Ramadan ketiga. Iyah,
ketiga kalinya Ramadan akan saya lewatkan di Glasgow. Tapi kini saya tidak lagi
merasa jauh, walaupun tentu saja kadang merindu rumah. Apalagi masa-masa
Ramadan bila di Indonesia pastilah identik dengan suasana kumpul bersama dengan
keluarga. Pulang ke rumah di awal Ramadan, dan berpuasa bersama keluarga.
Rasanya sudah lama saya tidak merasakan nuansa seperti itu. Apalagi Ramadan
kali ini, saya bisa membayangkan
perasaan orang tua saya, terlebih ibu saya yang pastilah merasa kurang lengkap
dalam Ramadan kali ini. Hanya beberapa hari menjelang bula Ramadan kemarin,
adik saya berangkat ke Ciawi untuk pra-jabatan dan kemungkinan akan segera
ditempatkan di Ternate sebelum lebaran. Jadi, kemungkinan besar hanya adik
bungsu saya yang akan menemani bapak ibu saat lebaran nanti. Oh andai,
kehadiran saya bisa digantikan oleh hal lain yang bisa saya lakukan dari sini
selain menelpon ataupun skype pasti akan saya lakukan.
Selain mengingatkan akan
rumah, bagi saya Ramadan adalah kenang,
Kenang seperti halnya langkah-langkah
kecil saya menuju Mushola dengan senter di tangan. Tak ada penerangan.
“Hati-hati bila melintas di pohon asem itu. Ada banyak
hantunya,” kalimat itu selalu saja terlintas tiap kali saya kala kecil dulu melewati
jalan itu ketika pulang tarawih atau jamaah subuh. Dengan jantung bergedup dan
langkah cepat-cepat. Saya ingin sekali hendak cepat-cepat menghindari area
sekitar pohon asem itu. Padahal itulah jalan yang tiap hari yang harus saya
lewati bila hendak ke Mushola.
Saya juga masih ingat,
saya saat kecil tak punya banyak kerudung. Jadi dengan berkerudung kuning segi
panjang yang disampirkan di kepala saya pergi ke mushola. Tiba-tiba saya
bertanya, dimana kerudung kuning berbordir itu? Hilang ditelan masa, namun
kenangnya tetap mengada.
Kadang pula, Ramadan
adalah kenang sebuah pelepah daun pisang yang menghindarkan tubuh kecil saya
dari hujan sepulang tarawih. Oh kadang kala kini saya berpikir, jaman apa saya
dulu dilahirkan?
Ramadan dengan laporan
sholat tarawih, sholat fardhu di sebuah buku yang wajid diisi dan
ditandatangani pak kyai.
Kenang Ramadan, yang
dengan suka cita sibuk di dapur menjelang buka puasa. Lalu menyeduh minuman
hangat untuk berbuka bersama keluarga. Empat gelas teh panas, dan satu gelas
kopi untuk bapak. Hampir pasti begitu, jarang berubah, walaupun ada minuman
tambahan seperti kelapa muda ataupun sirup.
Ramadan adalah tentang
kenang. Betapa manusia diingatkan akan pulang. Baik pulang ke rumah, ataupun
“pulang” dalam arti kematian.
Kini, saya hanya bisa
mendengarkan suara bapak ibu saya lewat telepon, atau kadang menyapa dengan
melihat wajahnya lewat skype. Orang tua saya mungkin belajar bagaimana
merelakan anak-anaknya telah melesat dengan anak panahnya masing-masing, dengan
definisi kebahagiaannya masing-masing.
Saya pula belajar menerima
dan bersyukur, bahwa Tuhan selalu memberikan saya rasa rumah di mana-mana.
Ramadan mungkin saja
membuat saya mengeja kenang masa lalu. Tapi Ramadan juga sanggup membuat saya
mencipta peristiwa-peristiwa kekinian untuk mencipta kenang yang akan saya eja
di masa depan.
Dan kini, saya mencipta
kenang-kenang berikutnya. Di tanah-tanah asing yang tak lagi terasa asing.
Di tanah yang saya sebut
RUMAH.
Glasgow, hari
pertama di Bulan Juli
terimakasih liebster-award nya :)
BalasHapus