“ I miss the way of life-nya Glasgow,
sederhana, simple, independent,” ujar sahabatku
yang baru saja pulang ke Indonesia. Dia kangen berat dengan Glasgow, dengan
cara hidupnya di Glasgow yang sederhana, enggak ruwet dan bahagia. Saya paham
benar yang dia rasakan, walaupun belum merasakannya. Apalagi dia pulang ke
Jakarta yang ruwet dengan macetnya, dengan distraksinya. Saya saja yang akan
pulang bekerja di Purwokerto yang tergolong kota kecil juga masih belum
kebayang caranya beradaptasi nanti.
“ They don’t feel what I feel,
How can they put blame on me? Stress aku dengan judgement-judgement mereka,”
hiyaaah, welcome dengan distraksi ala Indonesia. Sahabat saya itu didera shock
culture setelah kembali ke Indonesia.
Yah, mungkin memang
sahabat saya sedang berada dalam masa adaptasi. Namun bukan hanya dia yang
mengalami fase seperti itu, sahabat saya dari Australia juga sering kali
menyatakan betapa rindunya dia pada Australia, pada sahabat ataupun
supervisornya. Saya pun sempat kaget dengan pernyataan teman seperjalan saat
jalan-jalan ke Dunoon dengan bilang,
“
If I have to choose, I prefer to live here,” ujarnya. Saya sempat memandang
wajahnya sejenak, apakah ia serius atau tidak. Untuk saya, senyaman-nyamannya
hidup di sini, saya tetap ingin pulang ke Indonesia untuk meneruskan hidup.
Walaupun mau meninggalkan Glasgow kok rasanya berat amat yaaa..ahaha trus
gimana dong? ;p
Iyah, seperti sahabat
saya yang baru pulang ke Indonesia tadi. Dia kehilangan ritme selama hidup di
Glasgow. Ritme hidup yang simpel. Masak, kuliah, makan, kumpul-kumpul bareng,
pengajian, jalan-jalan.
“It’s
time to face reality,” kata sahabat saya lainnya yang baru senin kemarin.
Reality? Walaupun saya paham maksudnya, namun hidup di Glasgow juga kenyataan.
Hidup di Glasgow terasa lebih tenang, itu mungkin yang akan
sangat saya rindukan. Tenang dalam artian secara suasana kotanya, juga suasana
batiniyahnya. Hidup di sini cenderung minim distraksi. Coba saja hindari hp,
nggak nyentuh laptop untuk internetan selama sehari aja, udah berasa kayak di
dunia yang lain. Distraksi itu paling baru muncul kala terhubung internet,
membacai berita online dan media sosial.
Saya juga banyak
mempunyai waktu luang untuk me-time, untuk mengeksplor menu masakan, untuk
menulis dan aktivitas-aktivitas lainnya yang akan sulit dilakukan di Indonesia
kala sudah berkutat dengan pekerjaan.
Iya, ada rasa takut
kehilangan dengan apa yang tengah saya jalani sekarang. Rasa yang wajar, dan
mungkin saya tengah berada pada zona nyaman. Walaupun begitu, tak pula menampik
kenyataan bahwa hidup di luar negeri itu tidak mudah. Kita kehilangan momen
kebersamaan dengan keluarga yang jauh di tanah air, sahabat-sahabat tercinta,
lalu mendengar kepergiaan saudara-saudara terdekat tanpa bisa melihat untuk
terakhir kalinya. Tentu saja saya pun harus menghadapi itu semua.
Tapi secara
keseluruhan hidup di Glasgow adalah seperti tengah menjalani hidup yang tenang
seperti pertapa, walaupun sebenarnya penuh dengan peperangan. Saya sadar waktu
saya tidak lama, dan ingin sekali menjalaninya dengan sebaik baiknya, mencipta
kenangan sebanyak yang saya bisa.
Setelah mendengar cerita sahabat-sahabat saya yang telah pulang ke
Indonesia, saya semakin disadarkan untuk lebih banyak bersyukur dan menikmati
hidup di sini dengan lebih baik lagi. Glasgow, telah menjadi rumah hati saya.
“Now, just enjoy your every single moment in
Glasgow, it’s really precious,” text wa berikutnya dari sahabat saya itu.
Saya sadar kalimatnya benar, dan itulah yang sering saya rasakan. Kalian tahu
bagaimana rasanya rindu bahkan sebelum pergi?
Akhir-akhir ini saya
menyadari bahwa rindu bukan soal jarak. Dulu saya berpikir, rindu tercipta
karena lama tak bertemu, karena jarak yang jauh.
Teryata saya salah.
Karena rindu masih
saja bisa tercipta, bahkan baru saja bertemu muka.
Dan rindu bisa
mengada, bahkan saya saat masih menginjak
daratannya.
23 September 2014.
Glasgow menjelang senja