Ah, rasanya gatel untuk menulis di sela-sela rutinitas setelah iseng membaca tulisan Fadh Jibran (Penulis A Cat in My Eyes-Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa) dalam project I care I share. Projek tersebut menampung berbagai pertanyaan pembaca tentang apa saja- biasanya tentang hal-hal yang menggugah untuk diperdebatkan-, dan Fahd setiap minggunya akan memillih salah satu untuk dibahas di blognya.
Dan pertanyaan kelimabelas adalah tentang pernikahan, sebuah pertanyaan dari Alexa dan Adisti yang juga membuat project “Lajang dan Menikah –Sama Enaknya, Sama Ribetnya-. Inti pertanyaannya tentang apa esensi pernikahan, karena banyak orang menilai pernikahan sesuai dengan pernyataan berikut :
"Most Indonesians get married out of fear, not out of love. Fear of parents, extended family, society, and the ticking clock."
Jangan mendebatnya terlebih dahalu, memang tidak semuanya begitu. Tapi toh fenomena di atas memang banyak terjadi di Indonesia.
Fahd mengatakan bahwa memang ada banyak faktor seperti umur, tradisi, sunnah Rasul, tuntutan masyarakat, yang mendorong seseorang memutuskan untuk menikah. Tapi semua itu hanya faktor, bukan dorongan utama (baginya-red. Tentu saja karena tulisannya adalah opini pribadinya). Faktor-faktor tersebut tak bisa dihindarkan bila tidak ingin disebut makhluk asing oleh komunitas mayarakat normal bila berusaha melepaskan diri dari itu. Tapi bukan itu landasannya, ia mengatakan dengan begitu yakin. “Saya akan menikah bukan karena merasa takut”. Disebut pula bahwa sebentar lagi ia akan menikah, sehingga tulisan tersebut dibuat tentu saja bukan tanpa dasar.
Dari bahasan yang dikemukakan Fahd, menurutnya pernikahan dilandasi oleh sebuah panggilan. Ia menyebut tentang konsep soulmate-sebuah bahasan lama yang tak pernah basi. Ia mengutip apa yang berabad-abad lampau dikemukakan oleh Plato, berikut :
Bahwa semula, kita dan pasangan kita dilahirkan sebagai kembar. Aku dan dia, kau dan seseorang, seseorang dengan seseorang lainnya. “Mereka diciptakan Tuhan dengan dua kepala, dua leher, dua badan, dua pasang tangan, dua pasang kaki, dan seterusnya,” begitu kata Plato, “tapi mereka hanya dikarunia satu hati, satu jiwa. Dan mereka harus berbagi.” Suatu hari, tersebab takdir tertentu yang takterjelaskan, mereka harus terpisah satu sama lainnya. Namun, sejauh apapun mereka berpisah, jiwa mereka akan saling “memanggil”, saling mengirimkan sinyal untuk saling mendekat, dan kelak—bila mereka mengikuti panggilan itu—mereka akan bertemu kembali (Plato And The Theory Of Forms, Tim Ruggiero, Philosophical Society, July 2002).
Begitulah diceritakan bahwa Adam dan Hawa akhirnya “bertemu kembali’ di Jabal Nur setelah lama saling ”memanggil”. Mungkin apa yang dimaksudkan Fahd adalah saat telah bertemu dengan seseorang dan dia merasa yakin bersamanya akan dilanjutkan perjalanannya ke dalam diri dan pernikahan adalah pertemuan kembali. Karena selama ini kita dipisahkan dalam kehidupan masa lalu yang berbeda, latar belakang, pola pendidikan orang tua, lalu dipertemukan kembali dalam suatu pernikahan. Pernikahan merupakan proses menggali-mengenal lebih dalam-mengenal lebih dalam-demikian seterusnya- yang butuh kebersamaan dan komitmen yang panjang.
Ah, aku tidak pintar menjelaskan intisari pemikiran Fahd, tapi setelah aku membaca pemikirannya aku jadi semakin mengerti. Ya, panggilan itu..apapun istilahnya, hal yang aneh tak terjelaskan. Bukan karena jarum jam yang terus berdetak (karena tetap saja aku masih merasa muda, kawan ehehe), bukan karena teman-temanku sudah hampir semuanya menikah. Aku senang menghadiri pesta pernikahan teman-temanku, bahagia untuk mereka tapi sama sekali tidak memberikan efek signifikan terhadap keinginan untuk menikah.
Pun juga pertanyaan orang tua, keluarga besar, saudara, teman..kapan?kapan?kapan..ehehe serasa itu pertanyaan wajib dan paling penting di dunia. Tapi tak jua itu menggangguku kawan, aku menganggapnya sebagai sebentuk perhatian saja yang kadang masuk telinga kiri dan mungkin tidak sampai tulang sanggurdi, tak terdengar di hatiku. Dan syukurlah aku tidak merasa terbebani karena seperti yang pernah kutulis dalam tulisan di blogku ‘mengapa harus menikah?” tingkat ke-urgensi-anku memang belum memenuhi syarat 3 kebutuhan itu.
Tapi dengan berat hati sekarang kukatakan “ Sial kawan, panggilan itu datang” ahaha…
Aku tidak harus menjelaskan panjang lebar, karena saat Tuhan membalikkan hatiku aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tak jua kukenal orang itu dengan baik, tapi panggilan itu lamat-lamat kudengar. Mungkin ini berarti berita baik ehehe.. . Dan ”Jabal Nur”-ku sepertinya sudah pernah kujejaki.
Menengok ke belakang, aku teringat akan sebuah peristiwa, kepingan puzzle dari sebuah gambaran utuh yang kupikir berdiri sendiri tanpa ada episode berikutnya.
Akan kuceritakan sedikit, saat itu dengan perasaan gundah dan menyesal aku menghabiskan waktu untuk menunggu jadwal kereta berikutnya dengan mencoret-coret di bukuku. Sebal, gara-gara keteledoranku aku telat mengejar kereta menuju Roma, hingga harus terkatung-katung di Sta.Perugia Fontevegge. Duduk di ruang tunggu sambil mengamati orang-orang bersliweran, seorang wanita yang berjalan terburu-buru, sebuah keluarga dengan anak-anaknya yang lucu-lucu, mungkin akan berangkat berlibur, atau beberapa pendatang seperti orang timur tengah yang nomaden dengan buntelan besarnya. Hingga rasanya saat itu aku ingin menulis :
21.06.08 Sta Perugia Fontevegge 09.30 am
” kenapa manusia harus melalui siklus lahir, besar, bertumbuh, menikah, punya anak, menjadi tua dan mati?. Terbesit pertanyaan siapa pada mulanya yang memulai standard hidup demikian. Di berbagai bangsa, tradisi dan ras semuanya cenderung untuk mengikuti pola yang sama.
Bagaimana pola pikir manusia zaman dulu saat mengawali sebuah peradaban manusia dengan kemampuannya berpikir dan berkarsa. Kenapa dulu manusia tidak memutuskan untuk lahir, tumbuh seorang diri walaupun hidup dalam suatu komunitas sosial, menjadi tua dan kemudian mati?”
28.07.09. Purwokerto, Ina. 09,43 pm
Kawan, setelah membaca tulisan fahd Jibran dan membuat tulisan ini. Aku tiba-tiba merasa bahwa Tuhan sudah menjawab pertanyaanku beberapa jam berikutnya dari saat aku menuliskan coretan di atas.
Dengan rentang waktu yang demikian lama, kau pasti bisa memperkirakan berapa lama aku baru bisa mencerna jawabanNya..Ah, lelet ya..tapi setidaknya aku bertanya, karena kepastian jawabanNya adalah mutlak adanya. Dan karena bertanya tak membuatmu berdosa..