Hari ini tak sengaja
mendapati postingan Mas Andi Arsana, dosen Geodesi UGM di IG story-nya, tentang perjalanannya menuju sebuah meja yang
merupakan titik temu antara tiga negara Slovakia, Hongaria dan Austria setelah
mengikuti lomba the Falling Walls Lab di Berlin, Jerman. Jadi kalau duduk di
meja segitiga itu, kita berada di tiga negara yang berbeda. Untuk sampai di
situ, dari Ig story-nya beliau
bercerita harus terbang dari Berlin ke Wina, kemudian ke Bratislavia naik bus,
lalu menyewa supir taksi untuk menuju ke meja segitiga itu. Sempat mereka
berhenti dan kebingungan untuk mencapai tempat itu. Sepertinya lokasinya sulit
dijangkau, sampai harus jalan kaki..dan sampailah ia ke meja berbentuk
segitiga, dengan tiga kursi panjang yang mengelilinginya. Dengan muka penuh
antusias, beliau mengucap dalam videonya,
“ Hey akhirnya sampai juga...ini adalah meja yang
menandakan tiga negara..bla bla..bla..”
Saya mengeryitkan dahi,
hanya kayak gitu doang tempatnya? Heheh...namun, sedetik berikutnya saya
kembali diingatkan..betapa nilai sesuatu menjadi sangat berbeda bagi setiap
orang. Bagi seorang Mas Andi yang selama ini bergelut di dunia perbatasan,
mungkin itu keinginan yang sudah dipendam sejak lama. Hingga bisa mencapai
tempat itu merupakan pencapaian yang luar biasa.
Seperti juga saya diingatkan
pada seseorang yang mengirimkan pesan via FB messenger ke saya. Si bapak yang
tidak saya kenal sebelumnya itu bercerita akan ke Edinburgh, dan dia nanya
apakah saya tahu dimana makamnya Adam Smith. Dia tahu kalau Adam Smith itu dimakamkan
di Canongate Kirkyard Edinburgh, tapi dia nanya siapa tau saya tahu
ancer-ancernya. Ya ampun, biasanya orang ke Edinburgh itu ya pengennya ke
tempat seperti Kastil Edinburgh ataupun Calton Hill. Lha ini, niat banget
pengen nyari kuburannya Adam Smith!
“Saya dulu itu terinspirasi Adam Smith gara gara dosen
saya banyak cerita soal Adam Smith,” si bapak itu bercerita.
Hal tersebut semakin
mengingatkan saya bahwa tiap orang punya kebermaknaan hidup yang berbeda
masing-masing.
Hal hal yang menurutmu luar
biasa, bagi orang lain mungkin saja hanya receh. Ataupun sebaliknya, hal hal
yang menurutmu biasa saja, bisa saja menjadi hal luar biasa jadi orang lain.
Ada orang yang merasa
keliling ke berbagai negara itu menantang dan memuaskannya, namun ada orang
yang kepuasannya ada pada membuat kreasi craft, memastikan anaknya hapal Juz
sekian, atau ada pula yang menilai kebermaknaannya pada dedikasi pada pekerjaannya.
Tiap manusia rasanya punya
pijar kebahagiaannya masing-masing, yang tentu saja berbeda-beda.
Namun yang saya jumpai, kadangkala
orang memakai kacamatanya sendiri untuk melihat kebermaknaan orang lain. Orang
memakai standarnya sendiri, untuk melihat orang lain.
Memang dalam perjalanan
hidup manusia, ada hukum yang tak terucapkan bahwa ada beberapa hal yang
dijadikan standar pencapaian hidup seseorang. Dimana ada alur menjalani bangku sekolah,
kuliah, mencari pekerjaan, menikah, punya anak, yang rasanya ada timeline
tertentu yang juga menjadi kesepakatan bersama.
Hingga orang orang yang
tidak sesuai dengan timeline itu, sepertinya menjadi “orang yang berbeda”.
Saya dalam beberapa kesempatan
interaksi sosial adakalanya merasa “direndahkan” hanya karena belum menikah. Bahasa-bahasa
yang secara implisit, bahkan kadang eksplisit tersampaikan bahwa “saya sudah,
kamu belum”. Beberapa orang merasa “lebih” karena mereka sudah, dan saya belum.
Memang ada orang orang yang mengganggap menikah itu pencapaian, ada pula yang
enggak lho. Jangan lupa.
Tekanan sosial juga bukan
main derasnya lho bagi para barisan “belum menikah” seperti saya. Masih
ditambahi judgement-judgement mereka sendiri, tanpa ingat bahwa tiap orang
punya ceritanya sendiri yang tidak perlu dibagikan pada orang lain.
Sama halnya dengan pasangan
yang belum punya anak misalnya. Ada sahabat saya yang mengalami tekanan baik
dari sosial umum, bahkan dari keluarganya hanya karena ia belum hamil juga. Ada
sahabat saya lainnya juga yang baru baru ini mengunggah tulisan di IG storynya.
Ia baru saja wisuda PhDnya di salah satu universitas di UK. Sepertinya ada
orang yang berkata padanya begini :
“ Kapan nih mbak punya anak. Apa nggak pengen punya anak
kayak keluarga-keluarga yang lain?”
Ya ampun basa basi-nya sadis
banget sih menurut saya. Kita nggak tahu apa yang telah diupayakan sahabat saya
itu selama ini untuk memiliki momongan. Ataupun kita juga nggak tahu apakah
sahabat saya itu memang pengen punya anak atau tidak. Bukan hak kita untuk
tahu.
Banyak orang bertanya
tentang “Kapan?” yang sebetulnya tidak perlu ditanyakan.
Menilik lagi pada kisah di
atas tentang Mas Andi dengan meja segitiganya atau si bapak dengan kuburan Adam
Smithnya. Tiap manusia punya ceritanya masing-masing. Punya pijar bahagianya
sendiri-sendiri. Punya apa-apa yang dirasa penting, berharga, bermakna dan apa
yang membuat bahagia..sendiri sendiri.
Tidakkah hidup menjadi lebih
tenang, ketika kita bisa saling menghargai hal-hal yang sangat pribadi itu?
“Mesakke (kasihan banget) mbak , di rumah sendirian. Sepi
banget pastinya”
Orang lupa, bahwa kalau dia
merasa lebih bahagia dengan hidup ramai,
di tengah banyak orang..belum tentu orang lain. Ada orang yang lebih nyaman
sendiri, walau tetap menikmati berinteraksi dengan orang lain, tapi ia butuh
mencharge energinya dengan lebih banyak sendiri. Saya stress lho kalau terlalu
lama harus berada dalam pertemuan banyak orang. Iya, tiap orang punya keunikannya
masing-masing..hal ini yang seringkali dilupakan.
Sayangnya, beberapa orang
masih memandang kebahagiaan orang lain dengan standar kacamatanya mereka sendiri. ***