasgow Central Mosque
ini. Ada pengalaman baru saat menjumpai banyaknya
umat muslim di Glasgow yang berasal dari berbagai negara dan etnis. Pun juga melihat perbedaan-perbedaan yang saya jumpai,
misalnya ternyata hanya saya dan rekan-rekan Indonesia, Malaysia saja yang sholat mengenakan mukena, karena
kebanyakan jamaah perempuan lainnya hanya memakai pakaian biasa saja. Ada yang
memang pakaiannya menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan saat
sholat, namun banyak pula yang hanya mengenakan lengan pendek lalu berkerudung
disampirkan. Ada banyak ragam perbedaan batasan aurat saat sholat yang saya
jumpai. Selain itu, ada sedikit tata cara sholat yang berbeda saat menunaikan
sholat Ied. Ah, kadangkala perbedaan hadir untuk menguji seberapa dalam
toleransi dan upaya saling mengerti, bukan untuk saling mencaci dan membenci.
* Siwi Mars Wijayanti, Penulis merupakan PhD Student di
University of Glasgow. Anggota tim redaksi PPI Glasgow.
Artikel ini
dipublish di portal Detik Ramadan di link berikut
Subhanallah. Nambah wawasan nih huehe. Wuaaa jadi pengen jalan-jalan ke sana :(
BalasHapusehehe ayok mari mari ke sini. Thanks sudah mampir-mampir baca :)
BalasHapusWuaaah.. masjidnya kereeen.. Mba Siwi salat tarawih di masjid ini jugakah? :D
BalasHapusMasjid central mosque ini letaknya jauh dari flat, harus naik bis..padahal mulai tarawihnya malam sekali . Jadi untuk tarawih, saya di mushola dekat flat, mulai jam 11.15 sampai jam 1 malam. Happy Ramadan ya :))
BalasHapusSuka sekali dengan kalimat penutup ini. "Ah, kadangkala perbedaan hadir untuk menguji seberapa dalam toleransi dan upaya saling mengerti, bukan untuk saling mencaci dan membenci." Kalimat ini harus semakin dipahami masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Nice post mbak. Selamat berpuasa juga. Di Glasgow berapa jam ini puasanya? Salam kenal :)
BalasHapus@yusmei : ehehe soalnya kadang gemes liat apa-apa dipeributkan sih. Jadinya mencoba menyebarkan semangat toleransi dan saling mengerti. Tengkiu yah sudah mampir-mampir, sudah kunjung balik..blogmu keceeeh.
BalasHapusSalam kenal juga yaa..di sini puasanya sekitar 19.30 jam hihi lumayan :)