“Kau tahu Rei,
bahagia ada dua jenis, bahagia yang tidak berdetak dan bahagia yang berdetak.”
terangmu tiba-tiba di suatu senja di Chaopraya. Ah kau rumit, bahagia ya
bahagia saja, kenapa harus kau perumit sedemikian rupa? Tapi aku masih tetap
runtut mendengarkan tuturmu.
“
Kata mamak, pilihlah lelaki yang mencintaimu walau kau tak mencintainya. Ia akan selalu ada untukmu, maka hidupmu
akan bahagia nak. Begitu kata mamakku selalu, tapi aku tak ingin mengambil
pilihan itu.” Lanjutmu lagi.
“
Pasti mamakmu itu dulu tak begitu cinta sama Papi kamu yah?” tebakku. Satu
sesapan strawberry milkshake kembali memerahkan senja kita. Kita, yang telah
lama tak bersua, hingga akhirnya dipertemukan di Chaopraya.
“
Kok kamu bisa nebak gitu?” gelakmu dengan mata yang memicing sedikit. Ah,
Alea..tak sulit mencari tahu nilai yang dipegang seseorang. Jangan pernah
bilang masa lalu adalah lembar-lembar yang harus dilupakan atau hanya disimpan.
Tak kau sadarikah banyak pijakan hidup dan nilai yang bertumbuh dari masa lalu
seseorang?
Aku hanya tersenyum, dan aku tahu kau memahaminya.
“
Mamak sama Papi baik-baik saja. Pernikahan mereka bertahan sampai Papi
meninggal setahun lalu, Rei. Tapi aku rindu binar cinta di mata Mamakku.” Begitu
terangmu.
“
Lalu apa Alea? Bukankah semua baik-baik saja? Mamakmu bahagia bersama Papimu,
sudahlah.” Tanganku meraih pisau dan memotong pizza di piring menjadi potongan
kecil. Perutku lapar sedari siang.
“
Ada kalanya saat engkau bersama seseorang, engkau seperti melesat-lesat seperti
bunga api. Dunia takjub melihat tertawamu yang riuh, senyummu yang membuncah.
Yang tak perlu tahu bagaimana semuanya itu tercipta, hanya dengan bersamanya
saja. Bersamanya saja. Mau kau tukar dengan apa rasa semacam itu?” katamu
dengan pandangan mata yang lurus padaku. Suapan pizza ke mulutku terhenti.
“
Lalu maksudmu apa? “ aku seperti tak mengenali Alea, sahabatku semenjak kuliah
sarjana itu.
“
Rei, setiap orang berhak memilih apapun macam kebahagiaannya, dan aku memilih
yang kedua. Tidak salah bukan?” tanyamu. Ah Alea, semoga semesta mendukungmu.
Senja sudah hendak berganti malam di Chaopraya. Kerlip lampu-lampu di jalanan
itu mengingatkanku akannya. Bahagiaku
yang berdetak. Tiba-tiba aku ingin segera pulang.***
----
Aku menarik lagi
duvet bunga-bunga, menyelimutiku tubuhku. Hangat perlahan menjalari. Lama
rasanya tidak menikmati sensasi semacam ini. Tenang yang menenangkan, yang
harmoni. Aku menghentikan waktu sesaat.
Irama I wanna grow old with you-nya Adam
Sandler mengalun liris. Aku tersenyum, menikmati setiap nada-nadanya. Rasamu
kamu dekat, mas.
I wanna make you smile whenever you're sad
Carry you around when your arthritis is bad
All I wanna do is grow old with you
I'll get your medicine when your tummy aches
Build you a fire if the furnace breaks
Oh it could be so nice, growing old with you
Aku baru sadar lama rasanya tak menikmati rasa
seperti saat ini. Entah mataku terpejam atau tidak, hanya merasa hidup dalam
kekinian tanpa terasa risau akan esok, tanpa terlalu tenggelam dalam masa lalu.
Butuh orang-orang pemberani untuk hidup untuk hari ini.
Yunani berderap sesuai irama waktu yang terus
melaju. Suhu udara sudah sering merambati titik nol akhir-akhir ini, dingin menelusup.
Ah, kangen kamu, mas. Harusnya aku bisa menelusup dalam pelukmu, menciumi bau aftershave-mu yang selalu sanggup
menentramkanku. Tak peduli kau yang tengah asyik membacai jurnal terkini, aku
cukup bersembunyi dalam pelukmu sampai keesokan pagi. Lalu dengan isengnya kau
membangunkanku dengan meniupi kupingku. Kau, dengan telur dadar istimewamu,
dengan ratusan cerita jenaka basimu yang selalu sanggup memancing gelakku.
Kita, aku kangen kita. Yang pernah bertukar teriak kala berarung jeram si Sungai
Elo, bertukar ciuman hangat di hadapan Menara Eifel, bergidik dingin di sapu derai
hujan di pedalaman Kalimatan, dan sama-sama beku di Lapangan Merah Moskow. Aku
rindu kita. Seperti belasan tahun yang lalu, saat kau masih bersamaku dalam
dunia yang sama. Tapi Tuhan lebih cinta kamu.
I
still..wanna grow old with you. Bersama kenangmu. ***
-----
Aku
tak mengerti isi suratmu yang kau kirim terakhir kali. Padahal kuharap surat
itu berisi betapa beratnya engkau meninggalkanku, sejenis surat perpisahan yang
manis, atau sesuatu yang mengharapku menahanmu pergi. Tapi tak kutemukan
satupun kalimat-kalimat itu sama sekali. Hiduplah
dengan baik, berpijarlah bagi dirimu sendiri dan orang banyak. Hanya itu tulismu.
Kenapa tidak berpijar untukmu saja, Sita? Aku ingin berpijar untukmu, menerangi
jalanmu, pemandumu, penghalau onak di jalanmu.
“
Mungkin kau berpijar terlalu silau untuk kutampung sendirian, berpijarlah untuk
banyak orang,” katamu di sudut kedai kopi di tempat kita biasa bertemu.
Sembunyi-sembunyi.
“
Aku ingin nyalamu, Sita. Pijarmu hidupkan hidupku dengan benar-benar hidup,”
aku masih ingat kataku sekali itu. Engkau tersenyum kala itu Sita, manis
sekali. Kau tau kenapa aku sejenak memejamkan mata beberapa detik setelah
engkau tersenyum? Aku ingin merekam senyummu, pijar di hatiku yang tak pernah
redup.
“
Mungkin bila bersama, kita berdua terlalu terang, menyilaukan. Mungkin kita
harus berbagi cahaya, mas.” katamumu, masih dengan parasmu yang selalu debarkan
hatiku, Sita.
Harum vanilla khas tubuhmu masih melekat di
hidungku, Sita. Senyum melengkungmu yang sanggup memijarkan seluruh hidupku
masih terus di hatiku. Dan betapa ingin kugapai tanganmu, agar kita
bersama. Tak peduli silau, redup atau gelap. Aku ingin bersamamu, Sita. Selalu.
Tapi tapak terakhirmu sudah tak kulihat lagi. ***
Yak,
anda tersesat di antara tulisan random di atas, Selamat ;p
Glasgow, 18 November 2012