“Jangan-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan
pada nasib dan masa depan, melainkan pada momen-momen kini dalam hidup—yang
sebentar, tapi menggugah, mungkin indah. (Catatan Pinggir, GM)
Tempo hari saya
menghadiri salah satu acara Discover Indonesia yang diselenggarakan di Glasgow,
In conversation with Goenawan Mohamad. Saya mengenal nama itu, tapi saya belum
begitu sering membacai tulisan-tulisannya. Beberapa bait prosa yang
dibawakannya pada saat acara tersebut membuat saya penasaran, ramuan
kata-katanya tak biasa.
Secara sosoknya GM
juga seorang yang lugas dan cerdas. Bahasa inggrisnya juga sangat bagus, mampu
membuat acara semacam talk show itu menjadi enak dinikmati,
Tapi bukan itu yang
ingin saya cermati, saya tertarik bagaimana beliau memandang “harapan” yang
tidak biasa seperti orang kebanyakan.
Atau mungkin
kebanyakan orang demikian, tapi tak terlontarkan dalam kata-kata seperti yang
saya kutipkan di awal tulisan ini. Saya membacai beberapa tulisan beliau
melalui websitenya, dan semakin sering saya menjumpai bagaimana beliau memahami
harapan dalam konteks realitas.
Harapan, yang saya
kenal seringkali dianut oleh dua kutub. Kutub optimisme dan kutub pesimisme.
Bagi si kutub optimisme, harapan adalah energi penggerak laju hidupnya. Bagi si
pesimisme, mereka sering kali berkata, jangan berharap agar tidak merasakan
kekecewaan.
Saya dulu adalah si
penganut si optimisme. Jalur jalur hidup saya kebanyakan ditempuh oleh
semangat-semangat harapan. Saya terbiasa mengandalkan harapan untuk mewujudkan
banyak impian-impian saya. Impian-impian yang seringkali tak berani
diperjuangkan orang-orang yang tak berani berharap.
Saya kadang-kadang
tak tahu bagaimana mewujudkan apa yang ingin saya raih, tapi yang saya tahu
saya punya harapan dan keyakinan. Terkadang hanya itu.
Tapi manusia bersikap
seringkali sesuai dengan pengalaman hidupnya, bagaimana lingkungan ia
ditumbuhkan dan orang-orang di sekelilingnya.
Dulu saat mendengar
tentang gagasan “makanya jangan berharap agar tidak merasakan kekecewaan” saya
sungguh tidak bisa mencerna gagasan tersebut.
Saya maklum dan
mengerti maksudnya, tapi saya sungguh jauh dari tipikal penganut kutub
tersebut.
Agar tidak merasakan
kekecewaan? Ah, jadi kau takut kecewa? Ah, jadi kalian tidak berani sakit dan
menghadapi saat saat sulit?
Tapi kemudian
kehidupan membawakan saya pengalaman-pengalaman tak biasa dimana saya harus
menghadapi tumbangnya harapan-harapan yang tak terbayangkan. Bukan berarti perjalanan saya ke belakang berlalu tanpa pengalaman harapan yang tumbang dan kekecewaan. Banyak sekali, tak terhitung jumlahnya, tapi kala itu selalu saja harapan itu tak pernah lepas. Tapi ada waktu ketika harapan besar yang saya ikatkan selama masa waktu yang panjang, serasa kandas dengan cara yang tak terbayangkan. Tidak ada yang lebih merubuhkan saya si
penganut harapan ini daripada kehilangan harapan.
Dalam perkabungan
perkabungan itu saya merasai bagaimana rasanya tidak mempunyai harapan. Tidak
bisa.
Saya masih ingat saat
saat sulit itu.
Saya juga masih ingat
sebuah kalimat yang saya dengar kala itu,
“Apa yang bisa aku
lakukan untuk membuatmu hidup lagi?,” begitu tanyamu waktu itu. Di samping sayu dan
matinya harap di mataku.
“ Beri aku harapan”
kalimat itulah yang saya lontarkan kala itu, di antara bisu yang lebih sering
terjadi.
Mulai saat itu saya
belajar, bagaimana berharap di tengah optimisme dan pesimisme sekaligus. Karena
saya tahu, harapan itulah yang tetap membuat langkah langkah saya hidup.
Kita tak meng-harap.
Kita ber-harap. Kita tahu bahwa dalam hidup, gelap tak pernah lengkap, terang
tak pernah sepenuhnya membuat siang. Di dalam celah itulah agaknya harapan:
sederhana, sementara, tapi akan selalu menyertai kita jika kita tak
melepaskannya.” (Catatan Pinggir, GM)
Jika kita tak melepaskannya,
ah ya. Saya tetaplah si optismisme itu, yang kini bisa belajar melihat dari
sisi pesimisme.
Saya tetap membuat
rencana-rencana, walau tahu rencana-rencana itu mungkin saja mentah ataupun
bisa saja diijabah. Saya tetap menaruh harap, walaupun tahu masa depan bisa
membawakan saya pada keputusan-keputusan Tuhan yang tak bisa kita kendalikan.
Kini, tiap hari kau
semakin melihat..mata saya semakin dihidupkan harapan. Harapan yang pelan-pelan
menghidupkan lagi semangat dan hidup saya.
“sebagaimana Lu Xun, penulis Cina, menyatakan,
“Harapan adalah seperti jalan di daerah pedalaman, pada awalnya tidak ada jalan
setapak semacam itu, namun sesudah banyak orang berjalan di atasnya, jalan itu
tercipta.” (catatan Pinggir, GM)
Pertemuan saya dengan
Goenawan Mohamad, mengingatkan saya lagi tentang harapan. Beliau menghadirkan
sisi harapan dalam konteks yang begitu manusiawi. Bukan hanya dalam bunga bunga
optimisme, tapi juga harapan dalam perkabungan-perkabungan dan kekecewaan. Saya menamainya, kepasrahan.
Terimakasih
Glasgow, 14 Sept 2015.
Ketika gerimis dan sinar matahari datang sekaligus, begitulah..seperti pelajaran tentang manajemen harapan, dalam optimisme dan
kesiapan pesimisme sekaligus.
*Nyimak,hehe
BalasHapus