Kalian sering mendengar
tentang konsep “take and give” kan?
Beberapa waktu lalu saya juga terlibat perbincangan mengenai ini dengan sahabat
saya.
Menurutnya hubungan haruslah
“take and give” agar seimbang, katanya. Saya yakin banyak juga yang mengiyakan
apa pendapatnya. Saya pun dulu mengira demikian.
Take and give menjadi wajar
dalam suatu hubungan. Hubungan apa saja, entah dengan pasangan, orang tua,
sahabat, dalam pekerjaan ataupun yang lainnya.
Namun seiring waktu, saya
belajar..nampaknya “take and give” menjadi
semakin terlalu memberatkan. Kemudian saya belajar untuk bergeser ke dalam
konsep “Give and Give”
“Oh iya iya..kamu kan udah nggak butuh “take” lagi ya? “
kilah sahabat saya.
Nggak begitu juga sih, hanya
saja..memberi dengan rumusan memberi dan harus menerima nampaknya menjadi
semakin berat. Bukahlah lebih ringan bila bergeser menjadi memberi dan memberi,
tak perlu tanpa banyak memikirkan tentang harus menerima.
Menurut saya, ada perbedaan
fundamental di antara keduanya. Mungkin perbedaan itu terletak pada niat. Niat
dalam hati, jarang sekali kita meneliti niat-niat dalam hati kita pada apa yang
kita kerjakan, apa yang kita berikan.
Padahal niat, yang tersembunyi
itu, seringkali menjadi landasan mengapa kita berbuat sesuatu.
Memberi dengan berharap
menerima, bukankah menjadi begitu memberatkan?
“If all your “giving” is
about “getting” think how fearful you will become?”
(Susan Jeffers)
(Susan Jeffers)
Jika kita memberikan
sesuatu, dengan harapan dapat menerima..bayangkan betapa diri menjadi
dihinggapi banyak kecemasan, banyak pengharapan, dan banyak kekecewaan ketika
yang terjadi tidak sesuai dengan harapmu.
Sedangkan memberi dengan
sekedar memberi karena kasih, bukankah terasa makin meringankan?
Ini bukan bahasan tentang
sok mulia atau sebagainya. Ini soal ketentraman jiwa. Bukankah dengan memberi
saja tanpa harap menerima membuat perasaan kita menjadi semakin baik dan
semakin bahagia?
Sesederhana itu sebenarnya.
Saya jadi ingat saat
mendengarkan sebuah ceramah tahun lalu tentang zakat, tentang memberikan
sebagian rizki kita. Baru kala itu saya mendengar sebuah pernyataan yang tak
biasa saya dengarkan mengenai ceramah-ceramah zakat. Dulu sering kali saya
mendengar ceramah seperti misalnya : Zakat itu bisa melancarkan rejeki, mana
ada kau lihat orang zakat atau memberi lalu jadi bangkrut? Atau kalau sedekah
sekian bisa lekas kaya, bisa cepat dapat jodoh..bla bla..bla..
Lalu kita memberi ataupun
berbuat baik karena ada iming iming belaka? Ah, bukankah sering kalian
mendengar kalimat-kalimat seperti di atas itu?
“Manfaat zakat yang utama itu menentramkan hati,” saya
masih ingat kalimat itu diucapkan saat ceramah. Nyes rasanya, kenapa jarang
sekali yang menyentuh sisi ini?
Memberikan sesuatu ternyata
pada dasarnya membuat diri menjadi semakin bahagia. Semakin ringan, dan semakin
tentram.
Memberi
dalam hal ini bukan hanya memberikan barang, uang atau materi, tapi juga
memberikan waktu, informasi, perhatian, kasih sayang.
When you give from a place of love,
rather than from a place of expectation.
More usually comes back to us than we could ever have
imagined
( Susan Jeffers)
Yah, walaupun seringkali
dengan memberi kita menerima jauh..jauh lebih banyak daripada apa yang kita
berikan, namun rasanya akan lebih meringankan dan menentramkan bila memberi
tanpa pengharapan.
“Nggak fair dong, misal dalam hubungan..rasanya kita tuh
kasih..kasih terus. Memberikan banyak kompromi, kasih perhatian..kasih hadiah
bla..bla..tapi dianya kayak nggak tau terimakasih. Dianya nggak berubah juga.”
Mungkin ada ya yang selintasan berpikir demikian. Atau mengalami hal yang
demikian.
Menurut saya sih, memberi
itu satu hal..kemudian bagaimana engkau memutuskan perlakuan ataupun keputusan
pada orang lain itu sepenuhnya adalah hal yang lain lagi. Ada pertimbangan, ada
logika, ada nurani. Dan itu terserah bagaimana pilihan pilihan yang kamu ambil.
Hubungan bukan bisnis sih, kalau menurut saya.
Well, kadang mungkin konsep
ini terlihat sok baik dan sok polos..padahal sih intinya cuma ingin membuat
diri lebih ringan dan lebih tentram.
Saya pun masih belajar,
kadang konsep masih hanya dalam tataran konsep, sedangkan praktiknya masih
tersuruk suruk.
Namun bukankah yang
terpenting kita belajar dan terus berjalan?
Mari.
Glasgow menjelang maghrib di
musim gugur. Dengan kadar rindu yang agak terlalu.
3 Okt 2015.