Halo, lama tidak mengunjungi rumah ini. Hidup masih
terasa belum begitu tertata sejak kepulangan saya dari Glasgow, walaupun sekarang ini
sudah lumayan settle. Hidup banyak
sekali berubah, ada banyak kehilangan-kehilangan. Perubahan selalu saja membawa
banyak hal yang tidak nyaman, tapi mungkin dengan peristiwa-peristiwa itulah
jiwa terus bertumbuh, semoga. Rupanya PR yang dulu saya prediksi akan muncul,
terjadi juga.
Perasaan “I wish...I still in Glasgow bla bla
blaa...sering kali muncul, terutama ketika menghadapi banyak hal yang kurang
mengenakkan. Ahaha adaptasi itu pahit, jenderaaal!!
Membutuhkan usaha yang ekstra untuk kembali lagi
mengingatkan diri sendiri, untuk belajar menerima apapun, belajar
mensyukuri..aih, susah ketika bicara dalam tatanan praktik yah. Terus belajar
dan teruuuus belajar.
Ah iya, hari ini saya ulang tahun. Bertambah lagi usia,
semoga bertambah lagi kemauan untuk belajar hidup.
Kadang ketika memandang kehidupan ke belakang, rasanya
waktu berjalan begitu cepat. Namun adakalanya juga, merasa telah banyak sekali
lika liku yang mewarnai perjalanan. Saya juga banyak sekali berubah. Dan orang-orang
di sekeliling saya juga berubah. Atau saya yang berubah sehingga melihat
semuanya terasa berbeda? Entahlah.
“Kita
yang berubah, dan mungkin orang-orang sekeliling kita tidak siap melihat kita
yang berubah. Atau kita yang tidak siap untuk menerima bahwa kita tidak lagi “cocok”
dengan sekeliling,” kata seorang sahabat dalam perbincangan ketika saya
menginap di rumahnya di Jakarta bulan lalu.
Dia yang bahkan sudah lebih dari 1 tahun pulang dari
Glasgow, masih saja merasakan hal yang demikian, padahal dia cuma studi satu
tahun saja di Glasgow.
“Pada
akhirnya, aku kebanyakan menarik diri, sendirian. Rasanya lebih tenang.” Terusnya
lagi.
Sebenarnya hal yang hampir sama juga terjadi dalam hidup
saya. Akhir akhir ini semakin merasa lebih nyaman sendirian, dan berkomunikasi
dengan orang-orang tertentu saja. Orang orang terdekat saja. Rasanya energinya
sudah males untuk dihabiskan untuk
terlibat dalam sosialisasi yang tidak penting, dalam pembicaraan-pembicaraan
yang tidak penting, ataupun energi-energi negatif yang menggerogoti energi
positif hidup. I don’t interested anymore. Kecuali, saya memang memilih untuk “memaksakan”
untuk terlibat di dalam beberapa komunitas yang tetap saya hadir karena
alasan-alasan tertentu. Di situlah, saya memang memilih dimana saya ingin tetap
terlibat, dimana saya memilih untuk menarik diri.
Saya juga banyak menarik diri dari hingar bingar “publik”.
Sebenarnya sudah cukup lama, saya sudah tidak “sevokal” dulu lagi ketika saya
aktif di sosmed. Dulu, saya “muda” masih terobsesi untuk menginspirasi banyak
orang. Sekarang, sudah tidak terlalu lagi. Dulu, saya berusaha untuk “tampil”
ataupun mencitrakan diri yang penuh semangat, positif, pengejar mimpi,
penantang takdir. Pencitraan? Haha semua orang juga pasti mencitrakan dirinya
kan?. Berhasil? Saya rasa demikian.*ahaha ampuuun sombong!
Tapi dulu saya masih berada dalam tataran “teori”. Saya
bicara lantang soal positivisme, ketika belum merasakan bagaimana harus
bergulat dengan energi energi negatif yang begitu dahsyat membombardir diri.
Saya bicara tentang kebahagian, ketika belum tahu rasanya hidup dibolak balikkan
dalam waktu singkat sedemikian rupa, ketika bahkan sampai perlu alasan untuk
melanjutkan hidup. Saya bicara soal hal hal yang menginspirasi, ketika hidup
hanya berfokus pada impian-impian, saya belum tahu rasanya ketika mimpi mimpi
itu benar benar mati.
Tahun tahun belakangan sebenarnya saya banyak bergulat
dalam praktik-praktik berlatih. Ada banyak hal-hal sulit yang harus dilewati.
Mungkin itulah ada banyak perubahan pula yang terjadi dalam diri saya. Saya
kini tidak lagi terobsesi untuk menginspirasi banyak orang. Aih siapalah saya? Bukan
siapa-siapa. Lebih baik berfokus pada tindakan-tindakan nyata dan karya.
Saya juga nggak tertarik lagi to impress others. Makin
terasa semakin ke sini, makin nggak
tertarik untuk berusaha demikian. Apalagi di tengah orang-orang
yang kian sibuk berupaya to impress others. Rasanya dimana-mana orang sibuk
ingin terlihat kaya, terlihat keren, terlihat pintar, terlihat sempurna, dan
terakhir..terlihat bahagia.
Oiya, sekarang ini orang-orang juga punya kebutuhan untuk
terlihat “paling benar”. Lihat kan perang argumen di sosmed?
Saya pikir ada dorongan keinginan yang luar biasa besar
sehingga membuat orang-orang ingin terlihat demikian. Saya juga pernah ingin
terlihat demikian. Paling tidak, saya pernah ingin terlihat bahagia.
Pernah kamu ingin “mengkomunikasikan” atau menunjukkan pada
dunia bahwa kamu bahagia? Orang beda-beda caranya. Ada yang menunjukkan dengan
foto foto selfie yang penuh senyum, ada yang
menunjukkan foto foto keluarga bahagia, bersama pasangannya yang mesra
bahagia. Atau dengan sahabat-sahabat dengan selalu membersamai. Atau dengan
status status yang dituliskan, ataupun dengan segala pencapaiannya. Salahkah? Nggak
juga. Mending sih menurut saya, at least masih positif, daripada membanjiri
timeline dengan keluh kesah, share berita negatif, hoax, atau adu argumen...errrrr,
Iya, saya pernah ingin terlihat bahagia. Terutama ketika
saya merasa bahagia, namun kebahagiaan versi saya mungkin berbeda dengan “nilai/cara
bahagia orang-orang”, kemudian saya berupaya untuk menunjukkan bahwa saya
bahagia dengan nilai/cara saya sendiri.
Kenapa orang menjadi candu untuk menunjukkan dirinya
menjadi orang yang keren, kaya, pintar, menginspirasi, bahagia..ataupun apalah
yang penting bagi setiap masing-masing orang? Because it’s feels good ketika orang lain kagum, memuji atau mungkin ada
orang yang puas ketika membuat orang lain iri.
Tapi dalam perjalanan, semakin lama saya berjalan..saya
sampai pada titik pertanyaan, pentingkah dan perlukah berupaya untuk terlihat
bahagia?
“Belum
komplit lho gelarnya, belum jadi nyonya”—owh jadi menikah untuk semacam
pencapaian ya?
“ Ya
masih kurang lah, ayo biar lengkap, cepetan nikah biar bahagia”---owh jadi
menikah itu sumber kebahagiaan ya? Owh berbahaya sekali pemikiran tersebut.
Semakin lama saya menyadari, nggak penting dan nggak
perlu lagi untuk menunjukkan pada orang lain bahwa saya bahagia dengan menerima
apa yang ada pada saya and make the best of it.
Satu
satunya yang perlu saya yakinkan, adalah diri saya sendiri.
Tapi nggak nyalahin orang lain juga sih, saya aja pernah
kok “membandingkan kebahagiaan” versi saya. Ketika saya merasa bahagia bersama
pasangan, saya pernah kok membandingkan kebahagiaan saya saat saya masih
sendirian dulu. Kayaknya nggak banding banget haha. Saya merasa jauuuhh merasa
bahagia, dibandingkan saat “dulu saya merasa bahagia banget ketika nonton bola
trus MU menang”, atau saat keterima beasiswa, atau saat jalan bareng
temen-temen kos”. Padahal, ya sama sama bahagia, hanya saja bahagia yang
berbeda.
Mungkin sama aja kayak orang menikah, trus menganggap
orang yang belum menikah itu belum bahagia.
Kayak orang udah punya anak, trus menganggap orang yang
belum punya anak belum bahagia.
Daaaan lain-lain sebagainya...
Dari situ, saya semakin menyadari bahwa kebutuhan saya
untuk “dianggap bahagia” atau kebutuhan saya “to impress others” menjadi semakin mengecil. Menghabiskan energi,
dan tidak perlu.
Selamat ulang tahun, semoga terus bisa meyakinkan diri
sendiri bahwa saya bahagia dengan apa yang telah ada dalam hidup saya. Saya
tahu Tuhan selalu memberikan berkecukupan dalam hidup saya, bahkan keberlimpahan. Terimakasih.
Bersama secangkir kopi dan waktu yang masih diberikan
hingga hari ini.
Salam,
10 Maret 2016.