Poster tentang bedah buku “Kinanthi” itu hanya
kulihat di laman Fbnya mas Tasaro GK, dan saat kulihat tanggal dan waktunya
sepertinya memungkinkan untuk datang. Mengapa tidak? Kapan lagi? mumpung aku di
Jogya dengan akses dan kesempatan untuk datang ke acara-acara macam begini yang
relatif lebih banyak dibanding Purwokerto. Walau sendirian, tak
ada teman, bukan alasan untuk melewatkan kesempatan.
Taufik Saptoto Rohadi, itu nama asliya. Tapi
disingkat dengan Tasaro, dan GK adalah singkatan dari asal tempat lahirnya
Gunung Kidul.
Belum terlalu banyak orang mengenalnya, tapi
kiprahnya di dunia kepenulisan sudah cukup lama walau usianya masih muda. Awal saya
membaca buku “Galaksi Kinanthi” karyanya, bukan karena saya kenal siapa itu
Tasaro GK. Beda dengan pilihan saya mengambil buku “Rectoverso” di pajangan
buku Togamas misalnya, saya kenal siapa dan bagaimana tulisan Dee (Dewi
Lestari) yang boleh dijadikan jaminan seperti apa karya-karyanya. Saat saya
memutuskan membeli buku Galaksi Kinanthi, saya hanya membaca Judul, Cover
belakang dan bab awal buku itu yang kebetulan ada buku yang sudah terbuka.
Membacai bab awal satu halaman saja cukup membuat saya tak pikir panjang untuk
membeli buku tersebut. Dan pilihan saya jarang salah #pede. Saya langsung jatuh
cinta dengan tulisan-tulisannya. Magis.
Dia sanggup mengolah kata, menempatkan diksi
dengan baik, mencipta alur sedemikian rupa sehingga pembaca terbawa dalam
setiap barisan tulisannya. Deskripsinya sudah kelas wahid, sedang aura romantisnya
jarang sekali dibentuk dari pilihan kata yang romantis, tapi sanggup mencuri
hati dengan caranya yang magis.
“
Coba perhatikan baris puisi-nya Sapadi, “Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu”. Mana ada kata romantis dalam barisan kalimat
itu? Hampir tidak ada, tapi puisi itu dikutip dan dihapal oleh ribuan orang
yang tengah jatuh cinta,” begitu ujar mas Tasaro pada saat acara
berlangsung.
Acara berlangsung dengan hangat di Djendelo Cafe,
lantai 2 Togamas Jogya tanggal 31 Januari lalu. Mas Tasaro pembawaannya
sederhana, ramah dan kocak. Dengan penampilan khasnya yang selalu memakai topi
yang sedikit dimiringkan. Pemandu acara banyak menanyakan soal buku Kinanthi
yang sekarang terbit lagi dengan “jiwa baru” dari Galaksi Kinanthi menjadi “Kinanthi
Terlahir Kembali”. Memang berganti penerbit dari Salamadani ke Bentang Pustaka.
Buku ini merupakan modifikasi dari kisah
nyata seorang TKW di amerika yang akhirnya menuai sukses di negeri paman sam
itu. Kisah berbau women trafficking, kisah perjuangan TKW yang kemudian sukses
setelah disekolah oleh negara, dibumbui dengan kisah romantis yang agung antara
Kinanthi dan Ajuj. Beberapa orang maju sebagai volunter untuk “reading”
beberapa baris kalimat di buku tersebut,
Entah mengapa saya menyukai baris-baris di bawah ini,
seperti juga mas Tasaro juga memilih baris ini ketika pemandu acara memintanya
untuk “reading”.
Begini
cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta,
Engkau
bertemu seseorang, lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya. Jika
dia dekat, engkau akan merasa utuh, dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan
adalah ketika engkau merasa dia memperhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu
kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan
akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis tanpa mau disebut gila.
Banyak hal yang bisa dijadikan masukan dan
pelajaran tentang menulis, tentu saja karena dasar jurnalistiknya mas Tasaro
mumpuni. Dia tumbuh dalam dunia jurnalistik dan kepenulisan sehingga secara
teoritik dan praktik memang saling bersinergi untuk mencipta seorang karya yang
berkelas.
“
Menulis fiksi itu biasanya bersumberkan tiga hal, pengalaman, referensi dan
imaginasi,” ujarnya saat menuturkan ilmu-ilmu menulis, namun tetap disisipi guyonan
hangat.
Saat acara berlangsung |
Saat memasuki sesi tanya jawab, entah saking
semangatnya saya menjadi penanya pertama di antara beberapa penanya lainnya. Saya
duduk di lesehan baris depan sehingga nyaman untuk berinteraksi langsung dengan
penulis. Kesempatan langka, kupikir. Kapan lagi bisa “ngangsu kawruh” langsung dari narasumbernya. Tiga pertanyaan
saya dijawab dengan panjang lebar, disusul dengan pertanyaan-pertanyaan dari
peserta berikutnya. Sampai pula pada pertanyaan tentang siapa yang
menginspirasinya menulis tokoh seperti Kinanthi. Sebelum dia menjawab, terlihat
ia menarik nafas panjang, lalu wajah penuh senyum dan canda kocaknya sekilas
berganti. Matanya tersaput embun, lalu berkaca-kaca.
“
Aduuuh kenapa ada yang nanya begitu. Jawabnya saya bisa nangis-nangis,” begitu
katanya. Dan detik selanjutnya ia menjelaskan bahwa yang menginspirasinya
menulis tokoh Kinanthi adalah ibunya yang telah meninggal karena stroke setahun
yang lalu. Ibunya yang sampai meninggal masih menulis, dan telah membimbingnya
menjadi seorang penulis sekaligus ayah dari Senandhika Himada.
“
Udah-udah nggak usah diterusin, ntar bisa nangis beneran.” Katanya sambil
mencoba menguasai dirinya kembali. Nampak matanya masih berkaca-kaca.
Lalu tibalah jua pada pertanyaan.
“
Kenapa harus tema ketidakbersamaan? Kisah Kinanthi dan Ajuj, yang saling
mencintai dalam ketidakbersamaan? Apakah ini adalah isu universal yang banyak
sekali dialami manusia di bumi,” begitu kira-kira pertanyaannya.
Tasaro tersenyum sesaat lalu, menjawab.
“
Suka atau tidak, manusia memuja kisah-kisah ketidakbersamaan. Romeo-Juliet.
Layla-Majnun, karena justru bagian itulah yang paling emosional, menguras air
mata dan membuat manusia mengerti arti mencintai. Manusia terkadang butuh
kehilangan, butuh ketidakbersamaan untuk
menemukan keindahan mencintai dengan tulus. Mencintai adalah satu perkara, dan
memiliki adalah suatu perkara yang lain.” Jawab Tasaro.
“
ah salah siapa pertanyaannya dalem, jawabnya juga dalem,” lanjut Tasaro dengan
setengah bercanda.
Seperti sebuah bait kalimat dalam Galaksi Kinanthi
:
"Dalam
kehidupan nyata, kebersatuan cinta tidak selalu berarti saling memiliki bertemu
dalam satu titik. Bahkan terkadang dua orang yg saling mengasihi sepenuh hati,
saling menjaga dalam keterpisahan. Ketidakbersamaan.
Lalu ada kata-katanya yang sungguh membekas di
kepala saya,
“
Cinta ya cinta. Boleh menghuni kepala,
hati. Ada tempatnya sendiri. Tapi cinta tidak boleh membuat kita lemah, apapun
dan bagaimanapun cinta seharusnya menguatkan, dan harus membuat kita harus
bersemangat dalam berkarya,” begitu ujarnya.
Ah, seni manajemen cinta seperti itulah yang
sedang saya ingin pelajari. Cinta, The
Law of Levitation, not the Law of Gravitation. Menerbangkan bukan
menjatuhkan.
Ah, tak terasa waktu bedah bukunya sudah hampir
habis. Penulis yang juga menulis trilogi Muhammad dan Nibiru ini terasa begitu
menikmati interaksinya dengan para pembacanya. Terasa dekat dan sederhana tapi
sarat ilmu.
Sebelum acara usai, penyelenggara bagi-bagi doorprize
buku bagi yang udah “reading”, yang ngetweet
yang gokil dan dari bagi yang sudah bertanya. Dan saya cukup beruntung mendapat
doorprize buku sebagai penanya pertama. Asik, saya mendapat buku “Kisah
Inspiratif Kick Andy”.
Kisah Inspiratif Kick Andy adalah hadiah bukunya, sedang Rectoverso-nya Dee dan Muhammad Para Pengeja Hujan itu buku yang saya beli seusai acara. |
Lalu terakhir, acara ditutup dengan book signing. Sayapun segera menghampiri mas Tasaro untuk memintanya
membubuhkan tanda tangan pada buku saya yang sudah saya beli akhir tahun lalu.
Saya antrean kedua, setelah Tasaro membubuhkan tanda tangan pada orang sebelum
saya. Tiba giliran saya,
“
Namanya Siwi yah?” tanyanya. Pasti Mas Tasaro masih mengingat nama saya saat
bertanya tadi. Saya mengangguk mengiyakan. Dia melihat saya sekilas, lalu
menuliskan sesuatu dan tanda tangan di buku saya. Kemudian tak lupa saya
meminta foto bareng dengan beliau. Alhamdulillah dapat ilmu, dapat buku, dapat
tanda tangan dan foto bareng. What a
wonderful night kan?
Foto Bareng Mas Tasaro GK |
Dan saat saya benar-benar melihat lagi tulisan di
halaman pertama buku itu, tertulis disitu :
To Siwi : “Mencintai Seperti Kinanthi”
Ini Tulisan dan Tanda Tangannya di buku saya |
Ah, saya tersenyum membacai kalimat tersebut. Tadinya saya berpikir bahwa kalimat tersebut dituliskan sama pada semua buku yang ditandatanganinya. Tapi saya keliru, setelah melihat page Tasaro GK dengan tag beberapa halaman buku yang ditandatanganinya malam itu, ada yang bertuliskan “maturnuwun” dan sebagainya.
Baiklah, semoga saja, saya bisa mencintai seperti
Kinanthi, dengan ketulusan yang membuat waktupun bertekuk lutut. Masih terus
mencintai, mengasihi baik dalam ketidakbersamaan maupun kebersamaan. Semoga.
Dengan jiwa yang segar saya melangkah ke parkiran,
menanti jemputan adik saya. Lalu terlihat mas Tasaro bersama kru-pun
meninggalkan Togamas, dan saat melihat saya di parkiran, dia kembali menyapa,
“
Makasih ya Mba Siwi,” sapanya dengan ramah.
Pribadi yang menyenangkan. Semoga sukses dengan
tulisan-tulisannya yang mendatang. Saya pasti akan menanti karya-karyamu
berikutnya.
Salam Pena. Salam Kata.
Ndalem Pogung, Jogya 4 Februari 0.49 am. Tengah malam di Jogya. Jogya yang terasa begitu tenang dan hangat.