Glasgow dan Sepenggal Cerita Hidup




“ Kita cenderung mengingat hal-hal yang indah yang pernah terjadi dalam hidup kita. Mungkin itulah yang membuat kita kuat untuk menghadapi kehidupan selanjutnya”


Kalimat itu saya dengar di serial drama korea “Encounter” yang baru-baru ini saya lihat. Mungkin benar juga kalimat tersebut.
Kita cenderung mengingat hal-hal yang indah, dibandingkan ketika menghadapi masa masa sulit. Itulah kenapa, ingatan tentang Glasgow hampir selalu tentang kenang yang indah. Tiap kali melihat postingan beberapa akun IG yang saya follow tentang Glasgow, ada desir rindu itu. Rindu mengenang segala macam kehidupan yang pernah terjadi. Juga rindu untuk mengunjungi tempat itu lagi.

Padahal masa-masa itu, bisa dibilang merupakan saat saat yang banyak kesulitan. Saya sering dihadapkan pada kondisi yang serba tidak pasti. Terutama yang berurusan dengan studi saya hihi..
            “ Please send me asap (as soon as possible-red)”
            “ Could you finish it soon..
Kalau udah membaca email dari supervisor semacam ini. Deg! Saya harus siap sedia. Kuliah di luar negeri memang tekanannya berbeda. Karena lingkungan dan bahasa yang berbeda. Seringkali saya merasa “bego” banget, trus mau nanya-nanya rasanya gimanaa gitu. Stress-nya lumayan nampol pokoknya. Apalagi kalau berurusan dengan kerjaan lab hehe. Ketika harus presentasi untuk seminar internal atau eksternal, haduuuuh rasanya deg degan dan mulesnya berhari hari haha..
Beda banget sih sama kalau kerja di sini. Ibaratnya semua kerjaan di kampus sini masih dalam tataran “ I can handle it!” cuma butuh kerja lebih keras ataupun lebih lama kalau banyak yang harus dikerjain.
Tapi selama studi di Glasgow, rasanya seringkali harus menghadapi situasinya yang saya nggak tau bisa apa enggak. Mewek malem malem begitu baca email supervisor.. pernah, terus jalan ke lab sambil nangis.. pernah. Ataupun diam diam ke toilet lab karena pengen nangis nggak ketauan pun pernah.

Padahal supervisor saya sebenarnya baik. Baik banget malahan..cuma agak rewel hehe. Saya semakin merasa supervisor saya baik banget itu bahkan ketika saya sudah back for good ke Indonesia. Dia masih ngirimi external hardisk berpasword, nanyain kabar kalau ada berita bencana di Indonesia, bahkan nanyain gimana cara memberikan sumbangan untuk korban bencana. Pengalaman mendengar banyak cerita cerita “menyeramkan” dari beberapa temen yang juga studi PhD membuat saya bersyukur punya supervisor yang baik.

Tapi tetap aja ya, hubungan student-supervisor yang hampir 4 tahun tetep aja ada masa-masa kala dia sensi dan marah. Tapi lagi lagi kalau sekarang lebih terkenang banyakan yang baik-baiknya.
Saya masih ingat, betapa melegakannya saat saat jam pulang dari lab. Lab saya pindah ke daerah Garscube setelah saya menginjak tahun ke-empat studi. Bus nggak ada yang sampai ke sana. Jadi tiap hari setidaknya saya harus jalan kaki 2 kali 30 menit untuk pulang dan pergi. Dan letak lab saya itu hampir kayak antah beratah, semacam daerah pinggiran Glasgow yang jarang pemukiman. Ketika jam pulang dari lab, berjalan kaki menuju bus stop rasanya pikiran saya sudah senang. Bahkan rencana untuk mampir ke Morrison –Salah satu nama supermarket di Glasgow-aja bawaannya udah happy!. Mampir ke Morrison untuk beli buah, atau kadang memburu ikan yang harganya lagi diskon. Salah satu supermarket favorit saya di Glasgow!

Sayangnya waktu tahun 2017 lalu kembali ke Glasgow, saya tidak sempat ke Morrison dekat bus stop ke arah lab saya. Waktu itu 2 minggu rasanya singkat dan terlalu banyak yang ingin saya lakukan.
Saya tidak tahu kenapa masih saja ada rindu itu.
Padahal hidup saya di Glasgow adalah barisan hari hari yang sederhana
Rutinitas yang biasa saja. Memasak seusai pulang lab, berkumpul bersama teman-teman, ataupun jalan jalan di akhir pekan.
Iya saya rindu.




2 Komentar