Hari ini saya membaca kembali “Feel Fear and Do it Anyway”-nya
Susan Jeffers, dan menemukan bab yang cocok dengan apa sedang saya alami. Ketika
membaca bab “When They don’t want you to grow”, rasanya pas banget dengan apa
yang tengah saya hadapi. Awal-awal kepulangan saya dari Glasgow, saya agak
merasa aneh, ketika menemukan saya yang berasa nggak “pas” di lingkungan saya
yang lama. Ada sesuatu yang tidak sefrekuensi. Iya, saya banyak berubah. Dan
mungkin orang-orang sekeliling saya tidak siap menerima perubahan saya atau
secara bawah sadar mereka bersikap “don’t want me to grow”.
Kenapa
yah, kok saya tidak sefrekuensi lagi dengan sahabat-sahabat lama saya yang
sudah bertahun-tahun bersahabat.
Itu yang pernah saya rasakan. Tadinya muncul rasa
bersalah, ketika saya tidak seantusiasme dulu untuk bertemu, atau saya menjadi
sangat pemilih untuk berbagi cerita, atau saya merasa percakapan hanya sekedar
basa basi menyambung silaturahmi. Selain ada rasa bersalah, ada pula muncul
rasa sedih.
Persahabatan seperti juga jenis hubungan yang lainnya,
membutuhkan upaya dua pihak untuk terus berjalan dan bertahan. Tapi lama
kelamaan kenapa saya mengontak mereka ataupun membalas kontak mereka hanya
karena ingin tetap menjalin silaturahmi.
Disitulah, saya merasa bersalah. Tapi saya juga tidak
bisa membohongi perasaan saya bahwa saya membutuhkan persahabatan yang..ah,
saya sampai tak sampai hati untuk mengatakan “yang lebih dari sekedar itu”.
Saya
membutuhkan percakapan yang sehat, yang suportif, positif dan sefrekuensi.
Dan kini saya memang menemukan sahabat-sahabat baru, yang
saya jumpai dalam perlintasan-perlintasan hidup saya. Dan saya merasa nyaman
bicara dengan sahabat baru saya, merasa sefrekuensi dan menemukan partner
bicara yang pas.
Dan disitulah kadang-kadang saya merasa seperti “meninggalkan”
sahabat-sahabat lama saya. Di situlah
rasa bersalah itu kadang muncul.
“
The people in your life is good indicator of where you are operating on an
emotional level. Like attract like. As you begin to change, you will
automatically draw and be drawn to different kind of person” (Susan Jeffers)
Tapi memang begitulah ternyata, seiring pertumbuhan diri,
orang-orang yang bersama kita juga berbeda. Saya tetap berusaha untuk
bersilaturahmi dan kontak dengan sahabat-sahabat lama saya, tapi saya tidak
mengelak bahwa perubahan memang ada.
Semakin lama saya menyadari, kita nggak butuh punya banyak teman
kok. Pada akhirnya kita hanya butuh beberapa orang terdekat yang menjadi support
system kita, yang suportif pada pertumbuhan dan perkembangan kita.
Begitu pula di lingkungan-lingkungan yang lain, saya
banyak menarik diri ketika kebanyakan mereka adalah “Moan and Groan Society”.
Pernah nggak sih memperhatikan pembicaraan-pembicaaran di sekitarmu kebanyakan
isinya apa? ngeluh, nggosipin orang, dan pembicaraan beraura negatif lainnya.
Males kan. Stop feeding yourself negative
thought!
Aura negatif itu menular, semacam polusi pikiran. Yang
lebih berbahaya lagi, kalau lama-lama bisa ketularan untuk ikutan ngobrolin
hal-hal yang negatif. Itulah kenapa disebut Moan and Groan Society, karena
mereka menemukan“saling” yang pas. Dengan alasan itulah, saya menjadi selektif.
Bukan saya sok pilih-pilih atau apalah, tapi saya merasa nggak “pas” di antara mereka-mereka. Ujian saya yang masih sangat pemula soal belajar positive life ini menjadi sangat berat kalau sering-sering berada di lingkungan yang negatif hihi.
Saya tengah belajar untuk tetap mengusahakan positive thought-positive
life dan salah satu yang penting adalah
bagaimana menjaga agar lingkungan sekitar pun positif. Kadang-kadang hal ini
membutuhkan upaya yang ekstra, apalagi ketika ketika aura negatif itu berasal
dari orang-orang yang di sekitar kita.
Nggak mudah memang. Dikira sombong, adalah reaksi yang
sering kali didapat. Dan disitulah saya harus banyak lagi belajar bersikap,
bagaimana tetap mengupayakan lingkungan yang positif dan tetap mempunyai relasi
yang baik dengan berbagai komunitas.
Apa yang lebih penting adalah “awareness”-kesadaran bahwa
saya-kita sedang belajar. Kadang-kadang hidup dengan segala rutinitas,
kesibukan, crowdednya orang-orang di
sekitar kita membuat kita terlupa. Upaya untuk tetap positif adalah latihan
terus sepanjang hidup, kalau tidak dilatih lama-lama pendulum juga akan
bergeser ke arah yang negatif. Kehidupan yang berjalan bisa membuat kita lupa.
Karena itulah, membaca lagi buku-buku yang mengingatkan saya kembali tentang
pertumbuhan diri, tentang seperti apa sih hidup yang saya inginkan, sangat
membantu saya untuk menemukan “awareness” itu lagi.
Kita sering lupa bahwa kita mempunyai kemampuan untuk
memilih seperti apa hidup, orang-orang dekat kita, lingkungan seperti apa yang
menghiasi kehidupan kita.
Uhmm..lupa atau tak punya keberanian untuk memilih?
Saya tinggalkan pertanyaan
ini untuk anda.
Purwokerto, 13 Maret 2016.
Sehabis hujan.
Mngkin yg sejalan dg mainset mba siwi ny sama2 prnh bljr di LN, tdk berfikir negatif tp mayoritas yg prnh bljr dsnaa stlh plg jd g cocok dg atmosfir Indonesia, maka ny org2 pintar ny indo pindah jd WNA, sedih Baca tiap artikel ny akhir2 ini kok kesan ny keluh kesah tgl di negara sendiri, bukan ny share pengalaman dsna malah menutup diri mba, maaf sblm ny dan makasih
BalasHapushehe sepertinya maksud yang ingin saya tuliskan tidak tersampaikan dengan baik ya. Baiklah tak mengapa tentu saja hehe..antara keluh kesah dengan mencoba jujur dengan perasaan dan keadaan yang harus dihadapi menurut saya berbeda, mungkin itu yang tidak tersampaikan dengan baik dan harus belajar menulis lagi. Dalam tulisan saya, hanya mencoba jujur daripada harus bercerita tentang sesuatu yang meriah, baik baik saja tapi tidak seperti itu kenyataannya. Terimakasih telah membaca.
BalasHapusYa,nama ny jg penyampaian dg tulisan mba.. Beda sudut pandangan wajarkan ya :) tp terlepas dr itu semua apapun itu ttp baca artikel sampean trs mba.. Tak tau mengapa begitu inspiratif buat saya khusus ny.. Maap kl mngkn lum bs baca pesan yg disampaikan mba siwi.. Akhir kata.. Jgn berhenti nulis dan jgn lupa bahagia mba.. Hehe
BalasHapus