“Dik, menurutku kamu sebaiknya selesaikan proposalmu dulu baru pergi ke Tokyo, Dik, jangan lupa bawain proceeding avian influenza dari Prof.Yamaguchi kemaren ya! Dik, Ramen yang enak beli di toko sebelah mana?
Panggilan Dik-nya seakan berdesingan di telingaku. Uff.. bagaimana hatiku tidak lumer dibuatnya, orang yang belum lama ini kukenal memanggilku dengan sebutan yang menurutku paling “penuh cinta” sedunia hehe..setidaknya menurutku!
Banyak orang yang mempunyai kebiasaan memanggil seseorang dengan panggilan kesayangan seperti, Sayang, Yang, Dinda, Cinta, atau seperti Fra, teman seapartemenku dulu di Italia yang memanggil Pietro, kekasihnya dengan sebutan sayang Amo! kependekan dari Amore! Cinta!
Tapi bagiku, panggilan paling penuh cinta di dunia adalah “Dik”, sebuah panggilan pendek dan sederhana yang menurut banyak orang sangatlah biasa saja. Tapi aku harus menunggu sampai hampir 27 tahun dan harus berkelana begitu jauh ke Negeri Sakura untuk mendengar seseorang memanggilku dengan sebutan yang selalu membuat hatiku lumer itu.
“Dik, maaf hari ini aku tidak bisa ke lab, rada kurang enak badan. Sementara kerjakan dulu PCR dengan formulasi yang kemarin ya. Sampelnya minta sama Manami-san” Tiba-tiba sms dari Mas Danar seketika menghentikan lamunanku. Rasa khawatir berganti menyergapku. Mas Danar sakit?sakit apa? Ugh.. aku mengutuki hatiku karena sekali lagi ingat akan batasan proporsi. Bila tidak, aku akan segera menelponnya ataupun tanpa pikir panjang tergesa menuju ke apaatonya untuk tahu apa yang terjadi pada Mas Danar. Tapi tidak! Rasa khawatirku akhirnya kutelan sendiri, melayang bersama gugurnya daun momiji yang telah merah keemasan siap menciumi daratan yang menantinya dengan ketidakpastian.
***
“Onegai Simasu Dita-san, kenapa hari ini kok sepertinya kurang bersemangat. Nggak seperti biasanya. O genki desu ka”. Manami, teknisi laboratorium biologi molekuler Universitas Kyoto itu sepertinya melihat mendungnya suasana hatiku saat ini.
“Genki desu. Arigatoo. Tidak ada apa-apa Manami-san, cuma sedikit khawatir, Mas Danar sedang tidak enak badan. Dia mengabariku pagi tadi, entahlah dia sakit apa. Aku khawatir”. Kataku lirih pada akhirnya. Di Kyoto nan jauh dari ibu pertiwi ini, hanya aku, Mas Danar dan Pak Heru saja segelintir orang Indonesia yang tinggal disini. Pak Heru lebih sering berada di Tokyo untuk menyelesaikan uji akhir penelitiannya. Kulihat sekilas beberapa periset lain melambaikan tangan di luar jendela yang memisahkan ruang laboratorium Center of Biology Moleculer and Genomic dengan koridor Universitas Kyoto. Ah…sudah hampir enam bulan aku di sini, penelitianku sudah mulai. Sibuk dengan riset, mencari dan membaca jurnal di perpustakaan ataupun browsing internet di taman samping kampus sampai lupa waktu. Terkadang harus meluangkan waktu berkonsultasi dengan Prof. Yamaguchi pembimbing tesisku.
Tak terasa enam bulan hampir genap aku tinggal di Kyoto, tanpa merasa “hilang” karena jauh dari kampung halaman. Tanpa merasa kesepian karena jauh dari sahabat yang biasanya berbagi hidup. Kenapa? Akupun ternyata baru sadar bila jawabannya adalah karena ada Mas Danar disini! Aneh, padahal sebelumnya kami hanya berkorespondensi via email tentang rencana riset, pengajuan beasiswa, permintaan rekomendasi dari Prof. Yamaguchi. Aku dulu memanggilnya Pak Danar, dosen di salah satu universitas di Yogyakarta, hanya itu yang kutahu. Dan dulu ia memanggilku Mba Dita.
“ Nggak apa-apa Mba Dita, sekalian aku mau ketemu Bang Ardan di Tokyo”. Kilahnya saat itu, hingga tawarannya untuk menjemputku di Bandara Narita bulan Mei lalu, dan sungguh tak bisa kutolak. Ah, sebenarnya kan aku bukan gadis remaja lagi yang layak untuk dikhawatirkan, dan inipun bukan kali pertama kunjunganku ke luar negeri.
“Alow Dik! Bagaimana perjalanannya?baik-baik saja kan?Sini kubawain kopernya!” Aneh si mas ini, baru bertemu tapi seperti telah mengenalku selama bertahun-tahun. Dengan sigap pegangan koper besarkupun sudah berpindah tangan padanya.
“Ayo Dik, kita naik shinkansen, cuman sekitar 2,5 jam sampai stasiun JR Kyoto”. Di sepanjang perjalanan menggunakan kereta shinkansen Nozomi ia tak henti-hentinya berceloteh mengenalkanku pada negeri yang akan kutinggali selama kurang lebih tiga tahun ke depan. Saat-saat berikutnya, ia mengenalkanku pada rute-rute transportasi dari Kyoto ke kota-kota lain, toko-toko murah dan halal tempat membeli bahan pangan, membantuku mengurus aplikasi masuk ke Universitas Kyoto atau mengajakku ke festival Gion Matsuri musim panas Juni lalu. Panggilan Dik-nya sejak saat pertama kali bertemu membuatku merasa nyaman dan entah kenapa aku lama kelamaan merasa lebih nyaman memanggilnya, Mas Danar.
“Dita-san, PCRnya sudah selesai, ayo kita segera running elektroforesis”. Manami-san mengagetkanku. Aku terlonjak dari lamunanku. Arghhh..hari tiba-tiba menjadi sepi tanpa Mas Danar.
***
Dengan tergesa aku segera menuju apatoo Mas Danar di daerah distrik Sakyo-ku. Seusai menyelesaikan pekerjaanku di lab, aku segera naik subway jalur Tonzai yang pararel dengan Kamogawa agar cepat sampai, walaupun tarifnya tentu saja jauh lebih mahal daripada bus yang biasa kunaiki.
Apatoonya sepi.
“Mas…Mas Danar” Pintu apatoo kugeser dan aku beranjak masuk. Sepi..Aku melangkah ke ruang utama apatoonya. Jantung berdebar karena khawatir.
“Dik..kok kemari, sudah selesai kerjaan di Lab?” Suara parau dan lemah, tapi terasa akrab di telingaku. Walau dengan terbaring, tetap dengan senyumnya seperti biasa ia menyapaku. Hatiku trenyuh.
“Gimana mas, sakit apa? sudah minum obat belum? sudah makan, mas?” Arghh..ada nada khawatir di suaraku yang harusnya bisa kusembuyikan.
Ia hanya tersenyum.
“Cuman kecapaian dik, masuk angin..rada pusing.” Ah, mengapa ia tidak pernah mau untuk dikhawatirkan. Terbaring di atas kasur yang hanya diletakkan di atas tatami, dengan selimut tebal menyelimutinya. Ia nampak seperti seorang laki-laki biasa. Bukan seorang periset ulung bidang biologi molekuler dan genetika yang selalu berapi-api saat presentasi, yang begitu bersemangat saat membicarakan riset, begitu piawai saat kerja di lab, dan yang selalu kulihat bintang di matanya saat bicara.
“Mas Danar belum makan ya, kubuatin bubur ayam ya, sebentar kubuatkan teh hangat dulu.” Sengaja tadi aku mampir sebentar di toko bahan pangan di dekat kampus Yoshida, kampus utama Universitas Kyoto.
“Sudah minum obat belum, mas?” Aku duduk di dekat jendela ruang utama, menungguinya makan bubur ayam buatanku.
“Bubur ayamnya enak banget, Dik. Sudah lama nggak makan bubur ayam. Jadi ingat klangenanku bubur ayam Mbok Warti di selokan mataram, Jogya” Dengan lahap Mas Danar menghabiskan bubur ayam di mangkuknya.
“Wah..jadi saya disamain sama simbok-simbok to mas?” Aku pura-pura merajuk seperti biasa. Sehelai momiji merah keemasan kembali luruh di luar jendela. Aku selalu merindukan kebersamaan seperti ini bersama Mas Danar. Kebersamaan yang membawakan damai di hatiku, tapi menyulut pengkhianatan pada nuraniku.
“ Ya enggak to Dik, maksudku beruntung nantinya yang bakal dapat Dik Dita ini. Sayangnya kita kok telat ketemu ya ehehehe”. Tawanya renyah, mungkin maksudnya ia mencandaiku seperti yang biasa ia lakukan. Tapi kali ini candaannya sama sekali tak lucu untukku. Aku hanya tersenyum hambar. Aku menatapnya perlahan, pada matanya yang selalu kulihat bintang. Mas Danar tiba-tiba menghentikan asupan bubur ayamnya dan mengalihkan pandangannya padaku. Pandangan kami bersiborok beberapa detik dan waktu berhenti sesaat. Jantungku seperti berdetak lebih cepat atau malah berhenti mendadak tiba-tiba. Aku terkesiap dan segera membuang pandanganku ke luar jendela, menatap daun-daun momiji musim gugur yang telah memerah. Aku gugup…bodoh! Pikirku.
Come on Dita..ingat proporsi! Pembatasan rasa! kepalaku kembali menyentilkan alarm pada hatiku. Suara desahan nafasku memenuhi ruangan yang tiba-tiba sepi. Ah, hal ini bukan kali pertama terjadi antara aku dan Mas Danar. Magnet-magnet aneh yang kadang meletup-letup itu membuat hatiku sesak. Seperti saat dengan spontan ia menggandeng tanganku agar tak lepas darinya di tengah kerumunan orang di festival Gion Matsuri kala itu. Tapi tak pernah lebih dari itu, yah..aku yakin, barangkali! Hatiku mengindahkan analisa logis kepalaku, hingga ia yang seorang laki-laki beristri yang tengah menanti kelahiran putra keduanya telah masuk ke dalam hatiku tanpa mengetuk. Cintakukah yang salah?ataukah hanya waktu yang berjalan terlalu cepat hingga takdir pertemuanku dengannya datang terlambat?
(bersambung-2)