Deru halus Emirates
terdengar, perjalanan dari Glasgow menuju Dubai untuk transit masih sekitar 4
jam lagi, tapi entah apa yang terlintas di pikiranku. Rasa di hati juga
entahlah, bercampur aduk tak pasti. Dan akhirnya saya memutuskan untuk membuka
laptop dan menuliskan sesuatu di sini. Saya selama ini gemar merangkai
kata-kata, menyusunnya untuk menceritakan sesuatu, menggambarkan suasana atau
mewakili perasaan. Namun ada saatnya ketika saya menemukan, bahwa kata-kata
rasanya tak sanggup untuk mewakili perasaan yang ada. Dan mungkin saat inilah
satu dari sekian saat-saat itu.
Ah, ada rasa penat, lelah,
sedih, namun ada pula bahagia hendak bertemu lagi dengan keluarga, ah
bercampur-campur. Ini kali pertama saya bisa meluangkan waktu untuk menulis
setelah rempong dengan segala macam urusan kepulangan. Yang pernah tinggal lama
di suatu tempat lalu pindahan, pasti tahu betapa repot dan melelahkannya
saat-saat seperti itu.
Beberapa hari terakhir di
Glasgow diisi dengan segala macam persiapan untuk pulang. Beres-beres flat, ke
cash and clothes untuk meloakkan barang-barang, bertemu dengan beberapa sahabat
sebelum pulang dan juga submit thesis. Akhirnya sehari sebelum kepulangan, saya
submit final thesis (setelah selesai revisi), dan officially saya sudah selesai
dengan segala urusan studi S3 saya di University of Glasgow. Memang rasanya
sedikit antiklimaks, setelah selesai revisian, kemudian disetujui semua revisi
yang telah saya lsayakan oleh internal examiner, lalu print jilid dan dikumpulkan
1 eksemplar ke kantor jurusan.
“That’s all?” tanya saya.
“ Yup, that’s all,” jawab staff yang menerima hard copy
thesisku.
Ah, yaa..perjuangan selama 4
tahun itu memang terasa berakhir biasa saja. Tapi Alhamdulillah, semua berjalan
lancar dan rasanya tanggung jawab saya telah selesai ditunaikan.
Tinggal menunggu wisuda
saja, humm ada segunung harapan untuk menghadiri acara wisuda tersebut. Kembali
ke Glasgow sungguh merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri. Namun entahlah,
kantong sampai saat ini belum ada alokasi untuk balik lagi saat wisuda. Semoga
saja ada jalannya.
Sabtu minggu lalu, saya
mengadakan acara kumpul-kumpul menjelang kepulangan. Saya hanya mengundang
beberapa sahabat dekat saja. Rasanya setelah sekian lama bersama mereka, sedih
pula meninggalkan sahabat-sahabat yang telah membersamai saya selama ini.
Mereka adalah keluarga selama saya berada di Glasgow. Berkat mereka lah hidup
di Glasgow menjadi terasa hangat dan menyenangkan.
Pamitan ke lab juga sempat
menghadirkan perasaan sedih (dan lega sekaligus sebenarnya). Lab itu adalah
memori perjuangan saya selama menempuh PhD, dengan orang-orang yang telah
membantu membimbing saya selama ini. Sayangnya supervisor sedang berada di
Prancis selama seminggu ini, jadi tidak bisa bertemu untuk pamitan.
Ah, tiap kali perjumpaan dengan orang-orang dan mengucapkan “sampai jumpa lagi”, rasanya ada yang tercerabut dari dalam hati. Saat-saat terakhir di Glasgow itu mengajarkan saya banyak sekali tentang kehilangan-kehilangan, namun hidup harus tetap berjalan.
Glasgow, yang setiap
sudutnya mengisahkan kenang. Sungguh kala terakhir pagi tadi melintasinya lagi
saat menuju bandara, ada semacam perasaan yang sulit sekali kujelaskan.
Meninggalkan Glasgow yang telah lebih dari 4 tahun kutinggali, yang selama ini
serasa menjadi rumah. Ah, Glasgow. Baru beberapa jam saja meninggalkan tempat
itu, saya telah merinduinya.
Dan merinduimu, pasti,
Jarak, memang tak pernah
bisa memisahkan manusia-manusia yang masih ingin saling mengkaitkan hati.
Namun, sayangnya jarak
berarti dua manusia harus menjalani dua kehidupan yang berbeda. Dua tempat, dua
negara, dua waktu dan hidup berjalan di antara keduanya.
Ah. Mari hadapi. Mari
jalani...
Glasgow, sampai jumpa lagi.
Katakan, bagaimana aku tak
merinduimu? Ketika separuh aku masih tertinggal di situ,
Dalam perjalanan
Glasgow-Dubai. 29 Januari 2016.